Akhirnya kami dengan pasrah dan sedih kembali ke ruang kerja Bang B dan berdiskusi bersama tentang takjil ini. Dan muncullah pilihan dan saran dari beliau. 'Kalau kitak (kalian) berani lanjut yak, ndak ada sangsi si untuk kitak. Paling dibubarkan jak. Dan kami ndak ada jadwal patroli sore, jadi ndak bakal ketemu kitak'. Dan Saya meninggalkan ruang kerja Bang B seorang staf biasa dengan pesan dari beliau "Sukses ya, mahasiswa harus berani."
Aksi sudah selesai, waktunya evaluasi. Kita semua tahu bahwa dalam urusan seperti ini, ijin dari pejabat berwenang merupakan syarat penting, ibaratnya Kartu AS dalam bermain kartu. Aspek legalitas harus terpenuhi karena negara kita negara hukum, tidak bisa main asal mau langsung gelar.
Namun kenyataan di lapangan dalam pengurusan legalitas banyak yang merasa dan memang terjadi 'menjadi bola pingpong yang dipukul ke sana ke mari' tanpa kejelasan dan ujung-ujungnya orang enggan datang lagi dan memilih menggunakan jasa pihak ketiga. Tidak sedikit juga yang batal dan atau mereka nekat menjalankan walau terancam.Â
Stigma 'urus sesuatu di kantor pemerintahan itu suka dipersulit dan diperbelit' memang masih banyak dijumpai, dari kepengurusan KTP atau sertifikat tanah  yang tidak selesai-selesai di BPN sampai pada skripsi yang mandek gara-gara dosen minta ini itu. Pasrah kah kitq dengan keadaan demikian?
Apabila memperhatikan Buku Ketiga KUHP, khususnya Bab I dan Bab II. Pengertian 'mengganggu ketertiban umum' tidaklah langsung mengena pada hal keamanan negara atau tindakan alat-alat negara, tidak langsung juga mengenai tubuh atau barang milik orang tertentu (membunuh, mencuri, menipu, merusak, dsb) melainkan suatu tindakan yang sifatnya berbahaya yang dapat mengganggu tata tertib/ kehidupan masyarakat. Terang bahwa yang dipermasalahkan adalah dampaknya.
Prof. D. Simons menggunakan istilah 'kejahatan terhadap  ketertiban umum' mengatakan bahwa yang dimaksud dengan 'kejahatan ketertiban umum' memiliki sifat yang kurang jelas (vaag) yaitu dapat diartikan lebih luas dari arti sebenarnya.Â
Perlu dipahami bahwa ketika suatu hukum dibuat dan disahkan, sebenarnya hukum itu sendiri telah tertinggal dari keadaan yang datang setelahnya, maka pembentuk undang-undang kita hanya menyebutkan sejumlah/ sekumpulan perilaku orang yang kemungkinan besar pasti menimbulkan bahaya bagi orang lain (kalau tidak berbahaya ya mengganggu), hal yang mengganggu misalnya saja berkendara sambil mabuk, ribut/ buat gaduh di malam hari/ di sekitaran rumah tempat ibadah, pakai seragam dinas Polri/ TNI/ pejabat tertentu padahal dirinya sendiri bukan siapa-siapa, menggelandang/ mengemis, jualan di trotoar, dsb.
Meski membagikan takjil tidak pernah diatur dalam Perda dan menurut hemat penulis sendiri memang tidak perlu karena jika semua hal kecil-kecil ada aturannya, niscaya pasti sangat melelahkan ya menjadi seorang manusia, ini itu dikendalikan.Â
Yang dipermasalahkan adalah dampaknya dan ini bisa dikoordinasikan. Bukan hukum dibuat untuk manusia justru sebaliknya. Apabila ada aturannya, itu hanya menandakan bahwa anggota dewan tersebut kurang kerjaan, takjil saja diurusi padahal banyak hal baru lain yang lebih urgent.
Sebagai saran, Penulis menganjurkan jika ingin membuat aksi berbagi takjil/ bagi sembako mungkin boleh pertimbangkan lokasi penyelenggaraannya. Cari lokasi yang besar, tidak lucu apabila acara ini menghambat arus lalu lintas, terjadi kecelakaan atau di terjadi saling tijak (seperti di tv), hal ekstrem lainnya ada korban jiwa, karena nanti ketua penyelenggara harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi, hal buruk itu yang tidak kita inginkan. Laporkan berapa anggota yang berpartisipasi, teknis yang terstruktur, aparat yang ikut, deb. Karena keseringan orang-orang ingin aksinya dilihat dikeramaian (cari nama/ mau terkenal).
Tapi penulis mau mengerti bahwa keterbatasan dana, anggota, bahkan memikirkan orang sampai rela ke lapangan hanya untuk sekedar ambil takjil (2 kue, 3 kurma dan air mineral gelas) itu tidak mungkin. Jadilah aksi ini sederhana saja, bagikan takjil kepada siapapun yang ada di jalan, toh jalanan macet, orang singgah beli juga malas. Dan lebih penting pesan tersampaikan (ya kalau sampai). Mudah-mudahan sampai pesan damainya.