Mohon tunggu...
Hendy Adinata
Hendy Adinata Mohon Tunggu... Freelancer - Sukanya makan sea food

Badai memang menyukai negeri di mana orang menabur angin | Email: hendychewadinata@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bagaimana Sarjana Begitulah Keadaan Masyarakat

22 Agustus 2019   09:35 Diperbarui: 22 Agustus 2019   09:54 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagaimana Sarjana Begitulah Keadaan Masyarakat

Oleh Hendy Adinata

74 tahun Bangsa Indonesia merdeka, selama itu telah banyak lembaga survei (teknik riset dengan memberi batasan yang jelas atas data, penyelidikan dan peninjauan) didirikan, dan sudah banyak pula aktivis (orang yang bekerja aktif mendorong pelaksanaan sesuatu) yang bermunculan. 

Mereka yang mengoperasikan lembaga atau yang menjadi aktivis merupakan sarjana (orang pandai/ ahli ilmu pengetahuan, kaum cendekiawan).

Dewasa ini jumlah sarjana semakin membeludak (meluap/melebihi jumlah yang normal). Namun seiring dengan bertambahnya jumlah sarjana ini, tidak diimbangi dengan adanyanya perubahan yang signifikan pada masyarakat. Masyarakat begitu-begitu saja. Masyarakat lebih banyak belajar dan dididik oleh dunia maya. 

Sarjana juga demikian, lebih banyak dididik oleh dunia maya daripada buku. Perubahan yang tampak hanya di sektor perekonomian, infrastruktur juga baru beberapa tahun terakhir, sedangkan pembangunan manusia tidak banyak lonjakan.

Penulis tidak ingin menggunakan teori yang rumit untuk menggambarkan keadaan masyarakat. Penulis menggunakan tolak ukur yang sederhana saja, yaitu bagaimana sarjana, begitulah keadaan masyarakat

Tidak berkembangnya masyarakat dikarenakan tidak berperannya sarjana secara signifikan. Dan tidak berperannya sarjana merupakan wajah masyarakat itu sendiri. Beberapa hal mungkin dapat menjelaskan apa yang terjadi sesungguhnya.

Mampu Bersekolah Tidak Diimbangi Dengan Kesiapan Bersekolah

Tidak bersungguh-sungguh

Kemajuan ekonmi di sejumlah daerah memang berdampak pada tingkat pendidikan penduduknya. Jumlah masyarakat yang bisa bersekolah sampai pada jenjang perguruan tinggi semakin banyak. Gelar sarjana sudah bukan barang mahal, malah dianggap sangat umum---khususnya di perkotaan besar.

Namun, meningkatnya perekonomian masyarakat nyatanya tidak berbanding lurus dengan kesiapan peserta didik sendiri dalam menempuh pendidikan.

Masih banyak anak-anak lulusan SMA yang bingung akan melanjutkan kuliah di jurusan apa. Padahal pilihan itu sudah harus selesai ketika mereka menginjakkan kaki di kelas 2 SMA. Pada akhirnya lulusan-lulusan SMA ini memilih saja 'yang penting kuliah', tanpa memikirkan dampak kuliah itu bagi kehidupannya kelak.

Apakah jurusan itu merupakan minat dan bakatnya atau sekedar ikut-ikut teman saja mereka tidak memikirkannya.

Setelah menjadi mahasiswa pun, mereka menjalaninya dengan begitu saja (mengikuti arus), tanpa tahu bagaimana cara memanfaatkan kesempatan bersekolah yang sesungguhnya. Kuliah hanya sekedar rutinitas, datang ke kelas, mengikuti kuliah, mengantuk, mengisi daftar hadir, dan sepulangnya dari kuliah, banyak kegiatan telah menanti. Begitu-begitu saja selama beberapa tahun hingga lulus. Singkatnya 90% waktu itu untuk hura-hura dan 10% untuk mencurahkan perhatian ke pembelajaran keilmuan.

Orang tua yang tidak mengedukasi anak-anaknya (karena latar belakang pendidikannya yang tidak tinggi) di satu sisi tidak dapat dipersalahkan, atau anak-anak yang tidak mempersiapkan diri (karena tidak pernah distimulus/rangsang oleh orang tua dan oleh guru di sekolah untuk berpikir) karena mereka terlalu naif. Yang pasti hubungan sebab dan akibat ini terjadi dan tetap akan berdampak pada mutu sarjana itu sendiri. Ketidaksiapan untuk belajar ini membuahkan hasil yang tidak maksimal dan ala kadarnya.

Sarjana Tidak Mampu Beropini

Mengimpor opini dari luar

Melalui pendidikan diharapkan peserta didik memiliki kepekaan terhadap mana yang benar dan keliru, dapat mengambil kesimpulan dengan kritis melalui wawasan yang terbuka.

Kepekaan inilah yang tidak banyak dilihat oleh masyarakat pada diri sarjana. Misalkan saat berdiskusi dengan sarjana ilmu sosial, masyarakat awam tidak banyak mendapat ilmu karena sesuatu yang diucapkan dari mulut sang sarjana itu sudah umum (sudah tahu sama tahu). Malah lebih hebat analisa masyarakat yang buka usaha (buka toko) dalam melihat permainan politik, keamanan, pembangunan, teknologi, tata kota, dan arus perekonomian di daerahnya.

Saat ini pun bisa dihitung berapa jumlah sarjana di tingkat local yang menuliskan opininya di media cetak seperti surat kabar harian tingkat lokal. Sedikit sekali dari ribuan sarjana yang dihasilkan tiap tahunnya. Mereka masyarakat akan menganggap mereka tidak mampu berpikir.

Tidak mampu menuliskan opininya sendiri disebabkan kurang baca buku, tidak punya struktur berpikir yang baik, kurang mau berpikir berat dan tidak menguasai ejaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar (EYD).

Misalnya dalam penulisan kata awalan di- yang masih banyak kesalahan dalam penggunaannya. Mana yang dipisah dan mana yang disambung, masih banyak sarjana yang bingung. Ini merupakan aib bagi sarjana dan PR besar bagi guru yang mengajar Bahasa Indonesia. Mengapa sampai level sarjana pun masih banyak sarjana yang tidak paham dengan ejaan sesederhana itu?

Masyarakat jarang melihat sarjana tingkal local beropini, karena sarjana itu yang sendirinya tidak mampu beropini. Masyarakat tidak tergugah ketika berbicara dengan seorang sarjana, karena nalar sarjana sama dangkalnya dengan nalar masyarakat awam.

Level sarjana seharusnya mampu menuliskan opininya di koran-koran (minimal koran local) dengan tunjangan keilmuannya. Sarjana harus berkontribusi minimal pada tataran beropini. Putera daerah di tahun 2019 ini harus mengisi surat-surat kabar di daerahnyya dengan opini mereka sendiri, bukan opini dari orang-orang yang berada di luar sana. Seharusnya kita malu selalu mengimpor opini dari luar, masakan sarjana kita tidak mampu berpikir sendiri?

Tidak heran masyarakat banyak yang dangkal, karena sarjananya juga dangkal. Sarjana mau menulis pun masih berkutat dengan kesalahan penulisan dan tanda baca---belum masuk pada hal esensi.

Sarjana Tidak Menguasai Teori---Apalagi Praktis?

Masyarakat sering mengeluh lembaga publik tidak professional---sarjana di dalamnnyalah penyebabnya

Menurut penulis, sistem ujian dengan mengisi pilihan ganda tidak lebih baik dari soal-soal yang sifatnya analitis. Mengisi pilihan ganda lebih cocok dijadikan ujian dalam tes seperti CPNS.

Saat ini banyak dosen yang tidak bisa menjelaskan konsep dengan baik dan memberikan contoh yang praktis di lapangan. Metode yang buruk dari dosen memperburuk kualitas dari pelajar itu sendiri. Penulis sendiri mengalami hal ini.

Dosen yang membacakan poin-poin yang terdapat di layar presentasi, meneritakan kisah hidupnya (mengajak mahasiswa untuk bertamasya di dunia lain---bukan dunia keilmuan), dan beropini sedikit tentang suatu isu. Seharusnya dosen bisa lebih dari sekedar rutinitas.

Rutinitas mahasiswa yang suka datang terlambat, mau nilai tinggi tapi tidak mau mengikuti kerja kelompok, mau mahir tapi tidak mau telibat berkegiatan mahasiswa, kuliah sekedar mengisi daftar hadir. Pendeknya mahasiswa mau semua yang terbaik tapi tidak mau berproses, kata seorang kompasianer 'tidak mau berdarah'.

Penulis sendiri sering mengikuti kuliah-kuliah di Youtube. Salah satu yang biasa penulis lihat adalah Rocky Gerung yang mengajar filsafat. Paparan beliau sangat jelas, membuat penulis dapat berpikir kritis terhadap suatu isu (minimal menguasai teori sampai ke dasar tulang sumsumnya)---bukan pilihan ganda.

Ketika tamat (menyelesaian mata kuliah yang beberapa sks tersebut) mahasiswa hanya mendapatkan teori dan konsep yang bersifat 'di awang-awang'. Konsep yang hanya dapat dirasa tanpa dapat dikemukakan dengan jelas dan utuh. Salah satu cara untuk memperbaiki penguasaan teori ini adalah dengan membaca buku.

Sarjana harus suka membaca buku untuk mengisi perbendaharaan keilmuannya. Yang herannya, banyak mahasiswa mengaku bahwa dirinya tidak suka baca buku. Buku ilmiah tidak suka, buku novel yang lebih ringan bahasanya juga tidak suka, terus apa yang mau dibaca? Tren bermain game sendiri tidak pernah menolong sarjana dalam pekerjaannya.

Tidak suka baca merupakan hal yang mengherankan dan tindakan yang berani bagi mereka yang masuk perguruan tinggi. Masakan masuk perguruan tinggi tidak mau membaca? Ini bisa menjadi blunder bagi diri sendiri ke depannya.

Sebelum sarjana ini melecehkan gelar akademiknya, mereka sudah terlebih dahulu mecelehkan buku yang merupakan kitab suci bagi kaum cendekiawan.

Sarjana belum bekerja, maka mereka tidak memahami hal praktis sama sekali. Bila tidak menguasai hal praktis, apa jadinya sarjana tanpa pernah membaca buku? Sudah tidak mampu bekerja hal yang minimal yaitu berpikir saja sudah tidak mampu. Apa kata dunia?

Tidak heran masyarakat sering mengeluhkan pelayanan publik yang dikerjakan oleh 'sarjana' tidak memuaskan dan ala kadarnya. Sarjana tidak menguasai teori apalagi praktek.

Anggapan Bahwa Gelar Akademik Pasti Meningkatkan Taraf Hidup

Kejarlah gelar setinggi-tingginya!

Gelar pasti meningkatkan taraf hidup bila diimbangi dengan mutu. Melanjutkan poin sebelumnya, hal yang sama juga terjadi pada peserta didik yang berasal dari keluarga 'mampu'. Banyak dari mereka bersekolah hanya untuk kepentingan prestise dan gengsi keluarga (kebanyakan) tanpa benar-benar belajar (poin pertama).

Perkataan orang tua "Yang penting kamu sarjana nak, kamu akan dihargai---tidak dianggap remeh sama orang lain", masih banyak kita jumpai saat ini.

Tidak salah bila memiliki dana lalu bersekolah, namun juga tidak benar alasan bersekolah hanya demi gengsi semata. Ibarat seseorang yang memiliki lemari berisi buku-buku yang banyak, ketika dipuji seseorang bahwa bukunya banyak, dia menjawab "Biasa saja, untuk nakut-nakutin tikus". Apakah gelar akademik hanya untuk menakuti-nakuti lawan bicara? Tetangga? Pimpinan dan teman di tempat kantor?

Itu pikiran orang sakit, yaitu sakit akan penghargaan diri. Gelar sarjana bukan untuk kepentingan gengsi, tapi untuk kepentingan berkontribusi.

Bila bersandar pada opini yang penting sarjana, tanpa bertanggung jawab pada gelar vokasi tersebut (punya kemampuan) maka pasti tidak ada gunanya, hanya akan menambah angka orang-orang berstatus sarjana.

Jika hal di atas tidak dibenahi dari sekarang, maka penyebutan sarjana hanya akan tinggal labelnya saja, sedangkan mutunya sama dengan mereka yang tidak sarjana. Mau sarjana sebanyak apapun akan mubazir.

Indonesia tidak butuh banyak doktor secara ijazah, namun Indonesia membutuhkan banyak masyarakat yang berotak doktor.

Penuntup

Pada akhirnya, sarjana yang mutunya tidak baik (abal-abal) mencerminkan masyarakat yang mutunya juga tidak baik bagaikan dua semangka yang berasal dari akar yang sama (istilah yang dibuat Yu Hua dalam novelnya 'Brothers'). Penulis menambahkan, bagaimana sarjananya, begitu juga masyarakatnya. Cocok?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun