Masih banyak anak-anak lulusan SMA yang bingung akan melanjutkan kuliah di jurusan apa. Padahal pilihan itu sudah harus selesai ketika mereka menginjakkan kaki di kelas 2 SMA. Pada akhirnya lulusan-lulusan SMA ini memilih saja 'yang penting kuliah', tanpa memikirkan dampak kuliah itu bagi kehidupannya kelak.
Apakah jurusan itu merupakan minat dan bakatnya atau sekedar ikut-ikut teman saja mereka tidak memikirkannya.
Setelah menjadi mahasiswa pun, mereka menjalaninya dengan begitu saja (mengikuti arus), tanpa tahu bagaimana cara memanfaatkan kesempatan bersekolah yang sesungguhnya. Kuliah hanya sekedar rutinitas, datang ke kelas, mengikuti kuliah, mengantuk, mengisi daftar hadir, dan sepulangnya dari kuliah, banyak kegiatan telah menanti. Begitu-begitu saja selama beberapa tahun hingga lulus. Singkatnya 90% waktu itu untuk hura-hura dan 10% untuk mencurahkan perhatian ke pembelajaran keilmuan.
Orang tua yang tidak mengedukasi anak-anaknya (karena latar belakang pendidikannya yang tidak tinggi) di satu sisi tidak dapat dipersalahkan, atau anak-anak yang tidak mempersiapkan diri (karena tidak pernah distimulus/rangsang oleh orang tua dan oleh guru di sekolah untuk berpikir) karena mereka terlalu naif. Yang pasti hubungan sebab dan akibat ini terjadi dan tetap akan berdampak pada mutu sarjana itu sendiri. Ketidaksiapan untuk belajar ini membuahkan hasil yang tidak maksimal dan ala kadarnya.
Sarjana Tidak Mampu Beropini
Mengimpor opini dari luar
Melalui pendidikan diharapkan peserta didik memiliki kepekaan terhadap mana yang benar dan keliru, dapat mengambil kesimpulan dengan kritis melalui wawasan yang terbuka.
Kepekaan inilah yang tidak banyak dilihat oleh masyarakat pada diri sarjana. Misalkan saat berdiskusi dengan sarjana ilmu sosial, masyarakat awam tidak banyak mendapat ilmu karena sesuatu yang diucapkan dari mulut sang sarjana itu sudah umum (sudah tahu sama tahu). Malah lebih hebat analisa masyarakat yang buka usaha (buka toko) dalam melihat permainan politik, keamanan, pembangunan, teknologi, tata kota, dan arus perekonomian di daerahnya.
Saat ini pun bisa dihitung berapa jumlah sarjana di tingkat local yang menuliskan opininya di media cetak seperti surat kabar harian tingkat lokal. Sedikit sekali dari ribuan sarjana yang dihasilkan tiap tahunnya. Mereka masyarakat akan menganggap mereka tidak mampu berpikir.
Tidak mampu menuliskan opininya sendiri disebabkan kurang baca buku, tidak punya struktur berpikir yang baik, kurang mau berpikir berat dan tidak menguasai ejaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar (EYD).
Misalnya dalam penulisan kata awalan di- yang masih banyak kesalahan dalam penggunaannya. Mana yang dipisah dan mana yang disambung, masih banyak sarjana yang bingung. Ini merupakan aib bagi sarjana dan PR besar bagi guru yang mengajar Bahasa Indonesia. Mengapa sampai level sarjana pun masih banyak sarjana yang tidak paham dengan ejaan sesederhana itu?
Masyarakat jarang melihat sarjana tingkal local beropini, karena sarjana itu yang sendirinya tidak mampu beropini. Masyarakat tidak tergugah ketika berbicara dengan seorang sarjana, karena nalar sarjana sama dangkalnya dengan nalar masyarakat awam.