Karena minim sekali jumlah peserta yang lulus dalam menempuh ujian tahap kedua rekrutmen ASN. Tim Panitia Seleksi Nasional (Panselnas) CPNS 2018 katanya sedang menyusun opsi dalam mengatasi banyaknya peserta CPNS yang tidak lulus ujian SKD itu. Salah satu opsinya adalah dengan menurunkan nilai ambang batas kelulusan atau passing grade (PG). Mayoritas peserta tidak lulus lantaran hanya karena tidak memenuhi satu komponen saja di dalam SKD entah itu TWK/TIU/TKP.
Menurut hemat penulis, opsi penurunan standar PG yang katanya sedang masuk tahap pembahasan final itu terlampau tidak adil bagi peserta yang telah memenuhi standar PG yang terdapat dalam Permen PANRB No. 37/2018.
Dengan menurunkan PG yang ada, otomatis posisi pelamar yang telah lulus ambang batas SKD sangat terancam. Mengapa tidak? Karena skor yang dimiliki oleh peserta yang jumlahnya ribuan itu nyatanya memang banyak yang melampaui skor dari peserta yang lulus. Posisi penulis sendiri adalah 372, dan ancaman tetap ada. Tapi mereka yang skornya di bawah 340 maka ancaman ini sangat serius.Â
Memang penulis akui bahwa tes itu sangat berat. Tetapi tes itu sangat adil dan tidak mungkin dimanipulasi hasilnya. Tiap peserta menghadapi soal yang sama sulitnya dan sama derajatnya tanpa terkecuali, mau dia anak pejabat, anak orang kaya atau anak yang biasa-biasa saja dari suatu desa, tanpa status sosial dan kedudukan. Semuanya sama rata diberikan waktu 90 menit untuk mengerjakan 100 soal. Tinggal bagaimana masing-masing mengerjakan dengan gesit dan pemahaman yang dimiliki.
Urusan anda kehabisan waktu, soalnya mengecoh, buku CPNS 2018 yang anda baca tidak ada satupun yang keluar (hello, kalau keluar itu bukan ujian, tapi menyalin!) itu urusan anda. Tapi kok yang anda bilang sulit itu ada juga yang berhasil melaluinya? Kok anda tidak bisa melaluinya?
Jikalau A yang semasa kuliahnya terlihat bermain-main, IPKnya tidak lebih dari 3.00, baru lulus setelah berkunjung di atas 6 tahun, tapi kenyataan dalam tes ini A lulus PG dengan SOP yang telah dijalankan oleh panitia dengan seketat-ketatnya, haruskah hal semacam itu dipermasalahkan? Mau alasan itu hanya keberuntungan A ya silahkan. Mau alasan anda lebih pintar dan pantas dari A juga silahkan. Mau alasan si A pakai jimat, soalnya terlampau sulit, waktunya kurang, dsb juga silahkan. Kenyataannya hasil tes A lulus PG dan anda tidak. Toh sama-sama berjuang diaturan dan cara main yang sama.
***
Kasihan Peserta Yang Telah Lulus Passing Grade
Sekarang terdapat orang-orang yang karena tidak bisa memanipulasi sistem komputer, mencoba memanipulasi sistem nasional dengan petisi online yang membuatnya pun tidak butuh 10 menit. Wajar saja ramai yang mengisi, lah memang orang-orang putus asa semua. Orang-orang yang tidak siap kalah di dalam kompetisi. Harusnya jika berbesar hati, terimalah kekalahan dengan memperbaiki diri dan belajar lebih sungguh. Melamar di sektor non pemerintah, bukan sebaliknya menyuruh penyelenggara mengubah aturan.
Nyatanya di lokasi tes, penulis banyak menemui peserta yang mengikusi tes tanpa persiapan yang matang. Ditanyain persiapan belajarnya, jawabannya "Baru 3 hari lalu." atau "Ikut-ikut saja mas, siapa tahu rezeki." Atau "Untung-untungan mah tes ini. Ndak perlu terlalu banyak belajar, teman saya tahun lalu mana ada belajar, ikut-ikut saja dia, eh lolos." Apakah orang-orang semacam ini perlu diperjuangkan? Usaha untuk menolong dirinya sendiri saja tidak ada, apakah perlu ditolong?
Yakinkah peserta model begini akan jadi ASN yang benar-benar melayani? Benar-benar setia mengabdikan diri untuk bangsa? Tidak hanya mengabdi, tapi menjadi agen pembaharu dan turut menyelesaikan persoalan di dalam negara sendiri? Ataukah hanya mau nebeng titel dan nebeng hidup dari pajak rakyat?
Tidak ada yang akan menjamin, tapi setelah melihat fakta lapangan penulis sangat pesimis. Bahkan pembaca yang melihat cerminan ASN kita sebanyaknya juga berpikir serupa.
Penulis sadari betul bahwa mayoritas yang tidak lulus sebenarnya banyak yang memiliki skor tinggi melebihi segelintir peserta yang lulus PG. Tapi negara mencari bibit terbaik seperti tulisan penulis di artikel sebelumnya.
Jika PG ditiadakan dan diganti dengan sistem perankingan langsung. Kasihan sekali mereka yang awalnya telah lulus namun akhirnya tidak lulus lantaran skornya kalah tinggi oleh mereka yang semula tidak lulus. Pemerintah menolong orang-orang yang tidak berjuang seperti contoh di atas dan mengorbankan mereka yang sungguh-sungguh berjuang. Sungguh sangat merugikan dan tidak adil!
***
Pemerintah/Panitia Tidak Konsisten Dengan Aturan Main Yang Dibuat Sendiri
Untuk mengatakan tidak konsisten memang tidak boleh sembarangan. Tapi kebijakan meniadakan PG atau malah menurunkannya ditengah tes yang sedang berlangsung dengan pemenang-pemenang yang sudah didapati. Bukankah itu namanya tidak konsisten?
Yang bekerja adalah berbagai kementerian dan pemerintah daerah, berbagai pakar yang menyusun setiap detil-detil dan Standar Operasional Kerja di dalam pelaksanaan CPNS 2018 ini. Singkatnya banyak kajian yang sudah dilakukan. Tapi nyatanya hasil kajian meleset, tidak sesuai dengan hasil, dan sekarang yang mau disalahkan siapa? Peserta yang tidak lolos karena memang kurang kualifikasi atau panitia yang salah karena punya ekspektasi terlampau tinggi?
Perencanaan tidak salah karena ada uji terlebih dahulu. Penulis lebih setuju peserta yang salah.
Unek-Unek dan Opsi-Opsi
Sebaiknya panitia jangan terlampau panik dengan petisi online yang dilontarkan oleh kaum mayoritas yang tengah berputus asa. Jika harus mengorbankan sistem dan aturan yang ada, mau dikemakan rasa percaya yang ada ini? Jangan sampai segala sesuatu bisa direlatifkan. Jangan sampai panitia kompromi dengan kaum pecundang!
Mengapa tidak diawal ributnya, mengapa baru sekarang? Seharusnya kebijakan yang dibuat dari awal (ambang batas) boleh diperdebatkan. Sekarang hasil sudah diketahui apakah etis untuk merubah-rubah semau perut?
Ayolah tes yang fair, sportifitas harus dijunjung tinggi. Kalau dibilang begini nanti menyerang balik dengan bilang bahwa "Peserta yang sudah lulus PG takut!" Ya memang posisi peserta lulusan PG ini terancam. "Peserta yang lulus PG egois!" Ya peserta lulusan PG ini hanya melindungi haknya, apakah hak mereka tidak perlu didengar? Salah anda sendiri mengapa anda tidak lulus?
Mayoritas yang tidak lulus tidak memiliki hak untuk merubah sistem yang sedang berlaku apalagi itu sesuai standar. Kecuali merubah sistem rekrutmen CPNS untuk periode yang akan datang.
Opsi dari penulis, sebaiknya peserta yang telah lulus diumumkan terlebih dahulu (dipisahkan) jika mau mengeluarkan kebijakan menghapus PG atau perankingan. Yang lulus berkompetisi dengan yang lulus, yang tidak lulus berkompetisi dengan yang tidak lulus. Ini opsi paling kompromi!
Opsi lain ya para pelamar yang udah gagal mencoba kembali pada CPNS yang akan datang tentunya dengan PG yang lebih rendah. mau menurunkan TWK, TIU atau TKP ya tinggal panitia yang mengkaji dengan benar  (mungkin nanti gagal lalu protes lagi). Jangan bekspektasi terlampau tinggi dan ujung-ujungnya main ubah-ubah aturan semau hati.
Sebaliknya yang sekarang ditangani dahulu, baru kemudian yang sudah-sudah dipikirkan baiknya bagaimana. Mengadakan tes ulang? Dengan skor ambang batas yang dikurangi, mengapa tidak?
Jangan sampai apa yang terjadi ini sebanyaknya menjadi bumerang bagi Pemerintah. Karena memasuki tahun politik, apapun dapat digoreng oleh oposisi dengan racikan bumbu yang harum!
Para pecundang memang suka mengeluh, gagal lalu protes. Begini calon ASN kita? Preeeeettttt....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H