It is not the strongest of the species that survives, nor the most intelligent. It is the one that is most adaptable to change. - Charles Darwin (Father of Evolution)
Teman-teman tentu akrab dengan salah satu kutipan populer di atas kan. Mari kita bersepakat bahwa anak-anak perlu kita bekali dengan kemampuan adaptasi sedini mungkin.Â
Terlebih pada Era VUCA (Volatily, Uncertainty, Complexity and Ambiguity) saat ini. VUCA adalah sebuah kondisi ketika perubahan terjadi begitu cepat, tidak pasti, kompleks dan ambigu yang disebabkan oleh transformasi digital atau teknologi.
Kemampuan adaptasi ini termasuk saat anak-anak merasa stress, pesimis, depresi dan putus asa terhadap segala bentuk persaingan dan perubahan yang serba mendadak akibat Era VUCA di atas.Â
Ketika segala sesuatu tidak berjalan sesuai rencana, mereka menyadari segala emosinya. Mereka juga paham bahwa perasaan dan kondisi tidak nyaman itu hanya sementara.Â
Mereka bersedia untuk mencoba lagi dengan cara-cara baru untuk mencapai tujuannya. Kemampuan untuk menjadi lentur terhadap segala kondisi dan tangguh untuk bangkit kembali inilah yang kemudian disebut sebagai resiliensi.
Anak-anak dengan resiliensi cenderung mau mengambil risiko yang sehat karena mereka tidak takut gagal memenuhi harapan. Mereka penasaran, berani dan percaya pada insting.Â
Mereka tahu batasan dan mau mendorong diri sendiri untuk keluar dari zona nyaman. Kemampuan ini membantu mereka mencapai tujuan jangka panjang dan memecahkan masalah secara mandiri.
Lalu bagaimana cara untuk menumbuhkan resiliensi pada anak seperti di atas?
1. Bermain