Gambar I. "Singa" Tapi Bukan Singa.
Penampilannya secara fisik tampak serupa singa. Namun, itu bukan singa. Itu adalah seekor anjing di Tibet.
Demikian juga manusia. Ada manusia kelihatan seperti seorang yang jahat tapi ternyata hatinya tidak jahat seperti yang disangka orang karena penampilannya atau kelihatannya.
Terkadang kita menilai seseorang hanya dari pakaian dan cara berpakaian, model dan tatanan rambut, pernak pernik aksesoris yang dipakai, bahkan ukiran tato di sekujur badannya.
Di sisi lain tampilan fisik seperti itu seakan sudah memberi citra sendiri di mata masyarakat sebagai akibat dari banyak pelaku kejahatan menampilkan diri seperti itu, maka siapapun berpenampilan serupa itu langsung diasosiasikan sama dengan mereka.
Hal yang sama dialami oleh perempuan Muslim bercadar. Peristiwa pengeboman di Surabaya yang dilakukan oleh satu keluarga Muslim berimbas pada pandangan masyarakat terhadap semua perempuan Muslim bercadar.
Perempuan Muslim bercadar di Indonesia saat ini sering menerima pandangan curiga, melihat perilaku ketakutan, bahkan mungkin mendengar kata-kata yang tidak sepatutnya.
Bisa dibayangkan bagaimana perasaan mereka harus menerima semua itu, padahal mereka bukan pelaku kejahatan yang diasosiasikan kepada mereka.Â
Sungguh, adalah tidak adil bila kita menyamaratakan manusia hanya karena pakaiannya, rambutnya, tatonya, dsb, walaupun benar ada orang atau banyak orang dengan penampilan seperti itu terbukti melakukan tindak kejahatan.
Rasa takut bisa dimengerti, mengingat setiap orang pasti akan mewaspadai diri dari hal yang membahayakan dirinya. Akan tetapi, Â kita juga harus menjaga diri kita dari hal yang justru membuat kita menggores hati orang lain yang dengan itu membuat dosa bagi diri kita sendiri.
Contohnya, ketika kita bertemu mereka di jalan. Dasar pemikiran menjauh dari orang itu haruslah hanya karena menjaga diri saja, bukan berarti adalah benar orang itu jahat. Sepintas ini terlihat sama saja, tapi sesungguhnya berbeda.
Pikiran "Saya menjauh karena menjaga diri saya" itu sebabnya ada pada "saya", bukan pada orang itu. Bukan karena dia orang jahat, tapi "sayalah yang takut".  Jadi, sebabnya ada di "saya", bukan di dia.
Pikiran itu akan nampak dari pancaran sinar mata kita. Mata tidak bisa berdusta. Pikiran yang tidak menuduh akan terlihat di mata. Orang itu akan menangkap sinyal pikiran yang tidak mengklaim dirinya adalah penjahat dari pancaran sinar mata kita.
Dan juga, gerakan menjauh yang kita lakukan dengan pikiran "sebabnya di saya, yakni saya yang takut, bukan kamu yang jahat" akan berbeda dengan gerakan menjauh dari orang yang pikirannya sudah mengklaim bahwa orang itu jahat.
Gestur tubuh kita adalah sinyal pikiran kita. Pikiran yang tidak menghakimi orang itu akan menimbulkan gerakan yang terjaga; masih menjaga perasaan orang itu atau menjaga jangan sampai orang itu menganggap kita menuduh dia.
Akan berbeda bila kita bergerak menjauh dari orang itu dengan pikiran "Aduh, orang ini penjahat!" atau "Astaga, ada teroris!".
Kalau yang di atas memberi sebab pada "saya yang takut", di sini pikiran menaruh sebabnya pada orang itu:Â "Karena orang itu jahat, maka saya menghindar". Jadi, sebabnya di "dia", bukan di saya. Padahal klaim dia orang jahat itu adalah pikiran kita bukan fakta orang itu benar penjahat.
Mata kita akan memancarkan pikiran yang menuduh itu. Gerakan kita pun mengikuti tuduhan kita: jelas tidak terjaga, bahkan bisa tidak terkontrol, panik ketakutan seolah sudah benar dia orang jahat.
Bayangkan, bila orang itu tidak seperti tuduhan pikiran kita. Sorotan mata yang menuduh dan gerakan kepanikan kita pastilah akan menyayat hati orang itu, sebab ia bukan penjahat tapi disangka bahkan sudah dituduh penjahat dengan pikiran belaka.
Ketidakadilan kita menyamakan semua orang hanya karena ketakutan kita sendiri justru mendatangkan ketidakbenaran bagi diri kita sendiri. Kewaspadaan untuk keselamatan diri tidak harus membuat kita menggores hati orang lain,menjadikan kitalah yang justru "jahat" terhadap orang itu.
Sama seperti seseorang tidak mau memberi kepada pengemis karena menganggap pengemis itu penipu. Seolah-olah ia tidak memberi itu sebabnya ada di pengemis itu.
Padahal sebabnya di dia sendiri, yakni di pikirannya. Dia yang berpikir pengemis itu penipu, oleh karena itu dia tidak mau memberi. Jadi, bukan karena pengemis itu benar-benar penipu, tapi pikirannya yang mengatakan pengemis itu adalah penipu.
Demikianlah seringkali kita menaruh sebab pada orang lain, padahal sebab itu ada pada kita sendiri.
Kita tidak menyadari bahwa dosa bukan saja perkara-perkara besar yang terlihat mata, tapi justru dosa lebih banyak mengambil tempatnya di dalam hati dan di pikiran kita.
Gambar II. Kucing Tapi "Singa".
Ada manusia yang dari tampilan fisik tampak "tidak berbahaya". Hanya "seekor kucing", tapi ternyata ia tidak "sejinak kucing". Ia bahkan jauh lebih berbahaya dari "seekor anjing", sebab ia bisa menjadi seperti "seekor singa".
Penampilan bisa menipu. Oleh sebab itu, janganlah kita menilai orang hanya dari luar saja. Yang kelihatan jahat, tidak berarti jahat; yang kelihatan baik tidak berarti baik, sebab itu baru pada tahap "kelihatan".
Hindarkanlah diri kita dari menilai seseorang itu jahat atau orang itu tidak baik, atau sebaliknya, hanya dari penampilannya atau dari luar saja atau dari kelihatannya.
Tahu dulu dan kenali dulu. Itupun baru tahap awal. Sebab, selain tahu dan kenal, masih ada tahap pahami dulu maka mengerti. Dan, semua itu harus melalui tahap kebersamaan .
Tahap-tahap untuk bisa disebut punya dasar menilai seseorang cenderung tidak dilalui. Sama seperti hal bicara. Ada prosedur bicara, tapi itu juga seringkali tidak dilakukan, sehingga mulut terkadang mendahului telinga, mata dan otak.
Lihat juga: Prosedur Bicara.Â
Salam. HEP.-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H