Mohon tunggu...
Hendy Adinata
Hendy Adinata Mohon Tunggu... Freelancer - Sukanya makan sea food

Badai memang menyukai negeri di mana orang menabur angin | Email: hendychewadinata@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menghadapi Budaya Zaman Now

28 Desember 2019   15:38 Diperbarui: 28 Desember 2019   15:52 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekarang anak-anak SMP kita sudah ke-Korea-an, yang lainnya ke-Amerika-an, ada yang ke-Jepang-an, dan seterusnya. Hal yang dulunya kita anggap tabu, bagi anak-anak generasi ini sudah bukan tabu lagi. Kita mendapati fakta bahwa pergeseran budaya kita kepada satu budaya yang lain saat ini memang terjadi dan terus berubah ke arah yang kita sendiri tidak tahu akan dibawa kepada bentuk yang seperti apa dalam 20-30 tahun mendatang.

Dalam studi S2 Penulis, ketua prodi berkata bahwa pihak kampus telah "meminta" seorang guru besar ternama dari Jawa untuk mengajar di kampus, namun sang guru besar itu menolak dengan alasan yang kira-kira begini: "Tidak bisa mengajar di sana, karena mahasiswanya seperti tidak menghormati dosen".

Di sejumlah daerah misalnya Pontianak, budaya menghormati itu tidak seperti di Jawa. Di Pontiainak antara mahasiswa dan dosen itu mungkin saling meledek, saat kuliah bisa ke toilet bolak-balik, dan sebagainya. Namun itu kembali kepada dosen itu sendiri, beberapa dosen yang "bagus", mahasiswanya diam dan banyak interaksi di dalam ruang kuliah---tidak ke toilet bolak-balik (merokok, minum, dan sebagainya). Singkatnya, kebudayaan itu berbeda-beda. Ini salah satu contoh, masih ada budaya-budaya konservatif yang dipertahankan oleh beberapa orang---orang tua pastinya.

Senada dengan hal di atas, orang tua kita masih kental dengan justifikasi mereka terhadap suku-suku tertentu, sedangkan kita sebanyaknya sudah tidak termakan dengan justifikasi tersebut karena suku yang dibicarakan juga sudah berubah menjadi suku yang lain dalam banyak hal, hanya namanya saja yang masih sama.

Saat ini, saking banyaknya hal baru yang malang melintang di sekitar kita, kita sudah tidak tahu lagi yang mana budaya asli kita, tidak seperti orang-orang tua kita yang konservatif, kita lebih inovatif (liberal) dalam berbudaya.

Mungkin satu kalimat ini cocok untuk mewakili kita, "Kita berubah dalam banyak hal, namun tidak berubah dalam hal-hal yang pokok, namun untuk hal yang pokok ini kita sudah tidak memahami lagi esensinya."

Hal yang dikhawatirkan adalah, dalam tataran yang hanya di kulit luar, anak cucu kita hanya tahu hal yang tampak tanpa tahu roh yang ada di dalamnya. Kita perlu waspada karena 10-20 tahun lagi, mungkin budaya itu sudah tidak ada lagi di anak cucu kita. Kita perlu berbenah dan menggalakkan budaya sampai pada tataran esensi, agar budaya itu tetap lestari.

Penulis bukanlah pendukung sebuah budaya kolot yang diskriminasi, budaya kolot yang tidak mau berbenah diri, dan budaya kolot yang tidak mau dikritik. Budaya-budaya yang cinta pada status quo seperti mendiskriminasi kaum perempuan adalah salah satu yang penulis tidak bisa ikuti. Yang lainnya misalnya karena budaya itu, orang menjadi malas, tidak inovatif, percaya segala tahayul sampai mengorbakan sesama, tidak mau belajar, tidak mau dikritik, tidak tahu malu, sombong karena merasa superior etnis dan sebagainya, semuanya itu adalah budaya yang tidak dapat penulis terima.

Kembali kepada kasus sebelumnya, manakah yang lebih tepat, dosen itu menyesuaikan budayanya dengan mahasiswanya? atau mahasiswa yang menyesuaikan budayanya dengan si dosen? Contoh lainnya misalnya, orang tua yang mengikuti anak, atau anak yang mengikuti orang tua?

Sulit kan menjawabnya. Satu sisi si dosen yang lebih terdidik tidak mau menurunkan levelnya untuk turun ke level mahasiswa yang kurang terdidik. Apakah sang dosen sombong? Orang yang ilmunya lebih tinggi seharusnya lebih bisa memahami, seperti padi, makin berisi makin menunduk.

Kita berpikir bahwa pasti bagus kalau sang dosen mau membagikan ilmunya di tempat lain, yang budaya orang-orangnya berdeda dengan budayanya. Seperti pikul salib, kata orang Kristen, atau kalimat Paulus "Bagi orang Yahudi aku menjadi seperti orang Yahudi, supaya aku memenangkan orang-orang Yahudi. Bagi orang-orang yang hidup di bawah hukum Taurat aku menjadi seperti orang yang hidup di bawah hukum Taurat, sekalipun aku sendiri tidak hidup di bawah hukum Taurat, supaya aku dapat memenangkan mereka yang hidup di bawah hukum Taurat" (1 Korintus 9:20). Pendekatan yang tepat akan membawa banyak kebaikan. Namun kita tidak masuk ke perdebatan ini, tentang siapa yang salah dan siapa yang benar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun