"Sebagai seorang anak, saya tidak mengerti mengapa saya selalu disalahkan sedangkan saudara perempuan saya selalu dianggap lebih istimewa. Saya adalah murid berprestasi tapi saudara perempuan saya tidak. Namun, ada sejarah yang menjadi pencetus semua perlakuan kasar ibu kepada saya. Ayah saya melakukan dosa dengan meninggalkan ibu saya dan menikah lagi dengan bahagia. Di mata ibu saya dianggap ikut berdosa karena berpenampilan seperti ayah yang tinggi, kurus, berambut cokelat dan berprestasi. Berseberangan dengan kakak perempuan saya yang merupakan tiruan ibu dengan berambut pirang, mungil dan lebih santai."
Sayangnya, anak-anak cenderung mengamini bahwa merekalah yang bermasalah. Mereka belum memiliki pengalaman untuk menyadari bahwa orang tualah yang perlu bantuan untuk memutus rantai scapegoat abuse ini. Â Anak tidak punya pengetahuan kalau orang tua yang penuh kasih sayang dan bijaksana tidak membagi anak-anak ke dalam peran "anak baik tanpa cela" dan "anak nakal/buruk tanpa kebaikan". Dengan begitu anak dipandang sebagai manusia utuh yang memiliki kelebihan sekaligus kekurangan.
Sebagai konsekuensi, para korban FSA harus berurusan dengan gangguan kepribadian/mental dan terapi sepanjang sisa hidupnya. Ironisnya bagi mereka yang selamat atau FSA survivor kebanyakan tidak pernah menyadari bahwa selama ini telah mengonsumsi tekanan dan pelecehan emosial dalam keluarga.
Apa saja dampak yang ditimbulkan Family Scapegoat Abuse bagi korbannya dan bagaimana cara memulihkan diri agar hidup mereka kembali berarti? Kita akan lanjutkan besok di bagian 2 ya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H