Beginilah suasana pagi itu, manusianya masih sepi dan udaranya pun segar.
Setelah bubur masak, bunga dan perlengkapannya sudah siap, jam pun sudah menunjukkan nyaris pukul 03.30. Namun orang-orang yang sudah berjanji tak kunjung datang. Sambil menelepon, menunggu menjadi pekerjaan yang membosankan bagi kami.
Membuahkan hasil memang, karena tidak lama setelah itu, seorang paman sudah datang ke rumah. Ia mengecek setiap perlengkapan yang akan dibawa pergi ziarah nanti, termasuk juga mencicipi bubur panas dalam panci apakah sudah lezat atau masih kurang bumbu.
Sekali lagi, semuanya sudah siap, kendaraan sudah dipanaskan dan semua perlengkapan sudah dikemas, siap untuk dibawa. Namun hingga pukul 04.00 orang-orang yang sudah berjanji tak kunjung datang selain seorang paman ini. Sambil menelepon, lagi-lagi kami harus menunggu.
Mama bad mood dan paman mulai menggerutu. Omong sana omong sini pun terdengar, "Si A memang tidak niat pergi dari awalnya, si B ini sudah lelet banyak sekali alasannya, si C ini memang ndak pernah peduli dengan keluarga sendiri, bila orang lain dia cepat, untuk keluarga jangan harap."
Walaupun pagi itu suhunya dingin, namun dalam diri ini terasa mulai kepanasan. Kekesalan ini terjadi mengingat waktu sudah hampir menunjukkan pukul 04.30 pagi. Siapa yang tidak akan marah? Yah, namanya juga manusia.
Dengan kekesalan yang meluap-luap. Rasanya mau batalkan saja rencana pergi ziarah ini. Namun niat itu harus dibatalkan karena orang-orang yang "sudah berjanji" ini satu-persatu sudah datang.
Sontak suasana menjadi ramai, riah-riuh berbagi tugas membawa perlengkapan pun terdengar memenuhi rumah. Keluhan-keluhan sebelumnya pun tidak terucap lagi, tergantikan dengan rencana awal yang pokoknya harus jadi.
Sebelum berangkat pun, ternyata masih ada anggota yang belum hadir karena belum siap dan malah masih "santai-santai" tanpa rasa bersalah. Kembali lagi ucapan kekesalan itu terlontar keluar dari beberapa mulut. Keputusan untuk tidak menunggu/tinggalkan saja si lelet ini pun diambil.