Jangan Biarkan Rasa Malu dan empati Hilang Dari Hati
Peristiwa berapa hari ini memang sangat menyita perhatian apalagi pasca kepulangan salah satu tokoh ormas yang sudah beberapa tahun harus hidup dan terbelit beberapa kasus di suatu negara Saudi Arabia. Setelah kepulangan tokoh itu situasi perpolitikan di tanah air yang sudah panas karena pandemi virus covid 19 menjadi semakin bertambah panas, dimulai dari kisruh penjemputan di Bandara Internasional Soetta dan arak-arakan sehingga membuat chaos dibandara sendiri hingga daerah sekitarnya, masih dihari yang sama salah satu anggota elit ormas tersebut menebar statement psy-war hyperbola bahwa yang jemput itu baru sekian persen belum semuanya loch...!.
Kisah itu kemudian disambung dengan Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di dua tempat, satu daerah Jakarta dan satu didaerah bogor yang masuk dalam provinsi Jawa Barat bahkan konon dalam Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW tersebut kata-kata kurang pantas dari Tokoh ormas yang baru pulang dari Arab terkait komentar salah satu artis tanah air yang banyak menuai komentar dari berbagai pihak yang rata-rata kalau dirangkum dalam satu kata yaitu "tidak pantas dalam acara maulid manusia yang terkenal sangat mulia Rosulullah Muhammad SAW yang terkenal dengan kebaikan ahklaknya & juga sangat masyur punya kesabaran yang luar biasa kemudian digunakan untuk membuat mencerca dan menghina". Apalagi yang mencaci saat acara Maulid Nabi itu selalu menkampanyekan kalau dirinya adalah keturunan Nabi dari garis Ali bin Abi thalib dan Fatimah binti Muhammad (Habaib).
Ya memang Rosulullah Muhammad SAW tidak mengajarkan kepada umatnya untuk mencerca dan menhina siapapun.
Kisah acara Maulid Nabi tidak hanya menimbulkan kisruh cercaan dan hinaan semata namun karena kondisi pendemi covid 19 maka setiap orang berkumpul apalagi menimbulkan kerumunan tanpa ada protocol kesehatan yang jelas untuk saling menjaga agar tidak terpapar wabah covid yang yang juga belum jelas sudah ada apa belum antivirusnya.
Belum selesai beberapa kisruh diatas keributan berlanjut ke persoalan baliho dan spanduk yang dicopoti oleh aparatur negara TNI yang konon baliho dan spanduk itu dipasang tanpa ada proses administrasi yang benar alias kalau enak dibilang ya asal pasang persetan dengan semuanya, padahal setiap pemasangan baliho atau spanduk itu memiliki aturan yang sangat jelas.
Cukup sampai disini saja bahas kisruh tentang tokoh ormas karena saya tidak ingin membahas soalan tokoh ormas diatas namun saat ini saya ingin membahas pentingnya rasa malu karena semua kekisruhan diatas memang salah satu permasalahnnya adalah berkurang/hilangnya rasa empati dan perasaan rasa malu.
Sebelum membahas Empati dan Rasa Malu mari kita pahami satu persatu tentang apa itu empati dan Rasa Malu Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI):
- empati/em*pa*ti mpati adalah keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain
- Malu/Ma:lu adalah merasa sangat tidak enak hati (hina, negatif, rendah, dsb) krn berbuat sesuatu yg kurang baik (kurang benar, berbeda dng kebiasaan, mempunyai cacat atau kekurangan, dsb)
Perlu diingat bahwa empati & malu adalah salah satu sifat mulia Rosulullah karena dalah satu kesuksesan dakwah Beliau adalah karena rasa empati yang sangat tinggi ditambah punya rasa malu yang tinggi tercermin dari berbagai kisah yang di tulis oleh para sahabat hingga sampai saat ini sifat empati dan punya rasa malu yang tinggi masih relevan untuk dijadikan cerminan hingga saat ini padahal pelajaran empati dan rasa malu itu sudah hampir berumur 1500 tahun. Bahkan saking pentingnya punya rasa malu sampai Rosul berpesan khusus berpesat pada umatnya seperti di cerirakan oleh Abu Mas'ud Uqbah bin Amr Al-Anshari Al-Badri RA kemudian Riwayatkan oleh HR. Bukhari Hadist 20 No : 3484, 6120 yang berisi sebagai berikut :
-- -- : : " : " .
Rosulullah Muhammad SAW Bersabda:
"Sesungguhnya di antara perkataan kenabian terdahulu yang diketahui manusia ialah jika engkau tidak malu, maka berbuatlah sesukamu!"
Menurut saya sebagai penulis, ingat menurut saya berarti dan mungkin bisa saja orang lain mengartikan Hadist diatas berbeda dengan pemahaman karena memang keterbatasan dan kekurangan saya sebagai manusia yang jelas tidak luput dari namanya salah. Okay, kira-kira begini pemahaman saya saat belajar untuk mendefinisikan makna dari Hadist Rosulullah Muhammad SAW yang sangat terkenal dengan Bahasa berkelas dan tingkat tinggi. Dalam Hadist diatas Rosulullah menukil perkataan Nabi-nabi atau Rosul-Rosul terdahulu sampai Rosulullah Muhammad SAW sendiri bahwa Allah SWT membekali ciri khas kepara Nabi dan Rosul yaitu memiliki rasa malu yang amat tinggi karena kalau menukil dari KBBI dengan memiliki perasaan malu maka akan selalu merasa sangat tidak enak hati (hina, begatif, rendah, dsb) krn berbuat sesuatu yg kurang baik (control diri) jadi kenapa Nabi & Rosul itu berakhlak mulia karena perasaan malu yang tinggi membuat para Nabi & Rosul mampu mengontrol diri agar tidak melakukan perbuatan hina dan perbuatan negative lain. Dan dengan rasa malu sebagai control diri membuat para Nabi & Rosul memiliki empati yang juga sangat luar biasa sehingga kalau menurut kisah para Nabi dan Rosul semua kisah tidak ada yang terlihat jelek dimata masyarakat yang hidup bersama Nabi & Rosul terdahulu hingga Rosulullah Muhammad SAW. Sebagai contoh sosok Muhammad jauh sebelum diangkat menjadi Nabi/Rosul beliau sudah dikenal orang yang sangat baik, adil, penolong, terpercaya dan jujur sampai mendapat gelar Al-Amin sebuah gelar yang sangat keren dan bukan kaleng-kaleng loch yaaa....!
Terus dengan tauladan Rosulullah Muhammad SAW yang menjelaskan menegaskan kalau disetiap muslim memiliki rasa malu yang tinggi terus kenapa beberapa tahun kebelakang khususnya beberapa hari ini seolah-olah rasa malu itu lenyap saling hujat sana-sini bahkan tokoh yang dianggap ulama dan tokoh oleh anggota ormas tersebut dengan bangga menlanggar aturan. Memang kalau di Indonesia gelar ulama menurut saya agak rancu beberapa tahun belakangan ini sedang kalau menukil dari Ibnu Jarir ath-Thabari mengungkapkan dalam kitab tafsirnya, Jami'ul Bayan bahwa yang dimaksud dengan ulama adalah seorang yang Allah jadikan sebagai pemimpin atas umat manusia dalam perkara fiqih, ilmu, agama, dan dunia (http://muslim.or.id) sehingga sanadnya sangat jelas sampai Rosulullah Muhammad SAW. Nah kalo menurut saya sebagai penulis yang memnuhi kriteria sebagai ulama di indonesia itu hanya orang-orang tertentu contoh Hadratussyaikh Hasyim Asyari, Syaikh Maimoen Zubair Habib Lutfi Bin Yahya, mungkin yang ustadz muda seperti Gus Baha (Kyai Bahauddin Nursalim) dan banyak lagi namun lebih banyak di Indonesia itu lebih banyak penceramah atau muballigh daripada ulama karena sesuai sabda Rosulullah sebagai penutup para nabi maka sudah tidak aka nada nabi lagi setelah Rosulullah Muhammad SAW maka tongkat estafet untuk dakwah dan menjadi pembimbing Agama AllahSWT akan dilanjutkan oleh ulama karena l-ulama waratsatul anbiya' (Ulama pewaris para nabi). Kalau sabda nabi seperti ini l-ulama waratsatul anbiya' berarti gelar ulama itu tidak main-main dan sebagai panutan harus memiliki empati dan rasa malu yang tinggi agar bisa membimbing umat kearah yang baik. Bukan malah mambuat kerusakan dan merusak islam menjadi ulama su' (orang berilmu buruk) tapi mengaku pewaris para nabi bikin rusak agama Islam saja...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H