Kaitan jala yang melingkar-lingkar itu mulai ditebar di atas permukaan, air yang diam dan tenang itu mulai berkecipak, ikan-ikan tersangkut tali tak bisa keluar, pemuda itu menariknya sampai ke darat, lalu menaikkannya ke atas wadah bambu, dikumpulkan dan diterbangkan menggunakan sebuah perahu cadik, ditarik dan diangkut dengan tali, didorong angin melalui Pelabuhan Canggu.
Para kuli panggul menanti antrian untuk menaikkan bambu-bambu berisi ikan itu sampai ke tujuan, ke berbagai pelosok nusantara, melalui Sungai Brantas hingga Majapahit, melintasi Jawa hingga ke bagian paling timur, bahkan perjalanan itu bisa sampai ke Semenanjung Malaka, dari Pelabuhan itu berlalu-lalang perahu-perahu kecil untuk penumpang, mereka rela mengantri lamanya untuk membeli barang, terutama rempah-rempah, para pelaut dari penjuru dunia juga ikut datang, mereka menanti kapal besar pembawa rempah itu, dengan Kapal Jung Jawa sampai di darat, di tepian Canggu untuk berlabuh.
Kemajuan Majapahit membawa banyak perubahan, di bawah kaki Sang Raja, semua daratan diubah layaknya surga rempah, para petani disibukkan setiap hari untuk memanen di sawah, ribuan butir padi yang siap jadi biasanya dipanen setiap dua kali dalam setahun, dan tidak hanya itu, hasil bumi lainnya juga tak sembarang bernilainya waktu itu, pala, kunyit, jahe, dan segala macam rempah juga dihasilkan dari perut Majapahit, dijual kemana-mana.
Canggu mempunyai dua desa yang berbeda namun tetap menyatu dalam satu wilayah, setiap desa diisi petak-petak sawah dalam ukuran yang sama besar, mereka membagi penduduknya menjadi beberapa pekerja tani untuk bekerja, di samping mereka juga melaut mencari pangan di sana, ikan-ikan yang melimpah dihasilkan dari sana. Di darat, sawah-sawah dilumpuri berbagai buah dan tanaman sayur, dan petak yang lain diisi kunyit dan rempah. Tak ada yang percaya bahwa geografis Majapahit juga didukung keberadaan suhu tropis yang kemarau dan musim penghujan yang meningkat setiap tahunnya. Namun pada akhirnya Sang Raja mampu menyatukan semua wilayah itu dengan kemakmuran, tidak ada wilayah yang kering kemarau, karena bendungan juga dibangun di beberapa tempat, menyimpan air dalam waktu yang lama untuk mengairi sawah mereka yang dilanda kekeringan.
Dua desa yang terlalu sibuk itu bernama Desa Sarbo dan Mabuwur, disanalah dua pemuda-pemudi terkenal bernama Gringsing dan Pinaka menghuni dua desa yang berbeda itu, yang satu adalah kuli panggul dan satunya lagi petani, Gringsing sebagai laki-laki dengan otot perkasa yang tak pernah takut melaut, bahkan mencari ikan hanya dengan perahu kecil, kail dan jalanya selalu dipenuhi hasil tangkapan, betapa gemah ripah kandungan perut Majapahit itu. Beruntung, Sang Raja tetap menasbihkan Negerinya sebagai Negeri Maritim, sehingga perdagangan menjadi pusatnya, barang rempah dan aneka kerajinan banyak diperjualbelikan, bahan keramik dari Cina, Logam dari India juga sering masuk untuk menawarkan komoditinya di Jawa, tak heran Pelabuhan Canggu menjadi area paling padat di antara yang lain. Dari Canggu penduduk Majapahit menghasilkan pundi rupiah dengan penjualan rempah, dari Canggu pula kehidupan Majapahit gemah ripah loh jinawi.
"Bapak lebih dulu kesana?" ujar Gringsing.
Pinaka menyambutnya, "Iya, Mas." Dengan senyum.
Gringsing tak bisa menjawab, hanya menggumam. Dari apa yang sudah diketahuinya, Pinaka lebih mirip wanita lemah lembut dibanding seorang petani, bahkan perintah ayahnya yang menjabat sebagai Demang untuk meninggalkan pekerjaannya itu tak menyurutkan niat Pinaka untuk menjadi petani saja.
"Buat apa hidup merdeka jika lautan kita lepas, buat apa jika kita merdeka tapi dengan daratan kita tidak bisa makan," selorok Demang itu di sela-sela rapat desa.
Suara itu menyadarkan pemuda Majapahit untuk menggali isi bumi mereka sendiri, mereka bekerja keras tanpa lelah siang malam mengerjakan ladang, sore dan paginya menjadi kuli atau petani, sementara sisanya membangun jembatan, merapatkan perahu-perahu layar untuk bersandar di Pelabuhan menyiapkan barang yang akan didagangkan.
Gringsing mempunyai bapak yang bekerja sebagai petani desa, tapi dialah juga juru kapal Jung Jawa, siapa yang ingin berlayar dialah nahkodanya, yang mengantarkan para kuli dan pedagang untuk mengantarkan hasil bumi. Tak ada yang tersesat, beberapa kali Gringsing menjadi pemandu bapaknya untuk melaut, betapa bapaknya itu nahkoda yang mahir, kapal sebesar Jung Jawa itu mampu dikemudikan dengan lincah, bahkan melalui selat-selat kecil pun sang bapak mampu mengendarainya tanpa kesulitan.
Nasihat bapak pada Gringsing, "Nak, perdagangan disini sangat pesat, banyak hilir mudik perahu-perahu kecil, kapal-kapal asing banyak yang datang dan berlabuh," sambil menunjukkan lengannya, jarinya memutar mengitari laut, "tapi lihatlah Nak, sejauh kapal ini berlayar, tidak ada satu pun yang meremehkan kedaulatan laut kita, inilah tujuan dari poros maritim, tunjukkan dengan bangga kepada Majapahit."
Esok harinya, Gringsing mendatangi singgasana Demang, dengan niat dan tujuan ingin melamar putri cantiknya yang bernama Pinaka, tapi aneh, apa yang sudah Gringsing dengarkan kepada sang Demang adalah kehebatan bapaknya mengendarai Kapal Jung Jawa, mengatakan pesona rempah Majapahit, perjalanan maritim, dan perdagangannya yang hebat membuat Sang Demang tersenyum.
"Kau datang kesini hanya untuk mengatakan itu?" tanya Sang Demang.
Gringsing menggumam, lagi-lagi untuk menghadapi Sang Demang harus mempunyai lidah yang panjang dan alot, tapi dengan alasan yang menarik Gringsing menjawabnya tanpa ragu-ragu, hanya untuk mengucapkan itu.
"Setelah pernikahanku dengan Pinaka, akan aku lembarkan daun Buah Maja ke seluruh penjuru Nusantara, Tuan."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H