Sebelum menimbang-nimbang apakah perlu mengganti konsumsi beras saat kenaikan harga beras, perlu kita telaah lebih dalam menganai struktur dari beras itu sendiri.
Physical Characteristic dari Beras
Beras memiliki density atau massa jenis sekitar 750 kg/m3, sedikit lebih besar daripada jagung butiran kering (720 kg/m3), lebih kecil daripada air (1000 kg/m3), jagung utuh (900 kg/m3), kentang 1100 kg/m3. Porositas beras sekitar 45%, yang artinya saat menjadi nasi, maka secara sederhana dapat dikatakan beratnya akan menjadi lebih dari 145% berat semula, dimana seluruh pori pada beras terisi air yang massa jenisnya lebih besar daripada massa jenis butiran beras. Hal demikian tidak terjadi pada pangan karbohidrat lainnya seperti kentang, karena saat dijual di pasar kadar air pada kentang mencapai 79%, sedangkan kadar air pada beras dalam kemasan hanya sekitar 6,5% atau 12 kali lebih kecil daripada kentang. Karena perbedaan karakteristik fisik ini, yakni massa jenis, porositas, dan kadar air ini, kita tidak dapat membandingkan secara langsung misalnya bahwa 1 kg kentang seharga 12 ribu adalah lebih murah daripada 1 kg beras seharga 16 ribu. Dari penjelasan karakteristik fisik di atas, beras memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi dibandingkan produk pangan lainnya.
Demikian juga bila dilihat dari gradasi serta bentuk butiran beras sebagai bahan pangan, dimana akan lebih praktis mengemas beras daripada mengemas singkong misalnya, karena volume udara dalam kemasan yang berisi beras akan jauh lebih sedikit dibandingkan volume udara dalam kemasan yang berisi singkong.
Chemical Characteristic dari Beras
Menurut Shakri dalam tulisannya “Chemical Compositions and Physical Properties of Selected Malaysian Rice: A Review”, 70% dari suatu butir padi merupakan sel endosperm, sementara sisanya adalah kulit padi 21%, lapisan luar beras (rice bran) 8%, dan 1% nya adalah embrio padi. Endosperm ini merupakan cadangan makanan bagi embrio saat akan tumbuh menjadi tanaman baru. Beras juga mengandung Anthocyanins yang merupakan antioksidant sebagai zat antikanker dan melancarkan peredaran darah, dengan kandungan terbanyak pada beras merah/hitam.
Kadar amylose pada beras adalah 19-23% (beras long grain), tidak jauh berbeda dengan jagung (17-25%), kentang (17-24%), sorghum 25%, singkong (19-22%), dan keladi (9-15%). Semakin tinggi kadar amylose ini mencerminkan semakin rendahnya indeks glikemik. Semakin rendah indeks glikemik ini menandakan semakin perlahan pelepasan glukosa dalam darah sehingga dapat mencegah glucose spike, atau melonjaknya kadar gula darah secara tiba-tiba yang dapat merugikan kesehatan.
Mengapa dalam bahasa inggris baik beras, nasi, atau padi dinamakan sama yakni rice? Tentu saja karena prinsip universal bahwa substansi yang sama memiliki nama yang sama. Padi adalah beras yang belum dikupas. Bila Apel yang belum dikupas namanya tetap saja Apel. Demikian juga dengan nasi, yang merupakan beras yang telah direbus, seperti halnya apel yang telah dikupas lalu direbus, namanya tetap Apel. Lalu kenapa kita menyebutnya dengan nama yang berbeda? Alasan yang cukup terbilang rasional adalah karena jenis pangan “rice” ini sudah mendarah daging dan menjadi pangan utama di kehidupan kita, mengingat nasi sudah menjadi makanan pokok kita sejak lama dan diduga bahwa padi (Oryza Sativa) sudah masuk ke Indonesia sejak sebelum 1500 Tahun Sebelum Masehi, sehingga penamaan spesifik itu muncul.
Beras juga dapat disimpan dalam waktu yang cukup lama asalkan dengan penyimpanan yang baik seperti kemasan kedap, yakni dapat bertahan hingga 2 tahun. Dibandingkan dengan kentang dan ubi hingga 1 bulan, jagung mentah utuh 1 minggu, jagung panenan kering 8 bulan, dan jagung biji kering kemasan hingga 2 tahun. Dengan daya tahan yang cukup lama ini, beras cukup dapat diandalkan dalam hal memperkuat cadangan pangan.
Yakin Mengganti Beras?
Mengganti beras atau nasi dengan produk pangan lain, dalam arti berhenti mengkonsumsi nasi atau beras, dan mulai mengkonsumsi jenis pangan lain merupakan upaya yang tidak perlu dilakukan. Tentu saja karena jenis pangan apa pun itu, suatu saat pasti akan ada titik kelangkaan saat permintaan (demand) melonjak dan kapasitas produksi tidak mampu mengimbanginya. Dalam kebijakan ketahanan pangan, istilah yang digunakan adalah Penganekaragaman Pangan, bukan penggantian suatu jenis pangan yang ada karena suatu alasan ataupun suatu situasi seperti peristiwa kelangkaan beras. Penganekaragaman Pangan sendiri adalah upaya peningkatan konsumsi aneka ragam pangan dengan prinsip gizi seimbang. Dalam Perarturan Pemerintah tentang Ketahanan Pangan, untuk mendukung terciptanya Ketahanan Pangan, selain berbagai inovasi pada lini produksi dan distribusi pangan, terdapat juga yang namanya Cadangan Pangan mulai dari Tingkat Desa hingga Pusat. Cadangan Pangan ini berfungsi untuk mengantisipasi kekurangan pangan, kelebihan pangan, gejolak harga, atau pun terjadinya keadaan darurat.
Penganekaragaman Pangan
Ya, penganekaragaman pangan-lah yang dianjurkan. Selain tertuang dalam Peraturan Pemerintah tentang Ketahanan Pangan, upaya dan kebijakan Penganekaragaman Pangan juga tertuang dalam Peraturan Presiden tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal, yang tujuan utamanya adalah untuk keseimbangan gizi untuk mendukung hidup yang sehat, aktif, dan produktif, serta tujuan lainnya adalah dapat mengurangi ketergantungan konsumen pada satu jenis pangan. Namun pangan disini tidak terbatas pada karbohidrat saja, tapi termasuk sumber karbohidrat non beras dan non terigu, pangan, sumber protein, nabati dan hewani, serat, vitamin dan mineral.
Demikian sedikit analisa mengenai pengganti beras, berdasarkan pengalaman menangani pengembangan dan pengelolaan irigasi di Indonesia, semoga bermanfaat…..
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H