Mohon tunggu...
Heni Damanik
Heni Damanik Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Tidak ada keberanian yang sempurna tanpa kesabaran. Sebab kesabaran adalah nafas yang menentukan lama tidaknya sebuah keberanian bertahan dalam diri seorang pahlawan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sai Tidak Bodoh

28 Maret 2014   22:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:20 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam yang begitu hening membuatku terhanyut dalam lamunan, dihadapan laptop butut pikiranku terus terpacu oleh angan-angan yang akan coba kujalani untuk menjadi guru  profesional.

Menjadi guru adalah cita-citaku sejak kecil. Dan ini menjadi pilihan  hidup yang kujalani saat ini. Pilihan ini menjadi motivasi dalam diriku sebab memberikan ilmu yang bermanfaat dan terbaik untuk orang lain adalah sedekah yang paling utama begitu agamaku mengajarkan.

Pilihan ini mengantarkanku  menjadi  relawan guru  Sekolah Guru Indonesia (SGI) Dompet Dhuafa. Program yang menghantarkan para relawannya untuk menjadi guru didaerah pelosok negeri selama satu  tahun.

Saat ini aku mengabdikan diri menjadi guru di SD Negeri 5 Maginti, Raha, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.  Sejak desember tahun lalu, aku menapakkan kaki di pulau  ini.Begitu  terlihat berbeda dengan kota besar seperti Medan atau Bogor. Ya.. karena aku berada di daerah terpencil. Semuanya jelas sangat berbeda , masyarakat dan kebiasaannya bahkan cara berbicaranya. terkadang aku  juga pusing apa yang dimaksud  mereka ketika berbicara denganku.

Lingkungan alam yang masih terasa disini, begitu banyak semak belukar yang  belum dibuka oleh penduduk. Jalanan setapak  dilapisi tanah merah dan batu-batu  padas.  Rumah-rumah panggung  yang  dikelilingi kebun-kebun mereka. Kebun palawija berupa jagung, kacang panjang , terong,dll.

Bahkan desa ini belum dialiri  listrik PLN, wrga masih menggunakan lampu sentir. Dan bagi yang mampu  membayar genset, mereka akan menggunakan itu untuk menerangi rumah diwaktu malam saja dari jam 18.00 -23.00 Wita.

Namun  itu harus kujalani untuk  mengabdikan  diri sebagai guru.  Bahkan ketika di kelas,  siswa dikota sungguh aktif dan memiliki percaya diri yang tinggi sedangkan disini begitu  malu mereka. Untuk bertanya  atau  mengacungkann  tangan saja tidak mau. Hem… harus ku ubah ini semua.

Dan saat pagi itu, aku memasuki kelas 3. Ruangan yang begitu tidak menarik bagiku. Dinding yang harusnya memberikan  semangat untuk belajar hanya terlihat kusam   tanpa ada hiasan apapun.  Kertas-kertas, bungkus makanan  ringan dan  permen menghiasi lantai ruangan ini. Aku hanya bisa menarik nafas panjang.

Akhirnya kusuruh anak-anak untuk memungut sampah dan membuangnya ketempat sampah. Dan aku pun mulai memberikan  pengertian  tentang kebersihan kelas dan memotivasi mereka untuk rajin belajar.

Satu bulan berlalu aku  mulai mengajar di kelas 3 ini. Ada beberapa siswa yang menjadi fokusku. Salah satunya  adalah Sai begitu ia dipanggil. Nama sebenarnya adalah  Sarifudin.. Ia anak yang sangat pemalu dan pendiam ketika disekolah. Tidak pernah bersuara ketika proses belajar mengajar  bahkan ketika ku suruh kedepan, ia hanya diam saja.Setelah kuketahui ternyata ia tinggal kelas  dan belum bisa membaca. Bahkan aku saja tidak bisa membaca apa arti tulisannya. Sungguh pernah  ia kusuruh membuat surat untukku dan hasilnya kepalaku  pusing ketika  membacanya. Aku tidak mengerti sekali arti huruf-huruf yang ditulisnya.

“Sai  itu bodoh dek, belum bisa membaca. Kakak bingung ngajarinya  soalnya bodoh kali” ucap bu Indri, wali kelasnya. Aku hanya tersenyum kecut mendengar kata-katanya.

Kenanganku  kembali ke masa itu dimana aku memiliki rasa seperti Sai. Diacuhkan dan  selalu diejek serta tidak pernah dimotivasi. Dapat dibayangkan kelas tiga SD aku baru bisa membaca,nilai raportku selalu merah namun aku tetap naik kelas karena kakak ayahku kepala sekolah di tempatku menuntut ilmu.  Dan  ketika melihat Sai, seperti melihat diriku sewaktu kecil. terpuruk kedalam  kebodohan.

Suatu hari ada percakapan antara aku dan ibunya Sai. “Bu guru, Sai memang bodoh  ya?” ujar Ibunda Sai dengan nada kecewa

. Aku terkejut dengan  kata-kata ibu itu, sepertinya darahku sedang mengalir keseluruh tubuh, “Loh.. kok bilang begitu bun, emang kenapa?” jawabku.

