Mohon tunggu...
Hendy Adinata
Hendy Adinata Mohon Tunggu... Freelancer - Sukanya makan sea food

Badai memang menyukai negeri di mana orang menabur angin | Email: hendychewadinata@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Beauty Artikel Utama

Standar Kita: Tato Buruk, Rias Wajah Baik

14 November 2019   01:27 Diperbarui: 14 November 2019   11:25 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Young Lex (sumber: mtvasia.com)

Sedangkan untuk sifat orang yang memiliki tato itu, sekali lagi itu lain hal. Namun bila sifat orang itu bagus, pastinya akan menambah kekaguman dan daya tarik kita.

Tidakkah kita lupa bahwa Ibu Susi Pujiastuti juga merupakan wanita bertato? Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan kita ini dari awal telah membius kita dengan kekaguman karena keberaniannya menegakkan kedaulatan wilayah perairan kita. Kapal-kapal asing yang masuk ke wilayah perairan Indonesia tanpa izin ditenggelamkan. Bu Susi meningkatkan pendapatan pajak sektor perikanan, meningkatkan ekspor komoditas ikan dan konsumsi ikan nasional. Seperti pesan bu Susi, "Jangan lupa makan ikan." Pesan itu selalu terngiang-ngiang di telinga anak mahasiswa rantau yang jarang makan ikan.

Ibu Susi juga mendapatkan penghargaan Leaders for a Living Planet dari WWF di tahun 2016, Peter Benchley Ocean Awards, Seafood Champion Award, masuk daftar 100 perempuan paling berpengaruh di dunia versi BBC, dan lain-lainnya. Penghargaan-penghargaan ini adalah penghargaan tertinggi bagi orang yang telah berkontribusi nyata.

Kita diperhadapkan dengan pilihan orang tidak bertato tanpa kontribusi (sebaliknya korupsi dan membuat gaduh bangsa ini) atau orang bertato tapi berkontribusi (seperti Bu Susi yang menaikkan harkat dan martabat kita)?

Intinya tato tidak menjadikan orang itu buruk. Tato yang buruk pun tidak menjadikan orang lebih jahat, sama halnya dengan berdandan buruk. Kita tetap bisa berprestasi dengan atau tanpa tato, dengan atau tanpa dandan. Yang terpenting adalah kebermaknaan kita di dalam menjalani hidup.

Memang niat orang membuat tato itu macam-macam, kebanyak memang orang-orang nakal. Wawasan kita tidak boleh sesederhana bahwa bertato itu buruk, kita sebagai kaum terdidik harus melihat lebih dalam dari itu. Jangan produk netral kita persalahkan,

Untuk saat ini pemerintah tidak memberikan kesempatan kepada orang bertato untuk mengikuti CPNS, penulis berharap ke depan, kesempatan itu bisa dibuka, karena belum tentu bertato sama dengan tidak memiliki kemampuan. Biar dunia melihat bahwa di Indonesia, orang bertato pun dihargai.

Kita adalah mahluk-mahluk penikmat keindahan, dan sesuatu yang indah membutuhkan mata yang dapat menangkap hal indah itu. Seni musik, lagu, lukisan, pahatan, foto, cerita fiksi dan sebagainya termasuk tato juga merupakan karya seni yang membutuhkan pancara indra yang mampu menangkat keindahan di dalamnya.

Sekali lagi, dandan yang buruk merusak mata, dan tato yang buruk juga demikian. Sedangkan dandan yang bagus, dan tato yang bagus membius mata setiap orang yang melihatnya. 

Sifat dan karakter bagaimanapun harus menyesuaikan dengan sampul biar pas. Seperti kata Soekarno, bahwa "Lukisan yang bagus harus memiliki pigura yang cocok".

Lukisan jelek tapi piguranya dari kayu jati yang dilabur emas ya tidak cocok. Lukisan The School of Athens karya Rafael Sanzio yang piguranya kayu lapuk juga tidak cocok. Cocoknya bagaimana? Ya harus cocok biar cocok. Sekali lagi tergantung mata dan rasa yang menilai. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Beauty Selengkapnya
Lihat Beauty Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun