Mohon tunggu...
Hening Nugroho
Hening Nugroho Mohon Tunggu... Penulis - Laki-laki

Menulis itu sederhana Ig @hening_nugroho Waroenkbaca.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Garis Depan Konflik Ketegangan Nuklir di Semenanjung Korea dan Dampaknya bagi Dunia

30 Agustus 2024   10:18 Diperbarui: 30 Agustus 2024   10:48 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Situasi di Asia Timur saat ini telah berubah menjadi semacam 'panggung sandiwara nuklir', di mana setiap aktor utama memegang skripnya sendiri, siap untuk memberikan aksi spektakuler kapan saja. Di tengah panggung, Korea Utara (Korut) mengguncang situasi dengan perjanjian strategis terbarunya bersama Rusia. Ini bukan hanya kesepakatan biasa, melainkan aliansi anti-Barat yang dirancang untuk meningkatkan kerjasama militer yang mencakup pengembangan senjata nuklir dan teknologi rudal yang lebih canggih. Di sisi lain, Korea Selatan (Korsel) dan Jepang bersama Amerika Serikat (AS) terlihat semakin intens dalam persiapan perang mereka, meningkatkan sistem pertahanan rudal dan melakukan latihan militer dengan lebih keras nyaris seperti orkestra perang yang menunggu dimulainya simfoni destruktif.

Korut, seperti penulis thriller yang andal, terus memompa ketegangan dengan uji coba rudal balistik yang sudah lebih dari selusin kali dalam beberapa bulan terakhir. Rudal-rudal Hwasong-15 dan Hwasong-17, yang memiliki jangkauan antarbenua dan bisa mencapai daratan AS, mengancam dengan potensi membawa hulu ledak nuklir. Mereka memamerkan teknologi peluncuran terbaru, seolah memberi tahu dunia bahwa mereka siap untuk "bermain besar". Tidak ada yang tahu apakah ini semua hanya gertakan atau pertunjukan kekuatan sebenarnya, tetapi satu hal yang pasti: Pyongyang dengan senang hati menggunakan semua kartu yang mereka miliki untuk meningkatkan daya tawar politiknya.

Di panggung seberang, Korsel merespons dengan memperkuat sistem pertahanan THAAD yang didukung AS, sementara Jepang menambahkan lebih banyak sistem Aegis Ashore dan kapal perang dengan sistem pertahanan rudal. Kapal induk AS seperti USS Ronald Reagan mengitari wilayah Pasifik seperti penjahat menunggu untuk masuk ke pertempuran jalanan. Peningkatan latihan militer ini ibarat gladi bersih untuk skenario perang habis-habisan. "Setiap uji coba oleh Korut meningkatkan risiko terjadinya kesalahan perhitungan yang dapat menyebabkan konflik besar," kata Jenderal Charles Brown dari Angkatan Udara AS. Kesalahan kecil saja, dan api bisa menyebar tak terkendali.

Namun, langkah defensif Korsel dan Jepang bukan tanpa jebakan. Pyongyang, dengan paranoia dan rasa tidak aman yang tinggi, dapat menganggap setiap tindakan sebagai ancaman eksistensial. Analis dari RAND Corporation memperingatkan bahwa setiap langkah bisa memicu respons pre-emptive dari Korut. Artinya, satu langkah salah dan kita mungkin melihat ledakan konflik besar di Semenanjung Korea. Permainan ini berisiko tinggi, dan Pyongyang tak segan-segan menekan tombol kapan saja.

Menurut wartawan militer senior Jon Herskovitz, tahun 2024 telah menyaksikan Korut meluncurkan 15 rudal balistik yang menjangkau total lebih dari 8.000 km, peningkatan signifikan dibandingkan 2023. Di sisi lain, Korsel dan AS telah melakukan lebih dari 50 latihan militer gabungan, meningkat 30% dari tahun lalu. Ini adalah angka-angka yang menggambarkan panggung drama yang semakin intens, di mana kedua belah pihak menari di tepi jurang perang.

Di belakang layar, Asia Timur menjadi arena persaingan sengit antara kekuatan besar. AS, Rusia, dan Tiongkok seperti tiga karakter dalam drama geopolitik, masing-masing berusaha mempertahankan atau memperluas pengaruhnya. Rusia, dengan konfliknya di Ukraina yang belum selesai, melihat Korut sebagai sekutu yang berharga untuk menghadapi tekanan Barat. Sementara itu, Tiongkok memainkan permainan dua wajah, memberikan dukungan setengah hati kepada Pyongyang sambil menjaga hubungan ekonominya dengan AS tetap utuh. Ini semua adalah bagian dari permainan besar yang bisa meledak kapan saja.

Indonesia, yang ribuan warganya bekerja di Korsel, harus mulai serius berpikir tentang rencana mitigasi jika "pertunjukan" ini berubah menjadi kenyataan apokaliptik. Ancaman perang nuklir bukan hanya cerita fiksi ilmiah; itu bisa terjadi dan membawa dampak bencana radiasi yang bahkan bisa mencapai Asia Tenggara. Dalam hal ini, pemerintah Indonesia harus lebih siap dari sekadar mengandalkan doa. Protokol evakuasi, koordinasi dengan Korsel dan Jepang, dan langkah-langkah kontinjensi lainnya harus segera disusun.

Di atas itu semua, Indonesia harus memperkuat jaringan intelijen untuk memantau setiap gerakan mencurigakan di Semenanjung Korea. Pemantauan pergerakan kendaraan peluncur rudal dan latihan besar-besaran Korut bukan hanya tugas intelijen biasa, ini adalah urusan hidup dan mati. Jika informasi terlambat atau salah, ribuan nyawa WNI di Korsel bisa terancam. Indonesia perlu bekerja sama dengan negara-negara dengan kemampuan intelijen canggih untuk memastikan kesiapan menghadapi ancaman yang bisa datang sewaktu-waktu.

Ketegangan ini juga bisa memicu perlombaan senjata di kawasan ini. Jika Korut terus lolos tanpa sanksi berarti, negara-negara lain seperti Jepang dan Korsel mungkin mulai berpikir untuk mengembangkan senjata nuklir mereka sendiri. Jepang, meskipun terikat oleh konstitusi damai, mungkin akan mempertimbangkan perubahan besar dalam kebijakan pertahanannya. Korsel, dengan kemampuan teknologinya, bisa saja mulai menyiapkan program nuklir secara diam-diam. Ini adalah skenario mimpi buruk yang bisa memperburuk situasi dan membawa kita ke era baru perlombaan senjata nuklir.

Dampak ekonomi global dari ketegangan ini juga tidak bisa diremehkan. Pasar energi dan komoditas akan mengalami fluktuasi harga yang tajam, dan negara-negara yang bergantung pada impor energi bisa menderita. Gangguan di pelabuhan utama seperti Busan dan Yokohama akan memicu krisis rantai pasokan global. Bukan hanya soal kenaikan harga, tetapi juga keterlambatan pengiriman yang bisa mempengaruhi ekonomi global pada skala yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.

Dalam situasi yang semakin berbahaya ini, diplomasi internasional harus memainkan peran yang lebih aktif. Namun, bukan diplomasi yang lemah dan penuh basa-basi. PBB dan negara-negara besar perlu menunjukkan otot diplomatik yang nyata, memaksa semua pihak untuk kembali ke meja perundingan. Jika tidak, ketegangan ini hanya akan semakin memanas dan bisa membawa kita ke titik tanpa jalan kembali.

Indonesia, dengan posisinya yang unik di Asia Tenggara, harus bertindak sebagai mediator yang kuat. Tidak cukup hanya menjadi penonton; Indonesia perlu menjadi pemain aktif yang memfasilitasi dialog dan mencari solusi jangka panjang. ASEAN bisa menjadi platform efektif, tetapi hanya jika negara-negara anggotanya bersatu dan mengambil sikap yang tegas dan terkoordinasi. Jika tidak, ASEAN hanya akan menjadi klub diskusi tanpa hasil nyata.

Dampak sosial dari ketegangan ini juga bisa berakibat panjang. Krisis pengungsi bisa terjadi, memaksa ribuan orang meninggalkan rumah mereka dan menciptakan masalah kemanusiaan baru di Asia Timur. Indonesia perlu mempersiapkan kebijakan yang mendukung pengungsi dan meningkatkan kapasitas bantuan kemanusiaannya. Selain itu, kesadaran publik tentang risiko ini harus ditingkatkan melalui pendidikan dan program kesadaran masyarakat.

Dalam menghadapi ancaman ini, koordinasi regional dan global harus ditingkatkan. Teknologi terbaru dalam pemantauan satelit, pertukaran intelijen, dan sistem peringatan dini bisa membantu dalam mendeteksi dan merespons ancaman lebih efektif. Tetapi teknologi saja tidak cukup; kemauan politik dan diplomasi yang kuat juga sangat diperlukan.

Secara keseluruhan, situasi di Semenanjung Korea memerlukan perhatian global yang lebih serius dan tindakan nyata untuk mencegah eskalasi. Kita tidak bisa hanya berharap pada keberuntungan atau retorika diplomatik. Dibutuhkan pendekatan yang berani, kerja sama internasional yang lebih erat, dan kesiapan untuk menghadapi apa pun yang mungkin datang. Dalam konteks ini, Indonesia harus tetap waspada, proaktif, dan siap untuk berperan dalam menjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan Asia Timur dan sekitarnya. 

Hanya dengan pendekatan yang tegas, ada harapan untuk mengurangi ketegangan dan mencegah konflik di Semenanjung Korea dan pada akhirnya, menciptakan dunia yang lebih aman bagi semua orang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun