Mohon tunggu...
Hendy Adinata
Hendy Adinata Mohon Tunggu... Freelancer - Sukanya makan sea food

Badai memang menyukai negeri di mana orang menabur angin | Email: hendychewadinata@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Civil Society, Jawaban bagi Kekosongan Pengawas Pemilu (TPS)

27 Maret 2019   00:54 Diperbarui: 27 Maret 2019   09:07 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

21-hari menjelang hari Pemungutan Suara. Hari Senin (25 Maret) merupakan batas akhir dari pembentukan Pengawas TPS sebagaimana yang diatur dalam Pasal 90 ayat (2) UU Pemilu. 

Walaupun batas akhirnya adalah hari Senin, namun nyatanya Selasa dan Rabu pun masih banyak Panwaslu kecamatan di berbagai daerah yang baru akan melantik Pengawas TPS nya, pelantikan ini belum ditambah dengan bimbingan yang harus dilakukan oleh Panwaslu kecamatan padahal kita ketahui bersama waktu Pemungutan Suara tinggal 21 hari lagi.

Update terkini terkait belum tercukupinya kuota Pengawas TPS, di artikel yang lalu Penulis telah katakan bahwa jumlah Pengawas TPS yang ada baru berkisar di angka 75%. Sampai pada ditutupnya masa perpanjangan pendaftaran 30 Maret 2019, memang ada peningkatan hingga mencapai angka 80an persen. 

Namun belasan persen tetaplah angka yang besar, dan bila kita melihat skala Indonesia, kukurangan ini masih di angka puluhan ribu dan maka kekosongan Pengawas TPS ini merupakan masalah yang sangat serius untuk dipikirkan bersama.

Berbicara tentang lapisan kesadaran, Penulis melihat ada tiga lapisan yang saat ini sedang melanda masyarakat di Indonesia.

Pertama - Lapisan Magis

Masyarakat dengan lapisan magis menganggap segala hal yang terjadi merupakan sesuatu yang "telah diatur" oleh Yang Maha Kuasa. Apa yang kita jalani tidak mungkin kita hindari, apa yang kita dapat tidak mungkin dapat kita ubah lagi bagaimanapun caranya, karena itu sudah "diatur".

Akibat dari pemahaman semacam ini, orang hanya akan menjadi pribadi-pribadi yang pasif, tidak mau berjuang/berusaha, pasrah pada keadaan yang ada - terhadap diri sendiri maupun terhadap keadaan sekitar (orang lain dan lingkungan).

Hal ini menyebabkan masyarakat tidak berkembang, semua berjalan stagnan, masyarakat selalu ditakut-takuti oleh tahayul dan mitos yang dipikirkan dengan logika yang paling brilian pun tidak masuk di akal.

Budaya nrimo - pada satu ekstrem memang terkesan rendah hati, namun rendah hati semacam ini hanyalah akan menjadi alat untuk dimanfaatkan.

Jelas ini adalah pemahaman yang keliru, karena walaupun Tuhan memberi potensi tiap-tiap orang berbeda, namun ada dalil rohani yang mana "bila orang berusaha dan disertai doa, niscaya dia akan mendapatkan".

Kedua -- Lapisan Naif

Penulis akan mengambil contoh hal membaca. Tidak ada salahnya bila kita menuntut orang untuk gemar membaca, karena kita sudah merasakan sendiri manfaat dari membaca itu.

Namun terkadang kita tidak mengindahkan faktor lainnya yang membuat orang tidak suka membaca. Faktor tersebut ada faktor xyz. 

Faktor xyz adalah penghambat seseorang sehingga dia tidak dapat/suka membaca (misalnya saja: buta huruf, malas, suasana rumah tidak mendukung, pencahayaan kurang, sirkulasi udara tidak baik, pekerjaan yang memporsir waktu dan stamina, dan berbagai penyebab lainnya).

Kita naif apabila kita tidak memahami faktor xyz ini, terang saja hobby membaca tidak akan mungkin dapat tumbuh bila akar masalahnya tidak diselesaikan. Kita tahu membaca penting, tapi tunggu dulu... pikirkan dulu masalahnya apa.

Ketiga -- Lapisan Kritis

Lapisan yang lebih dalam dari kedua lapisan sebelumnya adalah Lapisan Kritis. Orang-orang yang sudah sampai pada tahap ini dapat dikatakan matang dalam berdiri di atas prinsip sendiri.

Mereka mengerti mengapa harus berbuat dan mengapa tidak perlu berbuat menurut pertimbangan dan logika berpikirnya yang rasional (bukan mistis).

Idealnya mayoritas masyarakat Indonesia perlu masuk ke dalam Lapisan Kritis, karena sistem demokrasi tanpa pikiran sehat hanya akan menjadi democrazy.

Isu hoax, selfisme, hedonisme dan konsumerisme, instanisme, suksesisme dan isme-isme lainnya telah membuat orang menjadi bodoh dan hanya fokus pada diri sendiri. 

Kedangkalan itu terlihat dari rasa nasionalisme masyarakat, empati dan gotong-royong di antara warga. Diskusi yang seharusnya mendalam hanya berkisar di "tasnya bagus, beli di mana, berapa harga?" dan keterlibatan hanya dikarenakan adanya insentif, tidak lebih dalam dari itu.

Sistem "One man one vote" baru akan berjalan ideal bila syarat yang satu ini terpenuhi. Sikap Kritis membuat masyarakat tidak mudah dimobilisasi oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab, masyarakat tidak mudah percaya dengan isu-isu yang belum terverifikasi, malah sebaliknya turut mengoreksi setiap informasi yang bergentayangan meresahkan.

Berkaitan dengan politik, masyarakat turut berperan aktif karena sadar akan dampak dan kesempatannya.

Kekosongan Pengawas TPS di banyak tempat memanglah masalah serius. Tapi bila berkaitan dengan fungsi pengawasan, civil society/masyarakat tetap memiliki tempat dalam Pengawasan partisipatif. Merekalah orang-orang yang sudah berada dalam Lapisan Kritis itu.

Masyarakat sebagai jawaban -- bukan alternatif. Walaupun warga tidak dilantik dan dalam bertugas juga tidak dapat memasuki TPS dalam kegiatan Penghitungan Suara, namun keberadaannya masih dapat diperhitungkan.

Misalnya saja biila warga tidak dapat melihat dengan jelas surat suara yang dihitung, mereka dapat melaporkan itu kepada Pengawas Pemilu untuk diproses. 

Dalam masa-masa kampanye ini dan menyongsong hari Pemungutan Suara juga, masyarakat dapat berperan sebagai mata dan telinga bagi Pengawas Pemilu.

Masyarakat dapat melaporkan bila ada dugaan money politics, black campaign, APK yang melanggar tempat, dan sebagainya. Masyarakat menjadi garda terdepan bersama Pengawas Pemilu.

Sebagai penutup, indikator suatu negara demokrasi sehat atau tidak dapat dilihat dari keterlibatan masyarakatnya.

Pertanyaannya, bagaimana membentuk masyarakat yang Kritis? (mencoba naif)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun