DEFINISI DAN ASAL USUL KELAS MENENGAH
Keterpurukan (The Downfall), diartikan sebagai kehilangan kuasa, kemakmuran, atau status. Mengutip dari Investopedia dalam artikel "Middle Class: Definition and Characteristic", Kelas Menengah merupakan suatu deskripsi sosio-ekonomi bagi seseorang atau suatu rumah tangga yang berada pada tingkatan (level) diantara kelas pekerja dan kelas atas.Â
Mereka yang termasuk dalam Kelas Menengah memiliki penghasilan yang cukup untuk konsumsi sedikit kemewahan seperti liburan travelling atau restoran.
Namun, masih mengandalkan pinjaman untuk pengeluaran yang besar seperti pembelian rumah atau mobil. Di Amerika, sekitar 50% merupakan kelas menengah menurut Pew Research Center. Â Â
Sebelum ada Kelas Menengah, menurut Alejandro Santana, dahulu hanya ada 2 kelas yakni Kelas Borjuis (Bangsawan dan Tuan Tanah) dan Kelas Pekerja.Â
Kemudian pada abad ke-19 (sekitar tahun 1870 an) terjadi kenaikan biaya hidup sehingga banyak dari Kelas Pekerja yang jatuh dalam kemiskinan, disamping jam kerja yang sangat panjang yakni 12 hingga 15 jam per hari.Â
Kemudian, dalam artikel "Development of Middle Class", seiring berkembangnya industri dan inovasinya, terbuka lapangan kerja baru.Â
Dan bagi pekerja yang berpendidikan cukup (tinggi), merupakan kesempatan dengan gaji yang cukup tinggi juga, dan mereka inilah sebagai awal mula munculnya Kelas Menengah. Mereka ini disebut juga educated office workers atau pekerja kantoran teredukasi.Â
Demikian juga dengan dukungan pemerintah pada kesempatan mengecap pendidikan tinggi dengan dibukanya atau dibangunnya Universitas publik, yang mana dahulu kesempatan ini hanya bagi mereka di kelas atas, menciptakan kesempatan baru bagi para sarjana yang memasuki dunia kerja dengan penghasilan yang cukup tinggi. Â
Dari sejarah memang membuktikan bahwa pendidikan merupakan vital dalam kemajuan ekonomi.
KETERPURUKAN KELAS MENENGAH DAN DAMPAKNYA
Kelas menengah cenderung menghabiskan penghasilan lebih mereka pada konsumsi dan kesenangan (leisure). Mereka berbelanja merk-merk ternama, pergi menikmati atraksi dan hiburan-hiburan yang tersedia dan bersenang-senang.Â
Kelas Menengah dapat meningkatkan penghasilan mereka melalui kenaikan karir kerja maupun melalui kenaikan gaji.Â
Saat terjadi kenaikan harga barang, misalnya akibat dipangkasnya subsidi pada bahan bakar yang menyebabkan kenaikan harga bahan bakar dan pastinya akan turut mendongkrak kenaikan harga barang lain, sementara penghasilan tidak meningkat dengan setara kenaikan harga barang, menekan Kelas Menengah.Â
Konsumsi kebutuhan pokok dan kebutuhan prestis status sosial menjadi dinamika sendir saat situasi ini terjadi.Â
Kelas Menengah yang memilih tetap menjalani hidup prestisius atau mewah di tengah kenaikan biaya kebutuhan pokok seperti biaya kesehatan dan pendidikan yang sangat tinggi, terpaksa meminjam uang dari berbagai sumber, atau terpaksa menghabiskan simpanan mereka yang semula diperuntukkan untuk masa pensiun maupun keadaan darurat.
Sementara bagi Kelas Pekerja, biaya konsumsi prestisius atau status sosial ini tidak begitu dominan, dan di lain sisi Kelas Pekerja ini mendapatkan bantuan yang cukup memadai dari Autority.
Sehingga, kenaikan biaya hidup tidak berpengaruh signifikan terhadap pola hidup mereka. Setidaknya, bantuan dari autority tersebut tidak menyebabkan timbulnya kemiskinan massal pada kelas pekerja ini.
Keterpurukan Kelas Menengah dapat pula menyebabkan pengambilan keputusan yang cukup tidak lazim seperti mencoba-coba bisnis baru, dan mencoba-coba investasi baru.Â
Investasi maupun bisnis, yang dalam prosesnya membutuhkan ketrampilan bisnis yang jauh berbeda dari keseharian pekerjaan para Kelas Menengah ini, dapat berujung pada kesuksesan (tambahan income) tidak terduga.
Atau, malah dapat membuat Kelas Menengah semakin terpuruk bahkan jatuh terjerembab akibat ketidak-tahuan maupun keterbatasan pengalaman mereka pada bidang ini, yang disebut resiko bisnis dan investasi.
Kelas Menengah yang paling terpengaruh tentu saja adalah mereka yang baru memasuki kelas menengah, dimana tidak memiliki saving yang cukup serta aset tetap yang dapat menopang saat pengeluaran melebihi pendapatan mereka.
 Pemenuhan likuiditas tentu saja paling instan adalah melalui berbagai pinjaman jangka pendek, sehingga memang saat ini pinjaman-pinjaman sangat gencar diiklankan di media sosial, yang merupakan bukan pertanda baik.
PERKIRAAN KE DEPAN
Pengaruh Kelas Menengah sangat besar dalam public spending (belanja masyarakat) dimana dengan meningkatnya belanja masyarakat juga akan meningkatkan Produk Domestik Bruto sebagai indikator pertumbuhan ekonomi.Â
Saat populasi Kelas Menengah mulai menahan pengeluaran mereka, misalnya dengan menabung mati-matian, maka akan memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Apabila situasi keterpurukan ini berlanjut, beberapa perkiraan dari opsi yang dapat diambil oleh Kelas Menengah adalah sebagai berikut.Â
Bila Kelas Menengah yang memilih tetap untuk pada status sosial mereka atau mengutamakan kebutuhan prestisius dan kesenangan dengan mengorbankan pemenuhan kualitas (dan kuantitas) dari kebutuhan dasar seperti pendidikan dan makanan.
Maka dapat dibayangkan efek jangka panjang yang akan terjadi dimana tingkat pendidikan generasi berikutnya yang dibiayai Kelompok Menengah saat ini, serta tingkat kesehatan nya apa yang akan terjadi.Â
Belum lagi apabila Kelompok Menengah yang mempertahankan prestis ini memilih untuk  meminjam uang baik jangka pendek maupun jangka panjang, atau mengorbankan dana darurat mereka, yang tentu saja akan menempatkan mereka pada profil resiko finansial yang cukup rentan.
Peningkatan penghasilan serta subsidi pada kebutuhan dasar masyarakat tetap menjadi kunci dalam upaya mengembalikan Kelompok Menengah dari keterpurukan, yang ke kemudian akan menggerakkan kembali pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H