Virtual Reality Museum Tsunami Aceh.
Akhirnya saya ingin share sedikit tentang proses pemotretan Museum Tsunami yang baru2 ini kami lakukan di Banda aceh. Kami berangkat tanggal 9 desember 2015 atas undangan Pihak Museum Tsunami yang beberapa bulan sebelumnya sudah melakukan komunikasi via Email. Hari itu Museum Tsunami Aceh tidak ada pengunjung karena bertepatan dengan dengan libur nasional untuk Pilkada serentak. Sesampai di area Museum Tsunami kami sempat berhenti di kedai kopi kecil di pinggir jalan. Rasanya tidak afdol jika sampai di Banda Aceh tanpa menyeruput kopi sanger. Baru setengah gelas saya menghabiskan kopi, mobile phone saya berbunyi. Rupanya pihak Museum sudah menunggu kami di dalam Lobby. Tanpa banyak membuang waktu kami langsung diberi brief singkat tentang apa2 saja yang perlu di foto untuk keperluan 360 photography
Setelah berputar-putar mengelilingi Museum, kami tertegun dengan konsep yang diusung oleh kang Ridwan Kamil. Jadi selain untuk edukasi warga, Museum Tsunami ini juga menjadi lokasi evakuasi bagi warga banda aceh Jika terjadi Tsunami kembali. Tentu saja saya tidak ingin hal itu terjadi kembali. Jika kita lihat dari luar maka bangunan ini  berbentuk seperti kapal penyelamat manusia. Wajar jika dinamakan Rumoh Aceh as Escape Hill.
Untuk mengerjakan project ini, Saya bersama Arza Nursatya mengunakan kamera Canon 5D Mark iii + lensa Canon 8-155 mm dan juga Go Pro Hero 4 hasil pinjaman seorang teman. Untuk Tripod saya menggunakan Manfrotto, Begitu juga dengan Panoheadnya saya mengunakan Manfrotto yang saya beli sejak 5 tahun yang lalu.
Kami masuk ke Lorong Tsunami. Lorong itu dibuat untuk mengenang kejadian pada tanggal 26 desember 2004 sekitar pukul 9 saat Tsunami menerjang Banda Aceh. Suasana gelap mencekam, Gemuruh Ombak, rintik2 air membasahi badan kami saat memasuki lorong itu. Benar2 menyerupai kejadian sebenarnya. Di depan lorong ditulis jika kita punya pengalaman akan musibah Tsunami maka sebaiknya tidak melewati lorong tersebut. Ini adalah Virtual Reality yang ingin kami sampaikan kepada kita semua.
Setelah melewati Lorong Tsunami kita menuju Ruang Kenangan yang berdinding kaca. Kaca adalah hal tersulit jika kita ingin membuat 360 Photography, karena kita bisa terlihat di dalam gambar. Saya berpindah beberapa kali agar saya dan kamera mendapatkan Free Spot agar saya dan Kamera saya tidak terekam dalam gambar. Setelah saya selesai di ruang memory, saya bergeser ke kanan sedikit untuk menuju Sumur doa.Â
Banyak nama-nama di dinding yang berbentuk seperti sumur itu. Ada 8000an nama disusun sedemikian teratur untuk mengenang mereka yang mendahului kita 11 tahun silam. Mata saya berkeliling dari nama terbawah sampai ke ujung dari sumur itu. Tulisan Allah ada diatas sana, menandakan kita akan berpulang kepada sang pencipta. Suara zikir mengingatkan kita bahwa saatnya kita untuk bertobat. Dan ini adalah Virtual Reality Sumur Doa yang kami kerjakan sepulang dari Aceh.Â
Setelah 5 menit saya berada dalam ruangan saya mulai keluar untuk ke ruangan berikutnya, Kami berjalan menelusuri ruang yang berputar-putar. Lantai dasar yang tidak rata membuat kita2 yang melewati di situ benar2 merasakan sedikit pusing, sekali lagi kang Ridwan Kamil benar2 mendatangkan pengalaman tgl 26 Desember 2004 ke dalam sebuah bangunan. Setelah kita terlepas dari lorong kegelapan, Saya menuju jembatan yang terang benderang.  Secercah harapan dalam hatiku, melihat jembatan yang begitu baik pertanda jalan menuju kehidupan yang baik, Itulah harapan warga banda aceh setelah musibah Tsunami. Space of Hope menjadi salah satu spot wajib bagi para pengunjung untuk berfoto di jembatan itu.Â
Dan hari itu kami beruntung bertemu dengan Ibu Gaya Triana, salah satu korban yang selamat. Ingat kapal yang pindah keatas rumah? Ibu Triana bersama 30 orang naik ke kapal itu dari hantaman tsunami ke dua. Setelah berdiam diri selama 3 jam diatas kapal akhirnya ibu Triana turun mendapati korban2 berserakan di sekitar rumah. Kapal itu datang dari pinggir pantai memang dikirim untuk menyelamatkan manusia. Ibu Gaya salah satu manusia yang terselamatkan. Dan kini Ibu Gaya Triana bekerja untuk Museum Tsunami Aceh.
Â
Bersama Ibu Gaya Triana
 Rumah Kapal
Hal tersulit selama kami mengambil gambar Museum Tsunami adalah ketika kami memotret dari atas menara. Kami harus menaikan Tripod kami dengan mengunakan tali untuk mencapai menara itu. Naik saja sulit, apalagi naik dan membawa kamera. Tangga yang sedemikian sempit membuat kami cukup was-was mencapai puncak yang tingginya sekitar 30 meter tersebut.
Â
Puncak Manara
Selfie dengan latar belakang Kota Banda Aceh
Kesan kami dalam perjalanan ini sungguh luar biasa. Selain baru pertama kali ke Banda Aceh, ini juga merupakan sebuah pengalaman yang sangat berkesan, terlebih kami di percaya untuk membuat 360 Virtual Tour Museum Tsunami.
Akhir kata kami ucapkan terima kasih untuk Bapak Tomy Mulia Hasan sebagai GM Museum Tsunami Aceh yang telah memberikan kami full akses ke ruang dan lorong di dalam Museum itu. Output dari Museum Tsunami Aceh akan kami olah secara Virtual Reality dan hasilnya kami upload ke www.360indonesia.id
Keesokan harinya, Sambil menikmati kopi sanger panas bersama Arza Nursatya kami berharap dalam hati agar konsep Virtual Reality ini dapat diikuti oleh Museum-Museum lain di Indonesia, Agar Museum2 menjadi daya tarik buat kita2 semua para anak muda di Indonesia, Agar harapan kami bisa tercapai memang perlu dukungan dari semua pihak baik pengelola Museum dan Pemerintah. akh...semoga harapan kami dapat tercapai di kemudian hari. Amien
Â
Saleum.
Henky Christianto
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H