Mohon tunggu...
Hennie Engglina
Hennie Engglina Mohon Tunggu... Freelancer - Pelajar Hidup

HEP

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengampuni "Pembunuh" Ayah Saya | 3-Selesai

26 Juli 2018   22:52 Diperbarui: 8 Januari 2019   21:42 780
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebelumnya > Bagian 1, Bagian 2

Supir Itu Meminta Maaf

Kisah kejahatan manusia yang jauh lebih mengenaskan dari apa yang dialami papi tak terhingga lagi. Supir itu pun tidak membunuh papi secara langsung, karena itu saya memberi tanda kutip pada kata 'pembunuh' di judul artikel ini. Namun dibunuh mati ataupun ditabrak hingga mati, itu sama-sama mati.

Nama kejahatan bisa beda, jenis kejahatan bisa beda dan cara menjahati pun bisa beda, tapi jatuhnya ke satu tempat yang sama di diri korban dan keluarganya, yakni di HATI. Tidak ada ruang lain diciptakan oleh Yang Mahakuasa bagi emosi; perasaan manusia kecuali hati.

Artinya, besar kecilnya perkara kejahatan manusia atau kenyataan buruk yang dialami oleh manusia, sama-sama menaruh rasa sedih, kecewa, pilu, perih, duka, dsb di hati manusia.

Di kulit rasa beda, di hati rasa sama. Dan hanya dengan hati pula, manusia dapat ikut merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. 

Oleh sebab itu kita sering diingatkan untuk mencubit diri sendiri sebelum mencubit orang lain. Jika itu sakit pada diri kita, maka itu juga sakit pada orang lain.

Janganlah meremehkan derita orang lain. Sebab kita tidak tahu persis rasanya seperti apa sampai kita sendiri mengalaminya.

Persoalan konsekwensi hukum atas perbuatan ugal-ugalan supir angkot itu adalah bukan urusan kami. Bagaimanapun juga ada manusia yang mati oleh karena kebrutalannya di jalan. Biarlah itu menjadi urusan pihak berwajib. Tapi bagaimana dengan permintaan maafnya kepada kami?

Kami Mengampunimu

Tidak ada sesuatupun yang terjadi di bawah kolong langit ini di luar pengetahuan Yang Mahatahu. Jika itu sudah terjadi, berarti itu memang harus terjadi. Sebaliknya, itu tidak akan pernah terjadi bila Allah tidak mengijinkan itu terjadi. 

Semua yang hidup akan mati. Hanya "cara mati"-nya saja yang berbeda. Ada yang karena penyakit. Ada yang karena kecelakaan udara, laut, darat. Ada yang karena musibah-bencana. Ada yang lagi duduk, tidur, jalan, dll -- mati.

Hidup dan mati manusia di tangan Allah. "Cara mati" pun ada di tangan-Nya. Seperti kita tidak dapat memilih "cara kita lahir", demikian juga kita tidak dapat memilih "cara kita mati". Itu hak prerogatif Allah. Siapakah yang hendak menggugat Allah?

Hidup Tidak Selalu Sesuai Pesanan. Kita tidak dapat menyelami pikiran Allah. Namun yang pasti: Allah itu baik. Kita saja yang tidak sepenuhnya dapat mengerti dan memahami kebaikan Allah karena keterbatasan akal pikiran kita.

Sekali lagi, bukan Allah tidak baik, tapi kitalah yang terbatas untuk memahami kebaikan-Nya. Apa yang dialami oleh papi itu hanya cara yang ditetapkan Allah bagi papi kembali kepada-Nya. Itu hanya cara pulang Papi ke pangkuan-Nya.

Banyak yang mengalami kecelakaan dahsyat tapi tidak menjadi mati oleh karena kecelakaan itu. Itu berarti kecelakaan itu bukan cara pulang bagi dia. Ada pesan Tuhan dengan peristiwa itu bagi yang bersangkutan karena ia masih hidup.

Sakit memang sakit. Apalagi implikasi tidak ada papi lagi bukan perkara sederhana bagi kami bila melihat bagaimana papi meninggalkan kami dengan mami yang sedang bergumul dengan Kanker Payudara Stadium IV. Tidak semudah membalik telapak tangan.

Tapi bila Tuhan sudah memutuskan mengambil papi dari kami, itu berarti, Ia telah memikirkan itu terlebih dahulu dari kami. Tuhan itu tidak sembarangan bertindak. Tidak asal-asalan seperti kita bisa asal berbuat tanpa pikir akibat dari perbuatan kita.

Apa Tuhan tidak tahu mami sedang dalam kondisi seperti itu? Apa Tuhan tidak pikir akibat dari tidak adanya papi lagi bagi kami? Apa Tuhan tidak kasihan terhadap mami dan kami? Kita saja manusia tahu 'kasihan', apalagi Tuhan. 

Memang, kalau hidup itu berharap dari kemampuan manusia dan uang, maka hidup itu menakutkan. Tapi bila percaya Allah itu ada, akan berkata semua bisa tidak ada lagi, tapi Allah tetap ada!  Allah itu Mahakuasa. Ia punya banyak cara untuk menolong kita dengan ajaib!

Kejadian ini terjadi di tahun 2005. Mami masih hidup 9 tahun lagi sesudah kepergian papi lalu menutup mata selamanya di usia 79 tahun di tahun 2014.

Itulah kemahakuasaan Tuhan. Itulah bukti hidup ini di tangan Tuhan. Oleh sebab itu tidak alasan untuk tidak bersyukur selalu kepada Tuhan.

Tentang supir itu, saya sama sekali tidak tahu bagaimana ia setelah peristiwa itu atau bagaimana hukuman yang dijalaninya. Kami sudah mengampuninya saat itu juga.

Tulus saya berdoa, semoga ia baik-baik saja saat ini, seperti kami juga baik-baik saja sampai detik ini, karena Allah itu baik.

SELESAI.

Salam, HEP.-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun