Berkat diketemukannya metode Iqro ini, kemudian dibarengi dengan munculnya gerakan TK Al Quran, akhirnya seluruh tanah air Indonesia telah mengalami gairah baru dalam mempelajari membaca Al Quran. Demikian pula lembaga baru lainnya yang muncul mengiringinya seperti Taman Pendidikan Al Quran (TPA), TKAL, TPAL, TQA, Majelis Pengajian Al Quran, BKB Iqro, Kursus Tartil, dan lain sebagainya dengan aneka nama, namun memakai metode Iqro.
Kesemuanya itu ternyata mampu menggairahkan kembali umat Islam untuk mempelajari Al Quran. Bahkan dari data yang ada pada Balai Penelitan dan Pengembangan (Balitbang) Lembaga Pengajaran Tartil Quran (LPTQ) Nasional di Yogyakarta, tercatat pada tahun 1995 diseluruh Indonesia kurang lebih telah tumbuh unit-unit TKA-TPA sebanyak 30.000 unit dengan santri mencapai 6 juta anak (Balitbang LPTQ Nasional: 1995). Tak hanya di dalam negeri, buku Iqro ini juga sudah dipakai di luar negeri seperti negeri Jiran Malaysia, Singapura, Bruney Darussalam, Arab Saudi, bahkan Amerika.
Sebenarnya selain metode Iqro dan penyusunnya, masih banyak metode yang lain dari cara belajar membaca Al Quran seperti metode Qiroati, Hattaiyyah, metode Kamali, serta metode Al Barqy. Hanya saja yang paling berpengaruh terhadap masyarakat serta paling banyak digunakan adalah metode Iqro. Berkat disusunnya metode Iqro ini, kemudian dibarengi dengan munculnya gerakan TK Al Quran, akhirnya seluruh tanah air Indonesia telah mengalami gairah baru dalam mempelajari membaca Al Quran.
Biografi KH As'ad Humam
Nama asli dari KH As'ad Humam hanyalah As'ad saja, sedangkan nama Humam yang diletakkan dibelakang adalah nama ayahnya, H Humam Siradj. KH As'ad Humam (alm) tinggal di Kampung Selokraman, Kotagede Yogyakarta. Ia adalah anak kedua dari 7 bersaudara. Darah wiraswasta diwariskan benar oleh orang tua mereka, terbukti tak ada satu pun dari mereka yang menjadi Pegawai Negeri Sipil. KH Asad Humam sendiri berprofesi sebagai pedagang imitasi di pasar Bringharjo, kawasan Malioboro Yogyakarta. Profesi ini mengantarnya berkenalan dengan KH Dachlan Salim Zarkasyi.
Meskipun sebagai orang Muhammadiyah, tidak membuat KH As'ad Humam menutup diri dari kalangan lain, serta membuka pergaulan seluas-luasnya dengan orang lain tanpa memandang organisasi, aliran keagamaan, maupun lembaga yang diikutinya. Ia berpendapat bahwa "Semakin ramai kita berseminar mengenai ukhuwah Islamiah, maka umat Islam akan semakin pecah" (Budiyanto, 2006: 29). Dalam berbagai forum-forum pertemuan, KH As'ad Humam yang dilahirkan dan dibesarkan dari lingkungan Muhammadiyah tak henti-hentinya mengingatkan bahwa organisasi itu, baik Muhammadiyah, Nadhatul Ulama (NU), Al Irsyasad, Persatuan Islam (Persis) dan lain sebagainya adalah sekadar wasilah (alat) untuk memperjuangkan Islam. Islamlah yang menjadi tujuan, bukan organisasi.
Maka tak aneh ketika ia dengan suka rela menawarkan gagasan tentang metode Iqro yang dimilikinya kepada KH Dachlan Salim Zarkasyi untuk dilaksanakan, serta tidak memilih lembaga-lembaga Muhammadiyah sebagai organisasi mayoritas di lingkungannya, mengingat visinya bukanlah persaingan, namun bagaimana dengan seefektif mungkin memberikan sebuah metode yang dirasakan paling mudah untuk mengembangkan pembelajaran secara cepat kepada anak-anak khususnya.
As'ad Humam bersekolah di Sekolah Dasar (SD) Muhammadiyah Kleco, Kotagede, Yogyakarta, dan tamat pada tahun 1948. Serta dididik sendiri oleh Ayahnya terutama dalam pelajaran membaca Al Quran. As'ad Humam kecil melanjutkan sekolah di Muallimin dan hanya bertahan 1 tahun, kemudian ketika beranjak remaja dia pindah ke Ngawi, Jawa Timur, mengikuti kakak iparnya, Kiai Su'aman Habib yang menjadi penghulu di kota ini. Disana ia masuk ke SLTP, hingga lulus. Setelah itu As'ad Humam pindah lagi ke Yogyakarta dan melanjutkan di Sekolah Guru bagian Agama (SGA), namun tidak sampai lulus dikarenakan terserang penyakit pengapuran tulang belakang, dan harus menjalani perawatan di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta selama satu setengah tahun. Penyakit inilah yang dikemudian hari membuat As'ad Humam tak mampu bergerak secara leluasa sepanjang hidupnya. Hal ini dikarenakan sekujur tubuhnya mengejang dan sulit untuk dibungkukkan. Dalam keseharian, sholatnya pun harus dilakukan dengan duduk lurus, tanpa bisa melakukan posisi ruku' ataupun sujud. Bahkan untuk menengok pun harus membalikkan seluruh tubuhnya.
Meski dalam pendidikan formal nasib As'ad Humam tidak begitu beruntung, namun tidak demikian dengan pendidikan nonformalnya. Hal ini dikarenakan sejak dini As'ad Humam telah dididik sendiri oleh ayahnya, H. Humam. Ketika masa remaja, As'ad Humam belajar Al Quran beserta tajwid dan dasar-dasar ilmu agama pada kakak iparnya, Kiai Su'aman Habib, suami dari kakak perempuan As'ad Humam, Hj. Wasilah. Kiai Su'aman Habib yang asli Magelang, dengan tujuan semula datang ke Kotagede dalam rangka nyantri di pesantren milik Kiai Amir kemudian menikah dengan Hj. Wasilah ketika usia As'ad Humam menjelang remaja (sekitar usia SD kelas 6). Sejak saat itu, As'ad Humam terus menerus berguru pada beliau, sehingga sewaktu kakak iparnya pindah ke Ngawi, maka beliau pun ikut. Bisa dikatakan selain sebagai kakak ipar, Kiai Su'aman Habib adalah guru As'ad Humam yang paling utama dalam bidang agama. Hal ini dikarenakan As'ad Humam mengikuti dan senantiasa berguru kepada Kiai Su'aman Habib bahkan hingga ahir hayat KH As'ad Humam.
Kiai Suaman Habib adalah seorang ulama yang terpandang di Magelang. Ia termasuk andil dalam mendirikan Universitas Muhammadiyah Magelang, dan juga mengajar disana. Ilmu kiai Suaman Habib cukup luas, terutama dalam masalah tafsir, hadits, dan fiqih. Ia juga sangat menguasai kitab-kitab kuning dan sanggup memberikan kritik terhadap pendapat-pendapat madzab yang ada, termasuk pendapat dalam keputusan tarjih Muhammadiyah sekalipun (Budiyanto, 2000: 19).
Selain dari kakak iparnya, ilmu-ilmu agama As'ad Humam diperolehnya melalui aktif mengaji di lembaga pendidikan seperti di Masjid Syuhada Yogyakarta, Masjid Besar Kauman, serta di beberapa pondok pesantren. Bahkan untuk mencapai jarak tempat pengajian yang cukup jauh yaitu sekitar 7 kilometer dari Kotagede hingga Gedongkiwo, ia naik sepeda Brofit (sejenis sepeda motor kecil 40 cc) berangkat dari rumah sebelum subuh, kemudian ikut mengaji Al Quran yang diselenggarakan setelah subuh, menumpang mandi di masjid, dan melanjutkan perjalanan ke tempatnya bersekolah di SGA Muhammadiyah Gedongkiwo Yogyakarta (Budiyanto, 2006: 20).