Logikanya sangat mudah dipahami. Ketika paslon terpilih karena masif dalam politik uang dipastikan akan berpikir bagaimana modal pilkada yang telah dikeluarkan bisa kembali. Rilis KPK menyebutkan, rentang waktu 2004-2019 telah menangani kasus korupsi 114 daerah. Perkara yang pling dominan adalah kasus suap/gratifikasi sebanyak 81 kasus, diurutan berikutnya adalah penyalahgunaan anggaran 27 kasus.Â
Pengelolaan barang dan jasa 13 kasus, perizinan 6 kasus dan pungutan 3 kasus. Jika kekuatan finansial berasal dari cukong, maka korupsi kebijakan sudah didepan mata. Pemenang sesungguhnya adalahh para cukong yang bisa jadi merupakan the shadow government. Kemandirian paslon terpilih dibawah bayang-bayang kendali para donatur politik. Dan berulang kali lembaga anti rasuah KPK mengingatkan tentang hal itu.
Masihkah kita belum menyadari akan bahaya politik uang? Seperti yang diungkapkan William Case (2002), kita masih menghadapi problem pseudo democracy.Â
Betul Pilkada atau pemilu digelar, tetapi marak diwarnai dengan praktek-praktek kecurangan termasuk politik uang. Kondisi tersebut nampaknya selaras dengan Index Demokrasi negara kita sebagaimana dirilis oleh The Economist Inteligence Unit yang menyebut negara kita sebagai negara dengan Flawed Democracy. Pemilu berlangsung tetapi memiliki sejumlah persoalan.Â
Fokus kita bukan lagi demokrasi prosedural yang sering dibuat parameter kuantitatif seputar berapa persen pemilih yang menggunakan hak pilih di TPS. Kita dengan segenap kemampuan dan kapasitas konsolidasi berbagai stakeholder seharusnya berupaya keras untuk meningkatkan kualtias pemilu. Korupsi menurun ketika kualitas pemilu meningkat dan ketika pengawasan lain dalam masyarakat dan negara mengakar, seperti kebebasan berpendapat dan berserikat, dan kontrol yudisial (McMann, et.al. 2017; Rochstein dan Homberg 2014).
Pemilu yang berintegritas terjadi pada dua level sekaligus: pemilih dan politisi. Terwujudnya politik elektoral yang berintegritas menjadi pintu masuk pemberantasan korupsi di Indonesia.Â
Studi menunjukan agenda politik elektoral yang berintegritas dihambat oleh maraknya politik uang (Muhtadi, 2019; Aspinall dan Berenschot 2019). Patologi demokrasi elektoral politik uang sudah semestinya kita basmi sampai tuntas. Ia penyakit yang punya daya rusak jangka panjang.Â
Selain problem turunan dari praktik politik uang mulai dari korupsi termasuk korupsi kebijakan, sampai dengan buranya masa depan daerah yang bersangkutan. Sumber daya finansial yang berada dalam lingkup APBD sangat rawan disalahgunakan. Jika sudah demikan kondisinya, bagaimana mungkin kita berharap kualita pembangunan yang berdampak pada keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
Siapa yang bisa menyembuhkan patologi itu? Yah kita semua. Spirit pemilihan yang berintegritas seharusnya ada dalam benak dan jiwa kita semua.Â
Dalam jangka panjang, jika patologi ini tidak segera kita sembuhkan; generasi hari ini bertanggung jawab terhadap generasi masa depan. Mengapa? Karena generasi hari ini tidak mampu memberikan keteladanan bagaimana misi mulia demokrasi elektoral seharusnya dilakukan. Generasi setelah kita akan mencontoh apa yang kita lakukan hari ini. Dan itu sungguh menyedihkan.Â
Kita tak punya nurani untuk meninggalkan legasi keteladanan kepada anak-anak kita. Dan bahkan yang lebih parah, kita hanya akan meninggalkan beban masalah pembangunan yang tak berjejak kebermanfaatannya.Â