“Kemarin dulu saya ketemu sama bu Indri dan dia bilang sama saya bahwa Sai bodoh, belum bisa membaca. Kalau dia gak bisa membaca terus maka akan tinggal kelas lagi”ucap Ibunya Sai dengan  wajah yang murung.

Aku hanya menghela nafas. Mengapa  masih ada guru yang begitu tega mengatakan  siswanya bodoh bahkan kepada orang tua siswa. Apakah beliau  tidak memikirkan perasaan orang tua siswa tersebut. Ya Rabb..

“Bun mungkin bu  Indri  hanya bercanda  jadi jangan dipikirkan  ya..!” ucapku dengan senyum

“ Sai tidak bodoh bun bahkan  Sai  itu sangat kreatif. Tapi memang bunda, Sai memiliki penyakit lambat membaca sehingga dia belum bisa membaca sampai sekarang. Namun tenang bunda, kalau kita mau ngajari Sai dengan sabar dan tekun, InsyaAllah Sai pasti bisa membaca. Heni  yakin itu bun..” tambahku

Oh begitu ya bu. Terimakasih  ya..” jawab Ibunda Sai mata yang penuh harapan

Dan aku  mulai bertekad  untuk membuat  Sai bisa membaca. Aku  mulai memperhatikannya karena aku ingat ada penyakit yang biasa menimpa anak seusianya dalam hal membaca dan berhitung. Ingin rasanya aku menelpon  teman-teman SGI yang lain untuk berdiskusi namun aku hampir lupa bahwa ditempatku  ini tidak ada sinyal.

Kudapati sinyal bila dikota kabupaten yang jaraknya 1jam 30 menit bila naik motor  dan menjadi 3 jam  bila naik bus dari desaku. Akhirnya  kumanfaatkan waktuku dikota untuk browsing diinternet sembari aku dan teman-teman mengisi salah satu program acara di radio local. Setelah kubaca artikel-artikel diinternet dan buku  yang membahas penyakit ini.

Setelah melihat ciri-cirinya, aku  beristigfar panjang ternyata anakku  ini  mengalami DISLEKSIA . “Sebagai guru apa yang harus aku  lakukan” itulah yang ada dibenakku. “Bagaimana caranya agar ia terlepas dari penyakit ini”. Walaupun aku sering menonton film India  “Taare  zamen par” yang membahas tentang siswa yang mengalami penyakit Disleksia. Namun setelah kuhadapi secara langsung ada kebingungan  dipikiranku.

Namun itu hanya sementara, aku berusaha untuk mempelajari penyakit ini lebih dalam untuk membantu Sai bangkit dari keterpurukan proses belajarnya. Setiap malam aku  mengajarinya membaca. Bahkan terkadang aku hampir mau  menangis  dan  ingin marah dibuatnya untuk menghapal satu  huruf saja, dia membutuhkan waktu yang lama.

Terkadang aku beristigfar panjang melihatnya, terus menahan diri dan bersabar untuk menghadapinya. Namun semua itu hilang ketika melihat senyum dan  usahanya. Akhirnya setiap malam kami  hanya membahas satu  huruf.

Setiap malam  Sai selalu bersamaku  dan terkadang  ia membuatku  tertawa  karena  salah mengucapkan kalimat atau  huruf. Ada usaha yang kuat darinya. Aku yakin ia memiliki kemampuan yang luar biasa. Aku  masih sangat  ingat dengan kata-kata pak Munif Chatib dalam buku  Orangtuanya Manusia,

“ Kala kita percaya bahwa ada harta karun dalam diri anak didik kita. kita harus menjadi penyelam untuk menemukannya. Tak peduli kedalaman samudra yang terdalam, tak peduli gelapnya lautan yang tergelap, terus menjelajah temukan harta karun. Jika hari ini tak ketemu, esok pasti ketemu. Jika perlu,terus menyelam sampai akhir hayat.”

Ditengah keterbatasan Sai, ia anak yang sangat kreatif. Tiap malam aku selalu diberi karya berupa gambar-gambar yang sangat bagus. Bahkan  seminggu yang lalu aku diperlihatkan karyanya berupa ketapel. Aku sangat bangga kepadanya. Dia juga sangat pandai main bola, tiap sore hari aku selalu bermain bola dengannya dilapangan sekolah. Aku sangat yakin setiap anak memiliki kemapuan seluas samudra. Dan itulah tugas seorang guru untuk menemukannya dan membimbingnya.

Suatu malam  pernah  ia menulis dibukunya dan diberikannya kepadaku. Ini adalah tulisan pertama yang diberikannya kepadaku. Dan  membuatku hampir menitiskan air mata haru.

“Ibu Heni” , inilah tulisan yang di buatnya untukku. Aku tersenyum haru dan  memeluk serta berbisik “terima kasih  nak, Sai anak  pintar dan ibu yakin sai akan menjadi pemain bola yang hebat”

Dan malam-malamku selalu dihiasi tawa Sai dalam belajar membaca. Alhamdulillah sudah 3 bulan aku  mengajarinya. Kini ia sudah bisa mengeja walau terkadang ia lupa huruf  namun ada kesenangan yang tak terhingga dihatiku. Aku yakin BINTANG dalam dirinya akan terus bersinar jika kita sebagai guru atau pun orangtua mampu  membantunya.

Heni  Akhwat Damanik

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun