Konteks tulisan ini adalah rapat di kantor pemerintahan tingkat kabupaten/kota atau di bawahnya.
Selama bekerja kurang lebih dua tahun di sebuah kantor pemerintahan, penulis telah mengikuti banyak rapat yang diadakan di dalam lingkungan kantor atau disebut RDK (Rapat Dalam Kantor). Rapat-rapat ini sering kali berakhir tanpa adanya langkah penyelesaian yang konkret. Bisa dibilang dari sepuluh kali rapat, mungkin hanya tiga kali rapat saja yang ada hasil konkretnya.
Mengapa demikian minim? penulis melihat akar masalahnya adalah pemilihan narasumber yang kurang tepat. Narasumber mempunyai peran sangat penting di dalam sebuah rapat. Perannya adalah sebagai pemberi informasi yang sebenarnya 'hanya dia yang tahu' dan sebagai penyalur ilmu pengetahuan kepada audiennya.
Seorang narasumber pun harus cakap dan menguasai bidang/ topik yang mana dia dipercayakan untuk memaparkannya. Hematnya, apa yang disampaikan seorang narasumber itu sangat berharga.
Tidak hanya dalam rapat, tapi dalam seminar, workshop, kegiatan keagamaan, keilmuan, budaya, bisnis, profesi dan sebagainya, sesi pemaparan dari narasumber itulah puncak yang sesungguhnya ingin didaki. Untuk menghargai waktu dan ilmunya, narasumber kemudian di bayar. Untuk menghargai loh ya.
Namun kenyataan di lapangan, banyak RDK yang narasumbernya berasal dari Dinas-dinas Pemda, tidak mampu memberikan pemahaman/ilmu yang cukup berbobot kepada peserta rapat. Tidak sesuai ekspektasi kalau bisa dibilang. Dalam hal penyampaian sebenarnya tidak terlalu ditekankan, masalah sesungguhnya ada pada konten paparan sang narasumber.
Kalimat yang paling sering dilontarkan oleh orang yang diundang menjadi narasumber ini misalnya:
"Saya tidak memahami teorinya, ini saya kita sharing saja. Kalau kami di kantor biasanya ..."
"Maaf sebelumnya, saya di sini hanya mewakili ibu Susi, harusnya ibu Susi yang menjadi narasumber."
Tentunya dengan kalimat terbata-bata dan gugup.
Penulis pun dapat melihat raut wajah teman-teman yang mengikuti rapat, baik itu pimpinan dan staf, semuanya tampak tidak bergairah dengan penyampaian materi yang hanya sekedar comot-comot pengalaman.
Masih banyak lagi contoh-contoh kalimat yang pernah diucapkan 'narasumber gadungan' ini yang apabila diteruskan, pembaca sekalian pun dapat bertanya "Mengapa orang-orang seperti ini menjadi narasumber?" Ntah lah, saya sebagai penulis juga tidak memahaminya.
Baik pimpinan dan staf, selain tidak tertarik, mereka pun memilih untuk melakukan kegiatan yang tidak berhubungan dengan rapat. Yang masih menyimak rapat juga nyinyir dan merendahkan narasumber secara bisik-bisik dengan teman di sebelahnya.
Setiap kegiatan pasti ada anggarannya dan anggaran yang dikeluarkan untuk sebuah kegiatan yang tidak berfaedah itu sama dengan buang-buang uang. Selain anggaran dampaknya juga terjadi pada sumber daya manusia.Â
Selain tidak menambah ilmu peserta rapat, dikhawatirkan lama-lama mental peserta rapat pun dapat menjadi rusak dengan kondisi ini, karena ada yang namanya anggaran tadi. Jadi motivasi utamanya bukan rapat, tapi uang saku. Sulit berkembang dengan mendengarkan paparan yang tidak berbobot, peserta tidak digairahkan untuk belajar.
Dalam kritik yang pernah penulis sampaikan, seharusnya untuk tema-tema teknis sebuah lembaga harus mengundang narasumber dari dalam lembaga itu sendiri yang jenjangnya lebih tinggi. Misalnya tingkat kabupaten yang mengundang narasumber dari provinsi atau pusat. Itu lebih tepat sasaran.
Tidak mungkin memilih narasumber dari pemda untuk membagikan ilmunya karena untuk hal-hal teknis itu tidak nyambung. Contohnya dalam hal penataan kearsipan, pemberian kode klasifikasi, penyimpanan arsip dan sebagainya itu kan berbeda antara lembaga pusat yang di daerah dengan Pemda. Ada peraturannya tersendiri yang dipedomani.
Dengan mengundang narasumber dari lembaga bersangkutan maka tema-tema yang sifatnya teknis tadi akan terselesaikan, dibandingkan dengan mengundang narasumber dari pemda yang cerita begini-begitu, tapi tidak cocok dan juga tidak menyelesaikan masalah yang ada. Mengundang 50 kali pun tidak menyelesaikan masalah.
Hal yang kedua adalah mengenai konten. Seorang narasumber itu harus tahu maksud mengapa dirinya diundang. Dia harus bisa berpikir dari hal teori sampai pada tahap aplikasi. Dia pun harus bisa menganalisa sebuah tema, apabila temanya kurang bisa menyentuh ranah teknis lembaga yang mengundangnya dia harus memikirkannya, setidaknya dia bisa menyuguhkan hal-hal yang mana nantinya bisa ditautkan dengan pokok bahasan.
Penggunaan metode presentasi juga menurut penulis amat penting. Karena lewat presentasi dan slide-slidenya bisa membuat alur itu berjalan sistematis dan audien juga bisa menyimak lebih baik. Sekelas narasumber itu seharusnya bisa membuat presentasi.
Dibanyak RDK yang penulis ikuti sangat jarang narasumber yang menggunakan metode presentasi, penyampaian materinya juga tidak lebih dari 10 menit dan isinya pun minim ilmu.
Apakah ini penyakit di lembaga-lembaga tingkat kabupaten/kota dan di bawahnya?
Berbicara soal menghadirkan narasumber juga tidak lengkap tanpa menyenggol soal anggaran. Alasan tidak menghadirkan narasumber dari provinsi atau pusat dikarenakan anggarannya yang tidak ada. Mungkin inilah alasan utamanya.
Jangankan mengundang pembicara yang bagus, fasilitas kantor saja belum memadai, banyak lembaga juga gedungnya belum permanen dan selalu harus pindah-pindah, untuk membuat konten yang baik sangat terbatas dalam sisi sarana-prasarana dan sumber daya manusianya.
Jika memang anggaran selalu jadi biang kerok, menurut penulis pejabat di tingkat pusat harus sudah memikirkan kebijakan apa yang harus dibuat dalam membangun/ meningkatkan kapasitas jajaran di bawahnya.
Saat ini hampir semua kegiatan tatap muka telah ditinggalkan dan digantikan dengan tatap muka daring. Cobalah dengan membuat video-video yang membahas tema bersangkutan dan yang sifatnya teknis.
Jika video itu durasinya 4 jam, bisa dibagi menjadi 4 sesi. Nontoh anime, drakor, atau film di bioskop saja mampu berjam-jam, masakan mengikuti kegiatan yang meningkatkan kapasitasnya dalam bekerja itu tidak mampu.
Bukan jajaran di bawah tidak mampu, tapi memang sarananya yang tidak tersedia. Harus ada komitmen yang tinggi dari pejabat di tingkat pusat dalam hal ini. Tidak boleh lagi "mengkambinghitamkan" anggaran.
Tentunya video itu harus digarap dengan sungguh-sungguh. Tidak sekadar atau asal-asalan dari segi kejelasan suara, penerangan, dan sebagainya. Hal ini bisa lebih banyak menghemat anggaran, dibandingkan dengan harusnya peserta rapat datang ke Provinsi atau pusat, bayar tiket pesawat/ taksi, penginapan, konsumsi, uang harian, kuotanya pun terbatas dan sedikit sekali.
Dengan adanya metode-metode pengajaran online, itu akan menjangkau banyak audiens dan menghemat banyak anggaran. Tidak perlu lagi harus mengundang narasumber yang "Ha ho ha ho".
Daerah butuh narasumber berkualitas. Akankah pejabat di pusat lebih memperhatikan hal ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H