Mohon tunggu...
Hengki Fernando
Hengki Fernando Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya

Seorang mahasiswa yang hidupnya disibukkan dengan kegiatan dan aktivitas bermanfaat

Selanjutnya

Tutup

Politik

Money Politic: Ambisi yang di-Cap Tradisi

18 Februari 2024   03:31 Diperbarui: 18 Februari 2024   09:20 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://rakyatsulsel.fajar.co.id/2023/12/18/waspada-modus-politik-uang/Input sumber gambar

“Manusia pada dasarnya adalah binatang yang berpolitik” Aristoteles

Fasilitas yang dapat mengadvokasi kepentingan, alat yang dapat membantu mewujudkan keinginan adalah dua hal yang membuat munculnya keinginan untuk menjadi seorang pemimpin. Dua hal tersebut menimbulkan sebuah sifat bernama “Ambisi”. Persaingan ketat dengan sifat manusia yang menginginkan suatu hal yang instan, membuat manusia melakukan segala cara untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.

John C. Maxwell (2003) dalam bukunya “The Right to Lead” menegaskan bahwa; “Hak menjadi pemimpin hanya dapat diupayakan, membutuhkan waktu dan perjuangan”. Bukan terjun bebas bermodalkan uang, retorika dan janji-janji, karena diyakini bahwa manusia itu sama saja dalam janji-janjinya, hanya dalam perbuatannya atau perjuangannyalah dia berbeda. Oleh karena itu, ketika kita harus memilih pemimpin, maka pilihlah pemimpin yang telah membuktikan hasil perjuangannya, bukan yang menabur janji-janjinya. Rakyat hanya percaya pada “Bukti” bukan “Janji”. Bukti dapat dilihat dari rekam jejaknya.

Akan tetapi pemilu tahun 2024 yang telah dilaksanakan sebanyak 6 kali oleh Indonesia pasca reformasi, seakan telah berhasil di mobilisasi oleh beberapa oknum, yang berambisi menjadi seorang pemimpin dengan menghiraukan apa yang dikatakan oleh John C, Maxwell. Mereka mampu menyihir rakyat Indonesia yang notabennya berada dalam kondisi ekonomi menengah ke bawah. Dengan janji-janji manis, pemberian sembako bahkan pemberian uang (Money Politic) yang dilabeli sebagai uang konsumsi dan tranportasi. Sehingga tak ayal, ditengah-tengah masyarakat muncul sebuah pradigma bahwa  Money politic adalah syarat yang telah menjadi tradisi bukan kesalahan. Banyak sekali kita temukan pada Pemilu 2024 para calon pemimpin kita, baik eksekutif maupun legislatif melakukan Money Politic. Dari data Bawaslu (15/04) ditemukan ada 2.271 TPS terjadi mobilisasi atau mengarahkan pilihan pemilih (oleh tim sukses, peserta pemilu, dan/atau penyelenggara) untuk menggunakan hak pilihnya di TPS. Intimidasi yang dilakukan berupa pemaksaan, pemberian uang dsb.

Hal ini menjadi permasalahan serius, karena selain berdampak terhadap suara kita dalam 5 tahun ke depan. Perilaku seperti ini akan merusak tatanan demokrasi bangsa bagi Generasi-generasi selanjutnya. Tentu bukan hal yang mudah untuk menghilangkan perilaku ini, dikarenakan perilaku ini sudah menjalar sampai akar masyarakat, ditambah kondisi ekonomi yang dialami, membuat masyarakat mau atau tidak harus menerimanya. Perlu rekontruksi dari segi pemikiran dan pemahaman agar mindset yang mereka miliki tidak pragmatis tapi Idealis Visioner kedepan.

Langkah-langkah pencegahan seperti diadakannya sekolah politik bagi pemuda perlu diadakan secara masif, untuk mencegah stigma buruk yang telah terjadi di masyarakat. Meningkatkan pengawasan serta Tindakan hukum bagi para pelaku agar membuat mereka jera untuk melakukannya.

Pada dasarnya, manusia adalah hewan yang berpolitik (Aristoteles), hal ini mengindikasikan salah satu sifat manusia yang sama dengan hewan ketika berpolitik. Ambisi yang muncul membuat mereka menghalalkan segala cara untuk memenuhi hasratnya dalam berkuasa. Salah satunya adalah menganggap bahwa perilaku Money Politic adalah Tradisi dan kebiasaan masyarakat Ketika pemilu. Kesalahan yang dilakukan berulang-ulang maka akan dianggap sebagai kebenaran. Sebelum hal itu terjadi secara berkelanjutan, perlu diadakanya langkah langkah pencegahan agar perilaku perilaku buruk itu bisa dihilangkan.

Ini adalah luka bangsa yang harus disembuhkan. Kata Hariz Azhar, Bagaimanapun kita adalah sebuah kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan untuk melakukan perubahan besar kita tidak akan mampu memulainya sendirian. Seluruh elemen harus turut sadar dan cakap dalam menghentikan kerusakan besar ini. Ambisi yang besar harus diimbangi dengan perjuangan dan pengorbanan yang benar. Menganggap sebuah kesalahan sebagai Tradisi bukanlah sebuah perilaku yang harus dibiarkan. Kata Goenawan Mohammad: “Sebuah Negeri bisa bangkit karena luka sendiri” Artinya, sebuah bangsa bisa bangkit bukan hanya karena cita cita yang tinggi tapi juga karena luka yang harus diobati dan diperbaiki.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun