Bunga KPR turun! para perbankan berpromosi dengan rentang bunga yang kompetitif. Rentang suka bunga mulat dari 4,5% sampai 6,25% ditawarkan dengan model fixed rate dengan rentang tahun bervariasi, antara satu tahun hingga lima tahun.Â
Di fase ekonomi masa pandemi, pemerintah melalui regulasi Bank Indonesia, berupaya  untuk mendongkrak sektor properti untuk bertumbuh ditengah melambannya daya beli masyarakat. bahkan di tahun 2021 dan sampai saat ini, Sri Mulyani-Mentri Keuangan RI, masih memberikan discount PPN sebesar 50%.Â
Dan ini pasti santa mendongrak pertumbuhan sektor properti. setidaknya terlihat dari even expo properti, di pusat-pusat pembelanjaan, bahkan promo penawaran properti melalui media sosial, dengan fokus bidik kepemilikan rumah bagi kaum muda, pasangan muda dan  generasi millenial.Â
Mending beli rumah daripada kos! itulah salah satu iklan yang sering terlihat di promo properti. Di Tangerang dan Bogor Raya, entah berapa banvak baliho properti saling bersanding bersaing, menawarkan aneka tipe rumah dengan varian harga beraneka promo, entah Free DP, Cicilan murah, Free Surat-surat dan promo lain yang menarik bagi pemburu properti.
Namun demikian, ada satu yang menarik yang patut, kita cermati. bahwa proses pembelian rumah nontunai/hard cash, bukan berarti rendah biaya!Â
Setidaknya, jika hendak membeli properti secara KPR ada dana awal yang perlu diperhitungkan, dicadangkan dan disiapkan dan secara total berkisar antara 5%-8% dari harga jual setelah discount.Â
Biaya apa saja yang perlu disiapkan? Sudah pasti bayar DP (Jika ada, dan saran saya baik Jika ada DP, Karena mengurangi beban pinjaman KPR), Biaya Akad kredit biasanya sudah diperhitungkan dengan nilai kredit KPR, biaya notaris, biaya surat-surat, biaya asuransi jika ditotal kisaran 5%.Â
Masih ada lagi yang harus kita siapkan...? Eiitss jangan lupa siapin beberapa keping materai Rp 10.000,-minim 10-15 lembar atau kalaupun kita tidak siap materainya, nanti kita diwajibkan membeli di bank yang dibayar tunai atau potong saldo. Itu baru biaya yang normatif. Ada biaya yang menambah cadangan extra, yaitu biaya saldo mengendap satu kali cicilan, yang dikunci di rekening terdebit.Â
Sekadar berbagi pengalaman saja, saya di tabun 2007 membeli properti pertama bahkan beberapa tahun kemudian membeli properti kedua, tidak ada kebijakan saldo mengendap cicilan, dan Puji Tuhan, lancar bayar hingga 'cumluade' lulus masa kredit. Namun di masa Pandemi seperti sekarang ini, dimana sektor daya beli masyarakat sedang menurun, dan pemerintah mengupaya mendongkrak sektor properti dengan pelbagai regulasi, namun ada yang sedikit regulasi bank yang menurut saya justru mengedapankan pengamanan perbankan saja, yaitu dengan kebijakan saldo mengendap senilai satu kali cicilan.Â
Kalau kita cermati, seorang debitur ketika mengajukan proses KPR, tentunya sudah melalui proses appraisal dari analis bank sedemikian rupa hingga dilayakan, termasuk didalamnya adalah kemampuan membayar cicilan per bulan sampai dengan masa kredit berakhir (tentunya sudah diperhitungkan dengan aspek standar keamanan bank) bahkan kreditur pun memegang funding Guarantee berupa sertifikat properti dan lain-lain yang disepadankan dengan nilai pinjaman.Â
Hal ini tentunya bertujuan jika terjadi force majeur, bank memiliki nilai yang dapat dipertanggungkan. Menjadi pertanyaan, mengapa masih harus ditambah saldo mengendap? bukankah justru menjadi over cost bagi debitur, dan tidak berkorelasi sebagai wujud penjaminan, karena nilai satu kali cicilan hanya bersifat numpang lewat saat terjadi keterlambatan bayar?Â