Mohon tunggu...
Heni
Heni Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - lainnya

hobi masak

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Tradisi Ebeg Banyumasan

17 September 2024   18:35 Diperbarui: 17 September 2024   18:37 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kesenian Ebeg berkembang di daerah Jawa Tengah khususnya wilayah Banyumas, Purbalingga,Cilacap, dan Kebumen. Kesenian Ebeg termasuk dalam seni tari tradisional yang bercerita tentang ksatria yang berlatih perang (Pangeran Diponegoro).

Kesenian Ebeg berkembang di daerah Jawa Tengah khususnya wilayah Banyumas, Purbalingga,Cilacap, dan Kebumen. Kesenian Ebeg termasuk dalam seni tari tradisional yang bercerita tentang ksatria yang berlatih perang (Pangeran Diponegoro). Kesenian ini telah berkembang sejak meletusnya perang diponegoro (de java oorlog, 1925-1930). Pemain ebeg terdiri dari 5 ? 8 personil yang menari dengan diiringi gamelan. Tarian ini sejatinya melambangkan dukungan rakyat terhadap Pangeran Diponegoro dalam melawan imperialisme kolonial Belanda. Pada pementasannya, tari ebeg terdiri dari empat pembabakan (fragmen), yaitu fragmen buto lawas yang dilakukan 2 kali, fragmen senterewe, dan fragmen begon putri. Tarian ebeg tidak memerlukan teknik koreografi yang rumit, tetapi penarinya dituntut untuk bergerak secara selaras dan kompak satu sama lain sesuai ritme alunan musik gamelan. Masyarakat banyak yang mengaitkan kesenian ini dengan hal-hal yang bersifat magis, mengingat dalam salah fragmen tertentu, penari mengalami kerasukan dan hilang akal(trance). Ketika para penari mulai kesurupan (mengalami trance/ mendhem/ wuru), tanpa sadar mereka memakan pecahan kaca, bara api dan benda benda berbahaya lainnya, makan dedaunan yang belum matang, dedhek/ kathul (pakan ternak), kemudian mengupas serabut kelapa dengan gigi, memakan), serta bertingkah sepeti monyet, ular, dll . Hal ini sebagai simbol kakuatannya Satria. Simbol ksatria lainnya juga dilambangkan dengan menunggangi kuda kepang yang menggambarkan kegagahan prajurit berkuda. Pertunjukan ebeg biasanya dilengkapi dengan atraksi barongan, penthul dan cepet (makhluk imajiner). Kesenian ini pada dasarnya membawa pesan yang baik yaitu tentang imbauan kepada manusia agar senantiasa melakukan kebaikan dan ingat kepada Sang Pencipta. Kesenian ebeg mulai dipentaskan setelah waktu duhur atau sekitar pukul 13.00 hingga pukul 15.00. Tarian ini dipentaskan di tempat yang lapang dan terbuka. Peralatan yang penunjang kesenian ini antara lain Gendhing pengiring, terdiri dari kendang, saron, kenong, gong, dan terompet. Selain itu, instrumen yang digunakan penari antara lain kostum dan kuda yang terbuat dari bambu (ebeg). Sesaji (uba rampe) yang disediakan untuk pertunjukan ini antara lain bunga-bungaan, pisang, kelapa muda (degan), jajanan pasar, dll. Lagu yang dimainkan untuk mengiringi kesenian ebeg ini merupakan lagu-lagu Banyumasan (berlogat khas ngapak) seperti ricik-ricik, Tole-Tole, Waru Doyong, sekar gadung gudril, blendrong, lung gadung, cebonan, dll. Penari ebeg tersusun berdasarkan formasi 1 orang sebagai penthul-tembem (pemimpin atau dalang) dan 7 orang sebagai pemain gamelan (niyaga). Penthul-tembem (pemimpin) memiliki tanda khusus yaitu memakai topeng. Selain penari, dalam kesenian ini juga terdapat Penimbun atau orang yang menyembuhkan sekaligus membuang roh ghaib dari tubuh para penari. Panimbun beraksi untuk menyembuhkan pemain yang mengalami kesurupan (trance) pada fragmen terakhir. Penimbun/ penimbul merupakan tokoh masyarakat setempat yang ahli dalam menyembuhkan gangguan roh-roh halus. Para penari mengalami kesurupan sebagai efek yang ditimbulkan akibat pembakaran kemenyan yang menjadi syarat pementasan untuk persembahan kepada para arwah maupun penguasa makhluk halus disekitar.enian ini telah berkembang sejak meletusnya perang diponegoro (de java oorlog, 1925-1930). Pemain ebeg terdiri dari 5 ? 8 personil yang menari dengan diiringi gamelan. Tarian ini sejatinya melambangkan dukungan rakyat terhadap Pangeran Diponegoro dalam melawan imperialisme kolonial Belanda. Pada pementasannya, tari ebeg terdiri dari empat pembabakan (fragmen), yaitu fragmen buto lawas yang dilakukan 2 kali, fragmen senterewe, dan fragmen begon putri. Tarian ebeg tidak memerlukan teknik koreografi yang rumit, tetapi penarinya dituntut untuk bergerak secara selaras dan kompak satu sama lain sesuai ritme alunan musik gamelan. Masyarakat banyak yang mengaitkan kesenian ini dengan hal-hal yang bersifat magis, mengingat dalam salah fragmen tertentu, penari mengalami kerasukan dan hilang akal(trance). Ketika para penari mulai kesurupan (mengalami trance/ mendhem/ wuru), tanpa sadar mereka memakan pecahan kaca, bara api dan benda benda berbahaya lainnya, makan dedaunan yang belum matang, dedhek/ kathul (pakan ternak), kemudian mengupas serabut kelapa dengan gigi, memakan), serta bertingkah sepeti monyet, ular, dll . Hal ini sebagai simbol kakuatannya Satria. Simbol ksatria lainnya juga dilambangkan dengan menunggangi kuda kepang yang menggambarkan kegagahan prajurit berkuda. Pertunjukan ebeg biasanya dilengkapi dengan atraksi barongan, penthul dan cepet (makhluk imajiner). Kesenian ini pada dasarnya membawa pesan yang baik yaitu tentang imbauan kepada manusia agar senantiasa melakukan kebaikan dan ingat kepada Sang Pencipta. Kesenian ebeg mulai dipentaskan setelah waktu duhur atau sekitar pukul 13.00 hingga pukul 15.00. Tarian ini dipentaskan di tempat yang lapang dan terbuka. Peralatan yang penunjang kesenian ini antara lain Gendhing pengiring, terdiri dari kendang, saron, kenong, gong, dan terompet. Selain itu, instrumen yang digunakan penari antara lain kostum dan kuda yang terbuat dari bambu (ebeg). Sesaji (uba rampe) yang disediakan untuk pertunjukan ini antara lain bunga-bungaan, pisang, kelapa muda (degan), jajanan pasar, dll. Lagu yang dimainkan untuk mengiringi kesenian ebeg ini merupakan lagu-lagu Banyumasan (berlogat khas ngapak) seperti ricik-ricik, Tole-Tole, Waru Doyong, sekar gadung gudril, blendrong, lung gadung, cebonan, dll. Penari ebeg tersusun berdasarkan formasi 1 orang sebagai penthul-tembem (pemimpin atau dalang) dan 7 orang sebagai pemain gamelan (niyaga). Penthul-tembem (pemimpin) memiliki tanda khusus yaitu memakai topeng. Selain penari, dalam kesenian ini juga terdapat Penimbun atau orang yang menyembuhkan sekaligus membuang roh ghaib dari tubuh para penari. Panimbun beraksi untuk menyembuhkan pemain yang mengalami kesurupan (trance) pada fragmen terakhir. Penimbun/ penimbul merupakan tokoh masyarakat setempat yang ahli dalam menyembuhkan gangguan roh-roh halus. Para penari mengalami kesurupan sebagai efek yang ditimbulkan akibat pembakaran kemenyan yang menjadi syarat pementasan untuk persembahan kepada para arwah maupun penguasa makhluk halus disekitar.

Ebeg merupakan istilah kesenian kuda lumping atau jaran kepang untuk wilayah sebaran budaya Banyumasan. Pertunjukan ebeg umumnya diiringi oleh gamelan ataupun calung dengan jumlah penari 6 -- 20 orang atau lebih. Perlengkapan tarian ebeg ini menggunakan kuda-kudaan yang terbuat dari anyaman bamboo serta dilengkapi dengan beragam sesaji. Babak adegan ebeg dimulai dari tari-tarian, janturan dan gapetan yang dipimpin oleh seorang penimbul/dalang. Pada saat janturan para pemain umumnya kesurupan roh (indhang) dengan karakter tingkah yang berbeda-beda dan proses mengembalikan kesadarannya dilakukan oleh sang penimbul. Saat ini ebeg tidak hanya dimainkan oleh kaum pria, beberapa grup juga seringkali menampilkan penari dan penimbul ebeg wanita.

 
Sarana lain dalam penampilan ebeg adalah separangkat sesaji diatas meja atau bisa digelar diatas tikar seperti dawegan atau kelapa muda, padupan (tempat pembakaran menyan), kembang setaman dalam baskom, singkong, kacang tanah, pisang, dan masih ada beberapa sesaji yang lain. Pertunjukan ebeg sering dilaksanakan siang hari sektitar jam 2 siang dikarenakan untuk menanti penonton yang sudah habis bekerja, setelah bentuk tari-tarian selesai dilanjutakn dengan janturan yang dimana beberapa penari kesurupan kemudian oleh penimbul diberi mantra orang yang kesurupan itu agar sembuh. Setelah tahap janturan selesai, yaitu tahap tarian BALADEWAAN. BALADEWAAN itu mengilustrasikan BALA = teman dan DEWA = dewa dari kahyangan. Tarian ini ditarikan dengan gerakan yang dinamis atau sigrag, menatap kedepan dengan optimis. Lagu-lagu yang ditarikan dalam BALADEWAAN bersifat tolong menolong, menghormati, rasa syukur dan sejenisnya (terlampir)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun