Fenomena menarik di negara kita, saat ramai-ramai lulusan SMA melanjutkan sekolah tinggi, namun ironisnya hal tersebut belum banyak menekan jumlah pengangguran. Faktanya, Badan Pusat Statistik (BPS) telah menerbitkan laporan jumlah angkatan kerja per Februari 2017. Dalam laporan tersebut tercatat bahwa sebanyak 131,55 juta orang memiliki pekerjaan. Jumlah itu meningkat sebanyak 3,88 juta dari angka periode Februari 2016.Â
Jika melihat lagi data BPS (2017) terkait jumlah pengangguran berdasarkan tingkat pendidikan yang ditamatkan, jumlah total pengangguran di Indonesia mencapai angka  7.005.262jiwa. Jumlah yang masih mengkhawatirkan! Angka tersebut sudah mencakup seluruh tingkat pendidikan, dari "tidak/belum sekolah" sampai "universitas". Data selengkapnya untuk periode Februari 2017 dapat dilihat pada tabel 1 berikut:
Tabel 1. Jumlah Pengangguran Berdasarkan Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan
Berkaca pada data tersebut dua pertanyaan dapat dimunculkan, Apa dan Siapa yang salah?Â
Rasanya kita bisa menerka jawaban dari pertanyaan "Apa?" di atas merujuk pada sistem dan cara belajar yang salah. Sistem dalam hal ini adalah sistem kuliah di perguruan tinggi, sedangkan cara belajar dalam hal ini adalah cara belajar mahasiswa selama proses perkuliahan. Berdasarkan jawaban dari pertanyaan "Apa?" tersebut kita bisa menerka-nerka "Siapa?" yang bisa disalahkan. Yup betul, mereka adalah dosen dan juga mahasiswa.Â
Pada perguruan tinggi, khususnya untuk level Sarjana (S1), titik tekan pembelajaran lebih kepada konsep dan teori dengan minim pengalaman praktis. Hal tersebut diperparah dengan kualitas mengajar dosen. Banyak dosen yang tidak bisa menjelaskan konsep dengan baik dan memberikan contoh praktis riil di lapangan.Â
Masalah selanjutnya berada pada metode mengajar yang diterapkan oleh dosen. Metode-metode yang digunakan tidak menunjang unsur praktis, sehingga mahasiswa ketika selesai menamatkan mata kuliah hanya akan mendapat konsep dan teori yang bersifat 'di awang-awang' (abstrak). Sama hal nya dalam mengujikan suatu mata kuliah. Banyak dosen yang memberikan soal ujian bersifat pilihan ganda atau soal yang bersifat deskriptif bukan analitis.Â
Cukupkah teori/konsep dan pemahaman bersifat deskriptif (bukan analitis) untuk menjadi modal mahasiswa menghadapi sengitnya kompetisi pada industri pekerja? Saya rasa tidak cukup. Mahasiswa membutuhkan teori/konsep, tetapi mereka juga butuh pengalaman mengaplikasikannya. Dengan demikian, metode pembelajaran yang bersifat "eksperensial" perlu dikembangkan dan diterapkan.Â
Namun ternyata jika ditelisik lebih dalam, yang menjadi masalah pokok adalah motivasi mahasiswa itu sendiri dalam berkuliah. Banyak sekali mahasiswa yang kuliah bukan termotivasi untuk mencari ilmu dan pengalaman, tapi untuk mencari ijazah (orientasi pada hasil). Dengan orientasi pendek seperti itu, mereka akan mengabaikan proses yang berharga. Tidak mau membaca, datang ke kelas hanya formalitas, tugas dikerjakan seadanya, diskusi kelompok tidak mau berkontribusi tetapi mau nilainya maksimal, dikasih tugas sama dosen mengeluhnya setengah mati.Â
Selama kuliah tidak mau merasakan proses berdarah-darah. Mental baja pantang menyerah pun tidak mereka miliki. Yang mereka tahu hanya mengeluh dan mengeluh. Semua bencana disalahkan kepada dosennya, tidak mau menyalahkan diri sendiri. Maka, hasilnya pun bisa kita tebak bersama, ketika lulus dari universitas dan tidak ada perusahaan yang mau memperkerjakan mereka, mereka akan putus asa dan mulai mengeluh. Setelah itu, mereka akan mulai mencari-cari sesuatu atau seseorang untuk disalahkan.Â
Inilah sebab mendasar mengapa banyak sarjana nganggur, yaitu karena faktor motivasi intrinsik. Motivasi yang berorientasi pada hasil akan menghasilkan seseorang yang bermental tempe! Gagal langsung mengeluh dan menyalahkan orang lain. Tiga sampai empat tahun kuliah S1 tidak mau berproses, tidak ada ilmu yang didapat, mental baja pun tidak akan terbentuk.Â
Berbeda dengan mahasiswa yang ketika kuliah mau berproses dan berdarah-darah. Mahasiswa yang mau berproses akan relatif lebih memiliki mental baja. Mengeluh dan menyerah tidak ada dalam kamus mereka. Hasilnya, meskipun kelak tidak ada perusahaan yang mau memperkerjakan, mereka tetap punya ilmu dan mental baja. Ilmu dan mental baja dapat menjadi modal paling dasar untuk menjadi seorang bos, Enterpreneur.Â
Jika saja sebanyak 606.939 pengangguran tamatan universitas memiliki mental baja dan mau menjadi seorang enterpreneur, tingkat pengangguran niscaya akan dapat ditekan secara drastis. Misal kita asumsikan sebanyak 50% dari total pengangguran tersebut (sejumlah 303.470 pengangguran) membuka satu usaha dimana satu usaha dapat menyerap 25 tenaga kerja. Maka jumlah tenaga yang dapat diserap adalah sebanyak 303.470 x 25 = Â 7.586.738 orang. Mengingat jumlah pengangguran berdasarkan tingkat pendidikan di luar tamatan universitas sebanyak 6.398.323 orang, maka jelas pengangguran dapat ditekan sampai 0%.Â
Dengan demikian, tulisan ini menyimpulkan bahwa sebab banyaknya sarjana menganggur berasal dari faktor dosen dan mahasiswa. Dosen perlu mengembangkan metode pembelajaran eksperensial agar teori/konsep dapat dipahami dengan mempraktekannya. Disamping itu, mahasiswa perlu memperbaiki motivasinya berkuliah agar lebih berorientasi pada proses. Proses yang baik pasti akan diikuti dengan hasil yang baik pula. Mari kita tekan jumlah pengangguran dengan bersama-sama melakukan perbaikan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H