Mohon tunggu...
Hendy Adinata
Hendy Adinata Mohon Tunggu... Freelancer - Sukanya makan sea food

Badai memang menyukai negeri di mana orang menabur angin | Email: hendychewadinata@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pembagian "Takjil" yang Katanya "Mengganggu Ketertiban Umum"

15 Juni 2018   10:48 Diperbarui: 15 Juni 2018   11:08 599
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Happy Eid Mubarak for all Muslim

Let us forget our mistake in the past with all the forgiveness and may God gives us abundantly of happiness and prosperity ahead. God bless all.

Pontianak.

Sore hari yang lalu, di beberapa perempatan tampak sekelompok anak muda sedang membagikan takjil kepada setiap pengendara sepeda motor dan mobil. Cuaca memang kurang baik saat itu karena hujan dan seperti yang terlihat, mereka basah luar dalam namun tetap membagikan box mika yang tidak seberapa besarnya kepada setiap pengendara. 

Memang ada penolakan dari beberapa pengendara di persimpangan di mana rekan-rekan Muslim tidak berada di sana. Apakah karena yang membagi takjil itu bermata sipit? Ah, tapi banyak juga yang berterima kasih usai menerima wujud kasih yang sederhana ini.

Dokpri
Dokpri
Foto di atas adalah dokumentasi dari Gerakan Solidaritas Mahasiswa Lintas Agama Berbagi Takjil. Aksi ini dibentuk dalam rangka menyikapi isu-isu yang mengancam kehidupan bertoleransi antar umat beragama di Indonesia. 

Seperti yang baru-baru ini terjadi, kasus Bom Surabaya dan beberapa aksi teror yang menyusul setelahnya membuat orang-orang trauma dan menjadi paranoid kepada satu golongan tertentu. Hal ini tentu tidak baik bagi kehidupan bersama, tidak sedikit orang awam yang saling mencurigai lebih parahnya lagi menjadi membenci. Maklum mereka awam.

Koordinator gerakan ini, F menceritakan bahwa gerakan berbagi takjil ini sempat terancam batal dikarenakan masalah perizinan. F membagikan pengalamannya kepada tim, "Tuhan coba menguji dikit. Ketika sampai di kantor Polresta, Saya lapor ke Polisi yang piket depan gerbang, lalu dari Polisi tersebut respon tidak ramah dan memaparkan kepada Saya bahwa untuk kegiatan seperti ini harus urus ijin ini dan itu. Lalu Saya masuk ke kantor intel dan kasi surat, mereka ok dan tidak ada masalah."

"Di kantor Satpol PP, Saya masuk dan bertemu sekretaris. Dari beliau tidak berikan ijin, Saya coba nego lagi, dia bingung, dan agak ragu. Lalu Saya diarahkan ke kabid tapi sayang kabid lagi tidak ada. Saya bertemu Bang B, seorang idealis yang harus menekan keidealisannya karna pekerjaan. Kami diskusi dan beliau banyak menolong Saya, beliau menjelaskan tentang Perda, tapi tidak ada Perda yang secara jelas mengatur tentang bagi takjil. 

Jadi beliau bingung dan kami bersama-sama menghadap sekretaris lagi dan beliau coba bicara sama ibu tersebut bahwa di Perda tidak ada larangan bagi takjil, ibu sekretaris cukup pintar, 'tapi kan ada Perda tentang mengganggu ketertiban umum'. 

Bang B kalah debat (argumen), dan Saya direkomendasikan untuk menghadap Walikota saja langsung. Tapi beliau tidak berani lancang sehingga kami menghadap sekretaris lagi dan minta ijin boleh tidak menghadap Walikota langsung. Tapi ibu sekretaris tak ijinkan. 

Akhirnya kami dengan pasrah dan sedih kembali ke ruang kerja Bang B dan berdiskusi bersama tentang takjil ini. Dan muncullah pilihan dan saran dari beliau. 'Kalau kitak (kalian) berani lanjut yak, ndak ada sangsi si untuk kitak. Paling dibubarkan jak. Dan kami ndak ada jadwal patroli sore, jadi ndak bakal ketemu kitak'. Dan Saya meninggalkan ruang kerja Bang B seorang staf biasa dengan pesan dari beliau "Sukses ya, mahasiswa harus berani."

Aksi sudah selesai, waktunya evaluasi. Kita semua tahu bahwa dalam urusan seperti ini, ijin dari pejabat berwenang merupakan syarat penting, ibaratnya Kartu AS dalam bermain kartu. Aspek legalitas harus terpenuhi karena negara kita negara hukum, tidak bisa main asal mau langsung gelar.

Namun kenyataan di lapangan dalam pengurusan legalitas banyak yang merasa dan memang terjadi 'menjadi bola pingpong yang dipukul ke sana ke mari' tanpa kejelasan dan ujung-ujungnya orang enggan datang lagi dan memilih menggunakan jasa pihak ketiga. Tidak sedikit juga yang batal dan atau mereka nekat menjalankan walau terancam. 

Stigma 'urus sesuatu di kantor pemerintahan itu suka dipersulit dan diperbelit' memang masih banyak dijumpai, dari kepengurusan KTP atau sertifikat tanah  yang tidak selesai-selesai di BPN sampai pada skripsi yang mandek gara-gara dosen minta ini itu. Pasrah kah kitq dengan keadaan demikian?

Apabila memperhatikan Buku Ketiga KUHP, khususnya Bab I dan Bab II. Pengertian 'mengganggu ketertiban umum' tidaklah langsung mengena pada hal keamanan negara atau tindakan alat-alat negara, tidak langsung juga mengenai tubuh atau barang milik orang tertentu (membunuh, mencuri, menipu, merusak, dsb) melainkan suatu tindakan yang sifatnya berbahaya yang dapat mengganggu tata tertib/ kehidupan masyarakat. Terang bahwa yang dipermasalahkan adalah dampaknya.

Prof. D. Simons menggunakan istilah 'kejahatan terhadap  ketertiban umum' mengatakan bahwa yang dimaksud dengan 'kejahatan ketertiban umum' memiliki sifat yang kurang jelas (vaag) yaitu dapat diartikan lebih luas dari arti sebenarnya. 

Perlu dipahami bahwa ketika suatu hukum dibuat dan disahkan, sebenarnya hukum itu sendiri telah tertinggal dari keadaan yang datang setelahnya, maka pembentuk undang-undang kita hanya menyebutkan sejumlah/ sekumpulan perilaku orang yang kemungkinan besar pasti menimbulkan bahaya bagi orang lain (kalau tidak berbahaya ya mengganggu), hal yang mengganggu misalnya saja berkendara sambil mabuk, ribut/ buat gaduh di malam hari/ di sekitaran rumah tempat ibadah, pakai seragam dinas Polri/ TNI/ pejabat tertentu padahal dirinya sendiri bukan siapa-siapa, menggelandang/ mengemis, jualan di trotoar, dsb.

Meski membagikan takjil tidak pernah diatur dalam Perda dan menurut hemat penulis sendiri memang tidak perlu karena jika semua hal kecil-kecil ada aturannya, niscaya pasti sangat melelahkan ya menjadi seorang manusia, ini itu dikendalikan. 

Yang dipermasalahkan adalah dampaknya dan ini bisa dikoordinasikan. Bukan hukum dibuat untuk manusia justru sebaliknya. Apabila ada aturannya, itu hanya menandakan bahwa anggota dewan tersebut kurang kerjaan, takjil saja diurusi padahal banyak hal baru lain yang lebih urgent.

Sebagai saran, Penulis menganjurkan jika ingin membuat aksi berbagi takjil/ bagi sembako mungkin boleh pertimbangkan lokasi penyelenggaraannya. Cari lokasi yang besar, tidak lucu apabila acara ini menghambat arus lalu lintas, terjadi kecelakaan atau di terjadi saling tijak (seperti di tv), hal ekstrem lainnya ada korban jiwa, karena nanti ketua penyelenggara harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi, hal buruk itu yang tidak kita inginkan. Laporkan berapa anggota yang berpartisipasi, teknis yang terstruktur, aparat yang ikut, deb. Karena keseringan orang-orang ingin aksinya dilihat dikeramaian (cari nama/ mau terkenal).

Tapi penulis mau mengerti bahwa keterbatasan dana, anggota, bahkan memikirkan orang sampai rela ke lapangan hanya untuk sekedar ambil takjil (2 kue, 3 kurma dan air mineral gelas) itu tidak mungkin. Jadilah aksi ini sederhana saja, bagikan takjil kepada siapapun yang ada di jalan, toh jalanan macet, orang singgah beli juga malas. Dan lebih penting pesan tersampaikan (ya kalau sampai). Mudah-mudahan sampai pesan damainya.

Sebagai penutup, nilai yang benar kadang harus kalah dengan kondisi dan rasa aman, penerapan nilai yang benar sering kali juga caranya tidak cocok. Tidak ada yang benar-benar salah dalam persoalan ini, masalahnya hanya satu 'komunikasi dan pengertian'. Semua bisa dikoordinasi kalau ada kerendahan hati, mau di lapangan atau jalanan. 

Apalagi dalil penolakan sepihak hanya dibangun atas dasar asumsi/ dugaan-dugaan tentang dampak buruk yang sebenarnya dilebih-lebihkan. Perlu penegasan bahwa pelanggaran tentu saja bukan kejahatan (menyampaikan rasa benci, menghina negara, suku bangsa tertentu, dsb yang memang harus diperangi). Janganka bagi takjil, bagi uang di jalanan pun bisa berujung pelanggaran.

Anak muda harus berani lah, masak ndak. Apalagi mahasiswa.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun