Agak liar sebenarnya memberlakukan Contempt of Court pada berkas Permohonan yang diajukan oleh Pemohon dalam PHPU ini. Pasalnya Contempt of Court hanya dapat dikenakan kepada perilaku dan sikap yang "tampak". Namuan Penulis ingin membawa pengertian ini pada ranah yang lebih luas dari sekedar perilaku dan sikap yang "tampak" tadi. Maafkan Penulis masih belum menemukan kata-kata/ istilah yang lebih tepat.
Dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi telah dijelaskan tentang bagaimana Permohonan PHPU itu hendak diajukan, termasuk bagaimana format penulisan yang akan dibuat oleh Pemohon juga telah disebutkan oleh Mahkamah.
Setelah Hasil Perolehan Suara oleh KPU secara nasional diumumkan pada 21 Mei 2019. UU Pemilu 2017 memberikan kesempatan kepada Peserta Pemilu untuk mengajukan permohonan PHPU kepada MK dalam 3 x 24 jam yang isinya adalah permohonan pembatalan SK KPU tersebut dengan mekanisme persidangan sambil membawa semua alat buktinya.
Tidak seperti permohonan yang diajukan oleh Pasangan Calon 02 yang isinya sangat rinci dan dibuat sebagaimana format yang diatur dalam PMK. Pada PHPU DPRD Kab, Penulis menemukan bahwa ada permohonan yang dibuat "seolah-olah" asal-asalan (kasarnya). Permohonan itu tidak dibuat sebagaimana yang ditentukan di dalam PMK Nomor 2 Tahun 2018.
Menjelang hari diregistrasinya permohonan tersebut di BRPK (Buku Registrasi Perkara Konstitusi) MK. Penulis masih belum melihat berkas tersebut diperbaiki oleh Pemohon. Berikut Penulis berikan contoh.
Pada gambar di atas, seharusnya yang mengajukan permohonan adalah DPP Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana Pasal 7 ayat (1) PMK Nomor 2 Tahun 2018. Pada pembukaan permohonan tersebut sudah tidak mentaati peraturan yang dibuat oleh MK.
Berikutnya, pada gambar di bawah ini Penulis telah melampirkan isi Permohonan dari Pemohon.