Mohon tunggu...
Heni Pristianingsih
Heni Pristianingsih Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Mencari inspirasi hidup melalui kisah dan pengalaman

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Reuni

7 Mei 2022   23:32 Diperbarui: 7 Mei 2022   23:38 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar : piqsel.com

Arlitha memasuki gedung pertemuan tempat diadakannya acara reuni perak SMA dengan hati yang berbunga-bunga. Meskipun usia sudah tidak muda lagi, setidaknya dia masih bisa bercanda-ria mengingat masa-masa remaja dulu bersama teman seangkatannya.

Menggunakan gaun warna hitam berlapis emas di sepanjang tepinya, potongan rambut pendek sebahu lurus terurai, dan flat shoes kulit berwarna coklat tua masih menyiratkan keanggunan wajahnya yang ayu keibuan.

"Sendirian Litha?" sebuah tepukan kecil dari belakang sedikit mengejutkannya. "Desy, aku kira siapa. Sempat celingukan juga cari teman tadi," balas Arlitha sambil menggandeng temannya ini. Merekapun segera mengisi buku tamu dan mencari tempat duduk yang telah dipersiapkan dalam beberapa kelompok meja. 

Dari meja seberang, tampak seorang teman wanita yang terlihat begitu akrab dan manja dengan seorang laki-laki yang duduk di sampingnya. Namanya Silvy. Cantik dan seorang pengusaha mapan dalam bidang properti. Dari penampilan dan tutur katanya, dia merupakan sosok yang cerdas dan berkelas. 

Lamunan Arlitha seketika buyar tatkala seseorang memanggil namanya untuk tampil dan membawakan sebuah lagu sebagai pengisi acara hiburan dalam reuni sekolah itu. Dipilihnya sebuah lagu sendu yang mampu mewakili semua perasaan isi hatinya. Sekian lama dan cukup lama tersimpan menjadi suatu kenangan tanpa ada seorangpun yang tahu.

Ketika berada di atas panggung, Arlitha menyadari bahwa dia sebenarnya sangat mencintai dirinya sendiri. Semua berbanding terbalik 180 derajat ketika dia harus menghadapi suatu realita hidup yang ada di depannya. Bagaimanapun, hidup adalah pilihan. Berjuta kata penyesalan dan air mata juga tidak akan mampu mengulang semua kisah yang telah berlalu ketika itu.

Alunan musik berakhir diiringi dengan suara tepukan dari teman-teman Arlitha. Antara senyum dan tatapan mata yang sendu seakan menyiratkan pergolakan batin berkepanjangan. Sekali lagi, ini hanyalah bagian dari masa lalu. 

***

Berbagai hidangan disajikan dengan menu yang bervariasi. Mulai dari bakso, gado-gado, nasi goreng, kue basah, es buah, hingga singkong dan kacang rebus. 

Untuk kali ini, Arlitha kurang berselera menikmati semua makanan yang sudah tertata menarik di atas meja. 

Seharusnya tidak perlu ada penantian yang begitu lama tanpa ada kepastian. Sekali-kali pandangannya tertuju pada seseorang. Ada sebuah rindu yang terselip diantara segunung kebencian. Membiarkan orang yang dicintai tersenyum berbahagia dengan perempuan lain merupakan suatu kebodohan.

"Mana ada laki-laki yang memiliki cinta sejati. Bahkan makhluk itu bisa melupakan semua kenangan yang pernah ada begitu saja." Arlitha bergumam pada dirinya sendiri. 

Pandangan mata itu terasa menusuk jauh ke relung hati Arlitha. Masih terasa sama seperti saat beberapa tahun yang silam. Bedanya, sekarang ini hati Arlitha telah membeku. Baginya, semua hanyalah permainan saja.

Tidak ingin terlalu lama terpuruk dalam pemikiran yang tidak logis dan cenderung emosional, Arlitha segera berlalu tanpa meninggalkan sepatah kata apapun. Sebagai perempuan, dia masih punya harga diri. 

Cinta sejati baginya hanyalah suatu misteri. Namun setidaknya, dia telah mengambil keputusan yang tepat. Meninggalkan Pras suaminya dan menjalani kehidupannya seorang diri.

Bagaimana mungkin raganya bersama dengan suami, sementara jauh di sana, hati dan jiwanya telah tertambat dalam sebuah cinta yang lain. Dia tidak ingin hidup dalam kepura-puraan.

Hidup bersama dengan orang yang sebenarnya tidak ada dalam hati sama menyakitkannya dengan ditinggalkan oleh seseorang yang dicintai.

Arlitha melangkahkan kaki menuju tempat parkir. Kali ini, langkahnya menjadi semakin ringan. Dalam kondisi apapun, tidak sepantasnya perempuan menjadi terpuruk. 

Dihidupkannya mesin mobil, Arlitha berlalu meninggalkan tempat parkir sebagaimana keinginannya untuk melupakan semua masa lalu dan kepedihannya.

Hingga dia menemukan sebuah tulisan dari kaca belakang mobil lain yang berbunyi " Kita mungkin menikah tetapi kita tidak tahu kepada siapa kita akan jatuh cinta."

Arlitha tersenyum masam. Ingin rasanya dia lempar kaca jendela mobil itu dengan batu andai tidak ada hukum yang akan menjerat. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun