Mohon tunggu...
Hengky Fanggian
Hengky Fanggian Mohon Tunggu... Wiraswasta -

There Must be a Balance Between What You Read and You What Write

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Why Still Be a Kompasianer Whilst As a Youtuber We Can Get Paid

17 November 2016   22:03 Diperbarui: 27 November 2016   12:09 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di artikel penulis sebelumnya wahai-silent-reader-ayo-menjadi-active-writer https://goo.gl/gM3Bei nampaknya ada beberapa silent reader yang tergugah dan berkomitmen akan menulis. Namun hingga kini penulis perhatikan belum ada artikel beliau-beliau tersebut yang muncul di kompasiana. Untuk itu perkenankan penulis memberikan support lanjutan.

Saat kita telah selesaikan satu draaf artikel, terkadang kita merasa bahwa draaf tersebut jelek, kurang bermutu bahkan acak kadut. Tenang pembaca, itu alami dan manusiawi, penulispun sering merasakan hal yang demikian, terutama untuk artikel yang sarat dengan argumentasi, alias agak berat isinya bagi penulis.

Fase pertama dalam menulis, memang seolah-olah kita BrainStorming seluruh apa yang ada di benak kita, dan karena namanya BrainStorming maka tak ayal draft naskah akan super-duper padat bahkan terkesan acak-acakan. Jangan khawatir dan berkecil hati, penulispun mengalami perasaan yang sama.

Yang penulis lakukan selanjutnya sebetulnya cukup sederhana, yakni mereview seluruh tulisan tersebut (dengan membacanya) dari awal hingga akhir. Kemudian mencari redundancy (pengulangan yang tidak perlu), membuang kata / kalimat redundan tersebut. Selanjutnya adalah mengurutkan logika pikir dari artikel tersebut. Kata atau kalimat ini/itu lebih tepat dipindah ke alinea yang lain untuk menguatkan arti sekaligus membuat calon pembaca lebih memahami maksud dari artikel tersebut. Inilah yang disebut Fase kedua yakni Fase Triming atau Finishing.

Analoginya adalah pada fase pertama kita menumbuhkan pohon, dan di fase kedua kita memangkas pohon tersebut (trimming) agar sesuai dengan maksud hati kita semula. Lihatlah bukankah pohon akan kelihatan sangat bagus dengan bentuk aneka ragam setelah Triming selesai.

Mudah sekali bukan, Nah setelah fase itu selesai sebetulnya naskah tersebut dapat dikirim namun bagi pemula… penulis sarankan untuk melakukan proofreading sederhana. Artinya meskipun kita sudah merasa tulisan kita tersebut 100% benar namun ada baiknya kita tetap meminta tolong pada orang lain (suami/istri kita) untuk membacanya.

Kemudian tanyailah dia apa maksud dari tulisan tersebut, bila pembaca mengerti sepenuhnya maksud tulisan tersebut maka sampai disini anda telah sukses menuangkan pikiran anda ke dalam bentuk ragam tertulis.

Tak jarang terjadi pembaca salah mengerti maksud dari tulisan anda tersebut. Bila itu terjadi, jangan berkecil hati. Periksalah ulang artikel anda tersebut. Apakah anda memakai Complex Sentence padahal anda belum mahir sebagaimana guru sastra anda, jika demikian rubahlah menjadi simple sentence saja. Lebih baik kita menggunakan bahasa sederhana namun pembaca mengerti daripada kita menggunakan bahasa canggih namun berpotensi menimbulkan kesalah pahaman.

Bila tetap ada proofreader yang menilai tulisan anda tersebut payah dan tak dapat dimengerti meski anda telah membuat tulisan tersebut sesederhana mungkin maka jangan berkecil hati dulu. Bisa jadi anda salah menyodorkan artikel tersebut. Penulispun pernah mengalami hal serupa, saat penulis sodorkan artikel yang sarat sindiran/ironi atau bahkan sarkasme terselubung pada putera penulis. Anak tersebut bingung, tak mengerti apa arti/maksud dari artikel tersebut, minimal tidak mengerti pada bagian kalimat yang mengandung sindiran/ironi tersebut.

Itu wajar, tak perlu heboh. Buktinya saat artikel tersebut penulis sodorkan pada istri. Istri mengerti seluruh isi tulisan tersebut bahkan pada bagian yang mengandung sindiran/ironi. Itu bukan berarti anak kita bodoh tapi karena anak-anak umumnya jiwanya lebih polos. Belum mengerti sepenuhnya kejamnya realita dunia ini dan ironi pahit yang sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari.

Pada fase ketiga tersebut sebetulnya kita telah dapat menganggap karya tulis tersebut layak untuk dikirim, namun penulis biasanya menambahkan satu fase terakhir, yakni sengaja mengendapkan naskah tersebut minimal 1 hari sebelum dikirim. Namun kini penulis menggunakan fase ke empat sebagai pengganti fase ketiga dengan pertimbangan tak mau terlalu merepotkan pihak lain. Semua itu terserah mana yang nyaman bagi pembaca calon Active Writer.

Mengendapkan naskah minimal sehari untuk kemudian mereview kembali dapat membuat kita melihat naskah tersebut dari perspektip berbeda, dari sudut pandang berbeda. Penulis merasa fase ini amat sangat vital, acapkali muncul ide baru yang harus kita tambahkan yang sebelumnya belum terpikirkan. Sebetulnya penulis bukanlah tipe orang yang gemar menunda-nunda urusan namun penulis tetap merasa perlu untuk mengendapkan naskah sebelum dikirm. Memang bisa saja setelah diendapkan naskah tetap tak mengalami perubahan namun itu akan membuat kita lebih mantap dan percaya diri saat kita upload naskah tersebut.

So, apalagi yang anda tunggu. Tariklah keyboard dan mulailah menulis. Tahukah anda kemampuan anda menulis juga akan dapat meningkatkan kemampuan anda berbicara. Bila anda terbiasa menuliskan pokok pikiran anda dengan terstruktur maka anda juga akan terbiasa mengutarakan lisan pokok pikiran anda tersebut secara tersruktur pula. Maka pendengar andapun akan menyukai gaya bicara anda yang tepat sasaran dan tidak bertele tele. Itulah berkah tersembunyi dibalik kebiasaan menulis yang baik.

Mungkin berita terbaru akhir-akhir ini, ada yang menggoyahkan hasrat pembaca untuk menulis. Berita tersebut adalah “Dirjen pajak akan menguber para Youtuber karena mereka berpenghasilan belasan, puluhan bahkan ratusan juta”.  Wow siapa yang tidak kaget oleh berita tersebut. Pingin duit adalah hal yang wajar dan manusiawi apalagi bila itu dapat diraih secara halal.

Sebelum kita semua terbuai oleh berita sensasional tersebut sebaiknya kita merenungkan sejenak. Apakah semua youtuber bernasib sama dengan para Celebrity Youtuber tersebut. Apakah semua penjual ayam goreng akan bernasib sama dengan “Ayam Goreng Suharti”, apakah semua penjual bakmi akan bernasib sama dengan “Bakmi Gaja Mada”. Apakah semua orang yang bersekolah akan menjadi Einstein semua.

Yah kita semua harus down to earth, memang berita tersebut bak halilintar yang membuat kita seolah olah berada pada “wrong track” dan membuat kita semua menyesal menjadi penulis, terlebih bagi calon penulis akan mundur sebelum sempat bergerak maju. Kunci untuk melihat persoalan tersebut sesungguhnya tidaklah rumit, para filsuf ribuan tahun lalu telah memformulasikannya bagi kita. Pertama “Know Your Self” kemudian diakhiri dengan “Be Your Self”. Gampang khan.

Mengenali diri dan Menjadi diri sendiri. Kita semua paham itu bahkan sejak di bangku sekolah. Lantas memangnya dengan paham filosofi tersebut kita tidak boleh jadi youtuber ? Oh tentu boleh, silahkan. Penulis hanya mengingatkan bahwa tidak semua youtuber akan bermandikan uang, itu saja. Bahkan banyak para youtuber sesungguhnya tekor bila dihitung pengeluaran dan pemasukkannya. Kuota Internet, Token PLN, rental PC belum lagi bila dihitung waktu yang tersita, namun karena Hobi maka tetap saja mereka dengan suka hati tetap menjadi youtuber, persis sama dengan para Kompasianer yang melakukannya juga dengan senang hati.

Kita harus menyadari bahwa mayoritas terbesar penonton youtube adalah pencari hiburan. Itu wajar bahkan penulispun rutin tiap malam menjelang tidur hampir selalu nonton youtube. Apalagi yang lebih asyik saat badan letih dan pikiran males diajak bekerja lagi, kalau bukan nonton youtube.

Memang youtube tak hanya berisi hiburan, banyak sekali tutorial teknis, kedokteran atau pengetahuan apapun yang berfaedah ada disitu. Namun tak dapat dipungkiri bahwa yang bermandikan uang tersebut UMUMNYA para youtuber yang menyajikan hiburan.

Jadi bagi para pembaca KOMPASIANA yang kepincut ingin menjadi youtuber HANYA karena berita sensasional tersebut hendaknya berpikir ulang. Sebagai pembaca KOMPASIANA, sadarkah pembaca bahwa pembaca sesungguhnya punya selera yang elitis.  Lho ini bukan pujian kosong, coba pembaca renung… apakah pembaca mau menjadi pembaca “Koran Merah” yang isinya penuh berita sensasi murahan, atau bahkan berita yang mengumbar berita artis Alay tak senonoh atau tabloid khusus yang seluruh isinya tentang tahyul tak karuan juntrungnya.

Nah sekarang kita tahu dan sadar, sesadar sadarnya bahwa kita bukan profile seperti itu, lantas bagaimana mungkin kita mau mencoba menjadi youtuber yang laris keras padahal topik yang laris keras di NEGERI ini belum tentu sesuai dengan profile jati diri kita yang sesungguhnya.

Beberapa minggu silam, saat penulis membaca berita tentang celebrity youtuber. Iseng penulis coba lihat hasil karya celebrity tersebut. Penulis sungguh kaget, karena ternyata ada video yang biasa ditonton oleh para “BoPung” (bocah kampung). Astaga yang seperti itu ternyata dapat meraup dollar besar. Penulis dulunya selalu berpikir itu hanyalah  karya orang iseng yang betul-betul gak ada kerjaan apapun, sungguh unbelieveable. Sungguh tak terbayang, dimana letak bagusnya, dimana letak lucunya video seperti itu.

Bandingkan dengan film comedy yang dibintangi James Wood dan Michael J Fox. Sepanjang film dari awal hingga akhir kami semua di theater terpingkal pingkal. Bahkan sampai harus memegangi perut kita. Sungguh lucu dan jenaka, padahal 2 actor tersebut tak pernah melucu. Bahkan James Wood dengan tampang kerasnya tak pernah tersenyum sekalipun apalagi tertawa. Di film tersebut tak ada satupun pemainnya yang mencoba melucu baik lewat gerakan ataupun perkataan, absolutely NEVER. Adegan biasa membuahkan ledakan tawa membahana di dalam theater. Saat Michel J Fox ketakutan di dalam KRL saat berhadapan dengan para preman sehingga dia gemetar dan berkeringat, sontak ledakan tawa bergemuruh, penulis bahkan harus memegang perut saking tak tahan. Juga di bagian penutup saat James Wood kaget sehingga melonjak dari kursinya… itu membuat penonton benar-benar tak terkendali tawanya. Film tersebut dibuat dengan profesionalitas SUPER, beda banget dengan video youtube tontonan Bocah Kampung yang SUPER ala kadarnya.

Pembaca bila anda terbiasa dengan film Hollywood kwalitas super, bagaimana mungkin pembaca mau menjadi youtuber spesialis tontonan kaum BoPung HANYA demi meraup dollar. Andai pembaca memaksakan diri untuk menjadi youtuber semacam itu, demi uang dan demi nafkahi anak/istri…. Belum tentu pembaca sukses. Why ??? jawabnya gampang… penonton akan lebih suka yang asli bukan yang KW alias tiruan.

