Mohon tunggu...
Wahyudi LM
Wahyudi LM Mohon Tunggu... Pengkhayal -

Kematian tak mengakhiri cinta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Surat

1 Oktober 2018   07:06 Diperbarui: 1 Oktober 2018   07:24 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suara yang paling jauh, yang paling lirih adalah sebuah surat. Ia bisa berasal dari mana saja: dari sebuah dusun yang tenang, dari sebuah metropolitan yang mahal atau bahkan dari kamp tahanan yang jauh terasing.  Atau dari pulau yang sendirian di tengah samudra.  Dari hati yang cinta, dari hati yang putus asa.

Ia bisa menempuh beribu-ribu kilometer jauh. Menelan waktu berbulan-bulan bahkan lebih lama dalam berbagai keadaan: zaman yang makmur, hujan, perang yang ganas, atau badai yang menenggelamkan; bukan untuk sekadar melepas kabar.  Sebuah surat membawa beban sejarah.

Sebuah surat bukan hanya sesuatu yang tertulis. Ia sesuatu yang sarat dengan asal --sesuatu yang datang dari masa lalu dan menghubungkan saat ini dengan masa depan. Lalu jarak pun tercipta. Lalu sejarah pun siap bergerak, berubah.

Di era kolonial, H.J Abendanon  --Menteri Kebudayaan, Agama dan Kerajinan Hindia Belanda merasa penting untuk mengumpulkan apa yang di tulis Kartini kepada teman-temannya nun di Eropa yang jauh setelah Kartini wafat. Maka dari surat-surat itulah terbit Door Duisternis tot Licht, "Dari Kegelapan Menuju Cahaya" tahun 1911. Sebuah cikal bakal buku yang kelak memperjelas kegundahan Kartini akan kaumnya: sebuah kebebasan, sebuah harapan dari Habis Gelap Terbitlah Terang.

Lalu sebuah kebudayaan tuapun tergugat. Surat-surat itu mengeluhkan apa yang menghambat kemajuan perempuan-perempuan di Jawa. Sekaligus menggugat kebebasan menuntut ilmu dan belajar untuk semua perempuan. Kartini menciptakan revolusinya melalui surat-suratnya, menyusul tema yang lebih besar sebelumnya yaitu Kebangkitan Nasional yang di usung Budi Utomo, 20 Mei 1908.

Sebuah surat sebuah keterbatasan, anehnya juga sebuah kebebasan. Dari sana sepucuk surat bisa tiba-tiba menyeruak ke permukaan mengungkap sebuah ironi, dengan kekuatan terakhirnya. Sebuah surat menyuarakan pekik sedih dan mencoba menggapai apa yang terasa sulit di luar sana. Suara-suara itu adalah Michelle, kelas 2 SD dan kakaknya Pramudya, kelas 6 SD. Mereka mencoba menjangkau batas yang jauh dengan kesedihan, takut, bingung dan sedikit harapan dengan menulis sepucuk surat kepada presiden karena ayah mereka dianiaya di sel tahanan sebuah polres, "saya sudah gak punya ayah." tulis Michelle.

Mungkin suara-suara itu sejenak mandek karena membentur sesuatu: mungkin was-was, keraguan bahkan ketakutan. Atau mungkin birokrasi yang terasa angkuh.

Tapi rasa sedih, kehilangan, dan marah tak ingin terhalang, bahkan oleh paksaan sekalipun. Sebuah surat akhirnya mendobrak segala keterbatasan itu. Tulisan merekapun bebas. Menyentuh semua lapisan.  Menyentuh kesadaran kita bahwa ada bagian "dunia" yang terenggut tak semestinya dan menciptakan luka, menyisakan kesedihan untuk mereka, anak-anak kita.

Begitu banyak cerita yang bisa kita tahu dari sebuah surat. Dari jelajah ruang-ruang privat itu  lalu tertuang ke segala bentuk: sedih, cita-cita, cinta, ragu atau sesuatu yang kian memberat, pengejawantahan dari esensi yang mendesak mencari penyelesaian, jawaban, sebelum semuanya terlambat. Untuk itu sepucuk surat bahkan bisa menempuh jarak yang tak terbatas. Jarak itu adalah sampai sejauh mana imajinasi kita mampu menyikapi persoalaan dengan realitas yang ada.

Terdengar mudah. Sayangnya, disini imajinasilah yang terasa akrab menemani saat-saat kita kalah. Saat-saat kita merasa hilang. Disana realitas malah terasa begitu menekan. Menjadikan segalanya jadi begitu jauh. Begitu pahit. Tapi ketika kita, sebagai mahluk yang di rundung mala, tak berdaya, sesambat kita kepada Sang Pencipta adalah hal yang lazim: menulis surat untuk Tuhan adalah romantisme antara imajinasi dengan realitas. Mereka berdamai dalam perspektif yang bersih.

Seperti surat Angel: "Tuhan, aku rindu sama bapak dan ibu. Sekarang aku cuma punya kakak. Dia yang selalu jagain aku. Tuhan jangan tinggalkan kita berdua, ya."

Melalui sebuah surat (terbuka) si kecil Angel berdoa sekaligus ingin memperoleh legitimasi betapa ia ingin bertemu bapak ibunya; ia juga ingin selalu bersama kakak satu-satunya, Anton yang selalu menjaganya dari apapun yang jahat. Anton pun dengan tulus selalu melindungi adiknya. Hingga sesuatu yang mengerikan terjadi.

Di film itu, Surat Kecil Untuk Tuhan (2017), yang kabarnya mampu menguras air mata penonton, surat Angel adalah harapan yang lugu: "aku ingin terus hidup bersama kakak." Harapan yang ternyata masih utuh tanpa terdistorsi waktu: cinta seorang anak kecil adalah sejati --15 tahun  kemudian  Angel, yang telah jadi pengacara, masih mencari kakak yang dulu menyayanginya, yang kini terpisah jauh di lain benua.

Apapun jenis sebuah surat, ia adalah lambang keterbatasan manusia untuk menjangkau maksud, impian, yang jauh; yang di batasi jarak, waktu atau keinginan-keinginan abstrak yang kadang sulit di pahami. Sebuah surat adalah alat bagi manusia untuk mencari jawab atas eksistensi dirinya dari masa lalu, di masa kini dan kelak ke masa depan. Apa yang terjadi disana kemudian sedikit banyak memberi warna untuk hidup kita. Hitam atau putih. Ya atau tidak.

 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun