Bila dilihat dari awal mula peradaban manusia, konsep memaafkan (forgiveness) tersebut pada mulanya berasal dari konsep mengampuni (mercy) pada mitologi dimana manusia memohon ampun pada sesuatu kekuatan (ultimate being) yang dianggap dapat menyebabkan berbagai bencana (gunung meletus, badai, dll) setelah menyadari kemungkinan telah melakukan kesalahan kepada kekuatan tersebut, sebagaimana diungkap dalam artikel "Forgiveness, Pity, and Ultimacy in Ancient Greek Culture". Setelah itu berkembang konsep mengampuni yang berpusat pada kekuasaan person seperti raja atau kaisar beserta rentetan penguasa di bawahnya, dimana rakyat kecil memohon ampun karena signifikansi kekuasaan tersebut.
Seiring berkembangnya waktu, manusia mulai mengenal hak azasi, mengenal kesetaraan, dan berjuang melawan bentuk-bentuk penguasaan yang bersifat ketidak-setaraan tersebut. Disini, pengampunan (mercy) berkembang menjadi yang namanya Hukum dan Peraturan serta norma, namun pengembangan ini hanya untuk mengatur kesewenang-wenangan maupun agar tetap dapat menjalankan kekuasaaan dan keadilan ditengah tuntutan kesetaraan tersebut sehingga hukum ini berkembang ke arah yang bersifat sosial (bukan personal seperti memaafkan).
Karena perkembangan konsep mengampuni ini adalah ke arah hukum dan norma yang bersifat sosial, sementara orang (individu) memerlukan penerapan konsep pelepasan kesalahan ini secara pribadi (personal), maka berkembanglah filosofi dari memaafkan (forgiveness). Perkembangan konsep ini penting untuk kita pahami agar tidak menjadi ambigu antara memaafkan dan mengampuni, maupun dengan konsep dosa, serta konsep kesalahan di mata hukum, mengingat seringkali tercampuraduk apakah masuk dalam kemampuan atau batasan kita sebagai individu untuk memaafkan, mengampuni, maupun mengampuni namun menjadi salah dalam penerapan aturan.
Selain itu, sebagai individu manusia cenderung memiliki sifat defensif, dimana akan cenderung membalas bila dirugikan, dan akan memproteksi dirinya agar tidak direndahkan secara sosial, maupun menginginkan kesetaraan bahkan lebih daripada orang lain dalam upaya mempertahankan eksistensi dirinya (defensive behaviour). Perilaku defensif ini berperan dalam keengganan memaafkan (tepatnya mengampuni) karena khawatir akan terjadi pengulangan tindakan negatif sehingga akan semakin dirugikan. Dan karena kita menyadari sifat defensif pada orang lain, mendorong kita untuk meminta maaf.
Dari uraian di atas perlahan kita menyadari bahwa memaafkan sesungguhnya adalah bersifat personal. Kita bukanlah Sang Ultimate yang dapat memberikan pengampunan (mercy), serta kita bukanlah pemilik kekuasaan tak terbatas untuk menghapus kesalahan orang lain. Bentuk pengampunan dari seorang individu adalah berupa toleransi, dimana seberapa besar kesalahan yang dapat ditolerir akan berbeda-beda bagi tiap-tiap individu dalam menyingkapinya, meskipun dampaknya serupa.
Dengan keterbatasan di atas, pada akhirnya kita akan menyadari bahwa tindakan memaafkan tersebut hanya atau akan memberikan manfaat tersebsar kepada diri kita sendiri, dimana dengan memaafkan maka kita tidak menyakiti diri kita sendiri dengan berbagai emosi negatif seperti marah, sedih, resah, tertekan, dan lainnya. Memaafkan akan melepaskan diri kita dari persepsi negatif tersebut sehingga emosi kita akan menjadi stabil kembali, namun sama sekali tidak mengubah pikiran kita (tidak lupa), bahkan akan perlu membuat langkah-langkah antisipasi agar kesalahan yang sama tidak terulang kembali sehingga kita tidak kembali dirugikan di kemudian hari, berdasarkan defensive behaviour di atas. Jadi bila ditanya perlu memaafkan atau tidak, jawabnya tentu saja iya, namun tidak berarti menghapus kesalahan dan kembali ke awal. Kita tidak dapat menghapus apa yang telah terjadi. Dan bila ditanya batas maaf, yang sesungguhnya ditanyakan sebenarnya adalah batas toleransi akan kesalahan.
Kemudian mengenai permintaan maaf. Permintaan maaf yang diajukan oleh seseorang sesungguhnya adalah pernyataan bahwa dia ingin merubah dirinya, sehingga tidak perlu jawaban "dimaafkan" atau "tidak dimaafkan". Orang yang menyadari kesalahannya dan berniat memperbaiki dirinya, lalu mengucapkan permintaan maaf yang sebenarnya untuk menunjukkan sikap menghormati atau menghargai orang lain, tidak lebih dari itu. Apakah maafnya diterima atau tidak, seyogyanya tidak akan mempengaruhi niatnya untuk memperbaiki diri. Yang keliru adalah apabila seseorang meminta maaf dengan tujuan untuk merubah sikap/penerimaan/pandangan orang lain terhadap dirinya tanpa mau merubah dirinya sendiri.
Demikian sekilas tentang esensi dari maaf, dilihat dari sejarahnya, semoga bermanfaat.....
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H