Penonton alay akan lebih suka celebrity alay yang asli, bukan kita ini yang demi nafkahi keluarga berpura-pura, berperan sebagai orang alay. Gimana kita dapat menjiwai peran para alay sebagus para alay itu sendiri. Jack Nicholson yang dapat Oscar saat berperan sebagai orang gila masih kalah kok dibanding para orang gila yang asli. Itu yang harus kita ingat dan camkan, jangan sampai kemudian istri kita tiba-tiba samperin kita di kantor, meraba raba kepala kita kemudian ngomong “jatuhnya di bagian yang mana, ayo pergi ke hospital untuk rontgen”. Nah lu.

Pembaca menjadi youtuber itu tidak salah, bahkan penulis sendiripun saat ini sedang mencoba menjadi youtuber. Tapi youtuber yang khusus sajikan artikel di Kompasiana. Memang pernah ada juga youtuber lain yang kutip dari artikel Kompasiana, namun itu hanya sekilas. Chanel youtube penulis nantinya khusus hanya untuk artikel Kompasiana. Anggap saja itu sebagai pelipur lara untuk “chanel Kompasiana” yang dihapus dari KompasTV.

Penulis sadar bahwa nantinya mungkin penonton/pendengar tak selaris chanel lain yang sudah ada, namun ini tujuannya memang bukan untuk komersil. Penulis bahkan sadar bahwa banyaknya penontonpun percuma alias tak dapat menarik dollar sesenpun bila tak ada satupun yang mau nonton iklan yang terselip pada video yang kita unggah.

Chanel tersebut minimal berguna bagi kita para kompasianer yang sedang sibuk bekerja sehingga tak sempat memeloti PC. Nah chanel tersebut dibuat untuk mendengar pembacaan artikel-artikelnya yang sangat qualified. Jangan khawatir, suara pembacaan artikel akan penulis buat sekeras dan sejernih mungkin. Kuota internetpun dapat disiasati dengan menurunkan kwalitas resolusi layar ketitik terendah tanpa mengurangi kwalitas suara.

Penulis bahkan berharap bukan hanya artikel semata yang akan penulis unggah tapi juga puisi atau prosa. Kalau yang tipe ini penulis berharap penulis sastra tersebut sudi mengirimkan rekaman suaranya ke WA penulis. Maklum suara penulis sumbang, untuk pembacaan artikelpun penulis akan minta bantuan mbaK (sister) Google. Selain suara cucu perempuan mbaH Google tersebut lebih baik dari suara penulis, juga untuk mengejar jumlah upload.

Penulis ingin mengupload sebanyak mungkin artikel Kompasiana. Namun mengingat penulis Gaptek bin Katrok maka proses tersebut jadi tertunda-tunda karena harus belajar teknisnya dulu. Semoga minggu depan kita semua dapat menikmati artikel Kompasiana di Youtube.

Bagi pembaca yang ragu meningkatkan diri menjadi penulis aktip. Disini akan penulis bukakan satu fakta tak terbantahkan bahwa penulis ini dulunya amat sangat gaptek dan tak dapat ngomong apalagi pidato. Satu-satunya yang dapat penulis lakukan cuma membaca, membaca dan membaca, nothing else. Saat istri suruh penulis belikan PC bagi putera agar tak gaptek, penulis justru maunya belikan PS karena penulis tak familiar dengan PC. Saat istri suruh penulis bawa putera ke warnet agar melek internet, ternyata penulis cuma mampu bertahan 10 menit padahal sudah bayar untuk 1 jam. Bingung tak tahu apa yang harus penulis pencet.

Nah bila penulis yang Hyper Gaptek begini sudah berani mati menjadi penulis di Kompasianer bahkan selangkah lagi mau jadi youtuber, masakan pembaca yang lebih canggih hanya berkutat seumur hidup menjadi “Silent Reader”, common… mari move on. Menjadi kompasianer itu selain menyenangkan juga membanggakan, Bangga rasanya bila karya kita menjadi artikel PILIHAN. apalagi bila jadi HEADLINE. Saat kompasianer lain mengucapkan terima kasih atas artikel kita maka kita akan merasa bahwa kita itu sungguh berharga bagi yang lain.

Akhir kata, Selamat menjadi Kompasianer, Selamat menjadi Active Writer. Selamat Ulang Tahun ke 8 Kompasiana, semoga selalu tetap menjadi Yang Terdepan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun