Mohon tunggu...
Hennie Engglina
Hennie Engglina Mohon Tunggu... Freelancer - Pelajar Hidup

HEP

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Lebih Baik Dipenjarakan di Dunia daripada di Akhirat

28 Juli 2018   18:45 Diperbarui: 25 Januari 2019   04:03 707
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Nyaris langka melihat seorang pemimpin atau tokoh masyarakat yang diduga atau disangkakan melakukan tindak kejahatan memberikan teladan kepada anak-anak bangsa ini yang notebene semua adalah umat beragama untuk menjadi pribadi yang mengakui kesalahan yang dibuatnya.

Padahal sudah tertangkap tangan, padahal sudah ditemukan bukti-bukti kuat akan adanya tindak kejahatan itu. Rata-rata mengatakan, "Itu tidak benar". Bahkan sudah divonis bersalah melalui proses pengadilan yang mengolah seluruh bukti untuk dinyatakan sah, tetap saja, "Saya dizalimi".

Andai benar-benar tidak dilakukan, maka itu pantas untuk dikatakan. Kata-kata "tidak melakukan" hanya pantas diucapkan oleh yang tidak melakukan. Namun, jika diri tahu bahwa itu dilakukan, maka menghindari pengadilan dunia tidak berarti juga akan terhindar dari pengadilan Allah.

Memang tidak semudah ucapan. Malu. Inilah kita manusia. Kita lebih malu kepada manusia daripada kepada Allah. Malu kepada mereka (baca: manusia/publik) padahal mereka tidak menolong kita ketika kita berdiri di hadapan Hakim di atas segala hakim di pengadilan-Nya, pengadilan yang terakhir.

Walau begitu, kita tidak bisa pula begitu saja mengatakan itu mudah. Tidak bijak mengecilkan derita malu yang ditanggung seseorang. Sebab, dengan tertangkap dan diberitakan oleh media, maka itu sudah sangat memalukan. Apalagi mengakui itu benar. Sebab, yang mereka hadapi adalah bukan saja penghakiman hukum, tetapi juga penghakiman manusia.

Manusia lebih "sadis" dalam menghakimi manusia. Manusia bisa berubah menjadi "tuhan" atas manusia lainnya ketika mendapati kesalahan dan dosa manusia lainnya. Sementara kesalahan diri sendiri, siapakah yang menghakimi? Tidak ada, karena tidak ada yang tahu atau tidak semua orang tahu atau belum ketahuan. Namun, Tuhan tahu itu.

Kita ini kadang tidak sadar sudah menganggap diri 'tuhan' atas orang lain seolah tidak ada akhirat bagi diri kita sendiri. Seolah Tuhan sedang tidak ada di Indonesia sehingga kita menggantikan Dia di sini. Kalimat kritik jelas berbeda dengan kata-kata hinaan, cercaan, makian, hujatan.

Jangan gara-gara dosa orang lain, kita jadi berdosa dengan mulut kita dan perbuatan kita. Apalagi yang sudah tengah dipenjarakan masih terus dicerca dan dihujat. Saya kira tidak ada Allah yang mengajarkan seperti itu bagi umat-Nya.

Berulang kali saya mengingatkan kita bersama, bahwa 1 kilogram kapas dengan 1 kilogram batu adalah sama-sama 1 kilogram. Kita menunjuk orang lain bahwa dosanya berat 1 kg, padahal dosa kecil-kecil kita timbangannya juga sudah 1 kg. Sudah sama. Kita tidak tahu berapa berat timbangan dosa kita sendiri. Maka, sebaiknya kita berhati-hati untuk menghakimi orang lain.  

Saya menaruh penghargaan yang tinggi bagi mereka yang saat ini ikhlas dipenjarakan karena perbuatannya. Sebab, adalah lebih baik dipenjarakan di dunia daripada dipenjarakan di akhirat.

Namun sayang, masih saja ada manusia yang mencari senangnya di dalam penjara. Penjara tidak menjadi kesempatan untuk menjadikan diri memiliki pribadi yang rendah hati. Malah sebaliknya, di penjara masih mau jadi tuan. Di penjara masih mau tetap senang. Di penjara masih melakukan kejahatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun