Sebagai salah satu dari tiga Lembaga Penyelenggara Pemilu. Bawaslu memegang peranan penting dalam mewujudkan Pemilu yang bermartabat. Pemilu urgen karena sifatnya menentukan masa depan bangsa ke depan.
Dengan jargon Bersama Rakyat Awasi Pemilu, Bersama Bawaslu Tegakkan Keadilan Pemilu, Bawaslu ingin menyampaikan pesan kepada masyarakat bahwa dirinya hadir sebagai mitra rakyat untuk mengawal jalannya pemilu dan menjaga kran reformasi yang sudah dibuka pada tahun 1998 tetap dijalur yang benar.
Sekedar mengingatkan - Pemilu dan Pilpres kita tidak lebih dari 40 hari lagi. Dapat dirasakan juga bahwa tensi perpolitikan makin hari makin meninggi menjelang pemungutan suara tanggal 17 April mendatang. Pengawasan pun harus semakin kuat karena belum pencoblosan saja temuan demi temuan sudah dimohonkan berbagai pihak kepada lembaga yang bernama Bawaslu ini. Bagaimana saat pemungutan suara nanti? Bahkan setelahnya.
Pemungutan Suara bisa dikatakan sebagai puncak dari rangkaian proses pemilu. Karena sifatnya penting maka kehadiran para Pengawas di Tempat Pemungutan Suara (TPS) malah lebih penting lagi walau di sana sudah ada saksi dari partai (ya kalau ada), saksi dari masyarakat (ya kalau masyarakat juga ada) dan dari pelaksana (unsur KPU -- ya kalau netral dan dapat dipercaya).
Pengawas TPS sendiri baru disebutkan dalam Undang-Undang 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang dan dibentuk oleh dan untuk membantu Panwascam.
Tugas Pengawas TPS disebutkan dalam Pasal 114 Undang-Undang 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, yaitu mengawasi:
- persiapan pemungutan suara,
- pelaksanaan pemungutan suara,
- persiapan perhitungan suara,
- pelaksanaan perhitungan suara, dan
- pergerakan hasil perhitungan suara dari TPS ke PPS.
Pasal 115, Pengawas TPS berwenang:
- menyampaikan keberatan dalam hal ditemukannya dugaan pelanggaran, kesalahan dan/atau penyimpangan administrasi pemungutan dan perhitungan suara;
- menerima salinan berita acara dan sertifikat pemungutan dan penghitungan suara; dan
- melaksanakan wewenang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 116, Pengawas TPS berkewajiban:
- menyampaikan laporan hasil pengawasan pemungutan dan penghitungan suara kepada Panwaslu Kecamatan melalui Panwaslu Kelurahan/Desa; dan
- menyampaikan laporan hasil pengawasan kepada Panwaslu Kecamatan melalui Panwaslu Kelurahan/Desa.
Sebagai penambah wawasan bagi warga pembaca sekalian, Pengawas TPS (PTPS) ini sifatnya ad hoc dan sudah harus dibentuk paling lambat 23 (dua puluh tiga) hari sebelum hari pemungutan suara dan dibubarkan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah hari pemungutan suara. Â
PTPS sendiri berjumlah 1 (satu) orang pada setiap TPS. Adapun Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) jumlahnya 7 orang di setiap TPS (unsur KPU) - jadi dapat disimpulkan yang melaksanakan pemungutan suara di sebuah TPS ada 7 orang (unsur KPU), dan yang mengawasinya hanya ada 1 orang (unsur Bawaslu).
Dalam pemungutan suara -- PTPS dapat "memerintahkan" (pinjam istilah ini walau tidak tepat) untuk melakukan pemungutan suara ulang di sebuah TPS apabila dari hasil penelitian dan pemeriksaannya terbukti terdapap kekeliruan dan pelanggaran (Pasal 372). Entah itu orang yang tidak punya hak pilih tapi datang mau mencoblos, kartu suara dirusak oleh oknum, kotak suara tidak diperiksa, dsb.
Ringkasnya - Keberadaan PTPS ini sangatlah penting apalagi mengingat jumlahnya yang hanya 1 orang di setiap TPS. Maka Pengawas TPS yang mumpuni diperlukan (baik integritas, independensi dan keahliannya terkait kepemiluan).
Memasuki H-40 menjelang pemungutan suara, tersiar kabar bahwa PTPS ini jumlahnya masih sangat kurang dari jumlah yang dibutuhkan (di seluruh provinsi mengalaminya). Di kabupaten tempat tinggal Penulis sendiri, PTPS yang memenuhi syarat baru mencapai angka 75% dari total jumlah TPS 1.640. Maka PTPS yang ada baru mencapai angka 1.230 orang -- kekurangan PTPS masih di angka 410 orang. Berarti ada 410 TPS yang tidak memiliki pengawas dan kekurangan di atas apabila diteruskan sampai level nasional maka angka puluhan ribu pasti tak terelakkan (ada puluhan ribu TPS yang tidak memiliki pengawas).
Adapun syarat yang mengganjal sehingga tidak terpenuhinya jumlah PTPS di tempat Penulis adalah persyaratan usia dan pendidikan terakhir pendaftar. Kedua poin ini paling banyak membuat pendaftar Tidak Memenuhi Syarat (TMS) di samping syarat lain misalnya bukan anggota parpol, tidak pernah dipidana, bersedia tidak menduduki jabatan politik, jabatan di pemerintahan, dan/atau BUMN/BUMD selama masa keanggotaan, dsb.
Terkait kedua poin di atas penulis ingin membandingkannya dalam beberapa aturan yang ada:
Undang - Undang Pilkada
No. 1 Tahun 2015
Pasal 23
- b) Pengawas TPS berasal dari kalangan professional yang mempunyai kemampuan dalam melakukan pengawasan dan tidak menjadi anggota partai politik.
Perbawaslu No. Â 2 Tahun 2016
Pasal 9
- b) Berusia paling rendah 18 (delapan belas) tahun untuk Pengawas TPS
- f) berpendidikan paling rendah sekolah menengah atas atau sederajat dan/atau memiliki pengetahuan di bidang kepemiluan
Undang -- Undang Pemilu
No. 7 Tahun 2017
Pasal 117
- b) Berusia paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun;
- f) Berpendidikan paling rendah sekolah menengah atas atau sederajat;
Pasal 132
mekanisme rekrutmennya di atur di perbawaslu
Perbawaslu No. 19 Tahun 2017
Pasal 7
- b) Berusia paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun untuk Pengawas TPS.
- g) mempunyai kemampuan dan keahlian yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilu, Ketatanegaraan, kepartaian, dan pengawasan pemilu.
- m) Berpendidikan paling rendah sekolah menengah atas atau sederajat
Jika dilihat dari aturan sebelum UU No. 7 Tahun 2017. Syarat menjadi PTPS terkait usia minimal ini tidak terlalu memberatkan. Karena seperti yang dapat dilihat -- usia minimal hanya 18 tahun. Dalam Pilkada kala itu, jumlah PTPS juga terlampaui. Tidak seperti sekarang yang kekurangannya banyak sekali.
Niat Pemerintah dan dan Komisi 2 DPR RI membuat syarat yang sedemikian rupa memang baik dan sangat ideal. Karena orang-orang yang usianya 25 ke-atas pastilah yang sudah matang (karakter, integritas, tanggung jawab) dan lebih bisa menghadapi orang ketimbang orang-orang muda yang baru lulus SMA atau masih kuliah. Namun idealisme ini tidak berbanding lurus dengan keadaan di tingkat kelurahan/desa.
Daerah selevel DKI Jakarta saja untuk PTPS ini masih sangat kurang, mungkin karena umur 25 itu orang sibuk-sibuknya bekerja, orang berlomba-lomba mencari penghasilan apalagi di daerah seperti DKI (tidak kerja mati) dan hari libur orang memilih istirahat - Sudah lelah bekerja dan tidak mau pusing dengan urusan kontestasi politik segala.
Kalau di DKI tantangannya orang yang wawasannya sudah sampai tapi tidak mau terlibat, kalau di daerah seperti Kalimantan (maafkan seolah-olah menistakan), di tingkat kecamatan/desa wawasan kenegaraan orang-orang belum sampai ditambah lagi tidak mau terlibat.
Terlepas dari persyaratan yang ada - sampai di sini kita dapat melihat bagaimana wujud kepedulian masyarakat terhadap pengawasan terkait pemilu di tahun 2019 ini. Berbagai dinamika politik telah lewat dan kita mengambil banyak pelajaran darinya termasuk sikap untuk peduli. Berbagai media juga menawarkan acara yang muatannya kebangsaan, politik dan hukum. Sudah lebih baik tentunya toh? Namun ini masih, masih, dan masih kurang.
Kembali ke masalah PTPS tadi. Kurangnya jumlah PTPS ini dan sampai berakhirnya masa perpanjangan pendaftaran di tanggal 10 Maret nanti. Penulis masih pesimis karena PTPS ini mungkin tidak akan tercapai 100%. Paling mentok tambah 3 % dan keadaan seperti ini apakah akan dibiarkan?
Menunggu kebijakan pemerintah - Mau Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi sudah terlambat. Mau menurunkan standar usia nanti Bawaslu RI menabrak UU dan potensinya akan ke DKPP dari tingkat pusat sampai kelurahan/desa. Solusi satu-satunya untuk memenuhi jumlah PTPS ini adalah dengan mengeluarkan Perpu. Dan pilihan Perpu harus dikeluarkan pemerintah.
Sudah ada Pengawas TPS saja masih banyak masalah yang terjadi, apalagi tidak ada Pengawas TPS? Dapat dibayangkan betapa alotnya.
Mungkin untuk saran ke depan, pengaturan usia minimal dan syarat lain yang kurang relevan perlu dipertimbangkan keberadaannya untuk dimasukkan dalam aturan. Harusnya kita lebih konsen pada masalah meningkatkan mutu PTPS itu sendiri untuk hari H Pemunguutan Suara entah itu dengan bimbingan teknis, workshop, dsb.Â
Pengawas TPS dari unsur TNI atau Polri mungkin boleh menjadi satu alternatif yang perlu dikaji ke depannya sebagai satu bentukk bela negara (5 tahun sekali saja kok mengawasi TPS). Anak muda yang masih idealis-iidealisnya juga perlu dibuat kajian karena era ini anak muda sudah mulai peduli dengan isu-isu kenegaraan. apakah anak muda tidak boleh terlibat? sangat boleh sebetulnya. tinggal bagaimana pembekalan nanti.
Melihat kembali gelaran olahraga Asian Games 2018 yang sempat ditunggu-tunggu masyarakat Indonesia. Tentunya sebagai tuan rumah harus menunjukkan yang baik-baik, baik itu dari sisi atlet maupun sisi pelayanannya. Maka pembenahan sejumlah fasilitas dilakukan dan kualitas SDM juga ditingkatkan. Waktu itu INASGOC membuka kesempatan untuk menjadi volunteer yang kriterianya Pria dan Wanita berusia 18 hingga 40 tahun dengan  jumlah slot sebanyak 13 ribu. Diwajibkan juga volunteer ini menguasai program office, mengantongi ijasah SMA/ SMK, dan bila menguasai Bahasa asing akan menjadi nilai tambah/ diperhitungkan. Dan slot ini tercukupi karena antusiasme masyarakat dan ada uang saku Rp. 300.000 tentunya.
Semua memang perlu uang, tapi partisipasi yang dasarnya sebatas keuntungamn finansial sangat tidak bagus! Harusnya dengan wawasan kenegaraan dan demi kepentingan negara kita bersama -- keikutsertaan kita "harus melampaui sekedar uang."
Salam Awas!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI