Mohon tunggu...
Hennie Engglina
Hennie Engglina Mohon Tunggu... Freelancer - Pelajar Hidup

HEP

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Marah Itu Jujur

25 Juni 2018   16:45 Diperbarui: 13 Januari 2019   23:34 1638
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Marah adalah luapan konteks diri manusia yang sesungguhnya. Pada saat marah, ke-AKU-an manusia menukik tajam ke posisi teratas di jiwa manusia menggeser segala pertimbangan perasaan orang lain dan logika umum bahkan norma yang berlaku umum dalam tatanan budaya timur kita.

Tingkat kemarahan yang makin tinggi bukan hanya menggeser semua itu tetapi juga bisa meniadakan norma agama yang dianut. Yang ada hanya dirinya dan kemarahannya. Akan tetapi, di sini kita tidak membicarakan kemarahan pada taraf yang separah itu.

Cukuplah kita ketahui, bahwa marah adalah ruang bagi ke-aku-an manusia yang sejujur-jujurnya. Pada saat seseorang marah, pada saat itu, sebenarnya, ia sedang menyampaikan hal yang sejujur-jujurnya.

Kata-kata dalam amarah adalah kata-kata terjujur dari seorang anak manusia di antara semua kejujuran yang dapat diucapkan oleh manusia. 

Setelah amarah reda, kontrol kembali normal, ego manusia menurun, perasaan dan logika mulai mengambil tempatnya lagi, maka terdengarlah ucapan atau tulisan, "Maaf, itu hanya kata-kata emosi saja".

Ya, kata-kata itu memang hanya bisa tercetus dalam kondisi marah, sebab dalam kondisi biasa ke-aku-an manusia ada dalam ruang kebersamaan dengan orang lain; ada pertimbangan akan perasaan orang lain; lebih jauh ada tatanan hidup yang mengatur ke-aku-an manusia yakni norma agama, budaya, sosial bahkan norma hukum yang menjadi satu kesatuan etika hidup manusia di alam yang tidak sendirian dihuninya dan tidak diciptakan olehnya.

Dari sini kita harus belajar terbuka untuk menyampaikan ketidaksukaan, kekesalan, kejengkelan, dan sebagainya yang menjadi ganjalan di hati atau bersitan di pikiran kita.

Budaya timur pastilah tidak meniadakan kejujuran rasa dan pikiran kita. Justru sebaliknya, dengan budaya timur kejujuran pun harus diungkap dalam kondisi sopan dan dengan cara yang santun. 

Biasakan atau lumrahkanlah kejujuran sebagai topik pembicaraan pada kondisi biasa atau normal walaupun itu menyakitkan. Dengan begitu kejujuran tidak memerlukan kondisi marah untuk dapat bersuara.

Kita memang memerlukan kejujuran tetapi kita tidak menginginkan kemarahan hanya untuk sebuah kejujuran.

Salam. HEP.-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun