Sebagai mahasiswa semester akhir, perpustakaan menjadi salah satu tempat yang paling sering dikunjungi oleh mahasiswa. Maklumlah, dikarenakan menyusun tugas akhir itu pasti membutuhkan banyak literatur. Di samping kebutuhan akan literatur, perpustakaan menjadi pilihan dikarenakan suasananya yang nyaman. Sebut saja, udara yang sejuk (nggak keringatan), wangi (apalagi kalau yang duduk disebelahnya udah cantik terus wangi, prikitiew), ada minuman gratis, ada wi-fi gratis (bisa browsing cari data), mau duduk dari pagi sampai malam juga ga ada yang ributin. Secara sederhana perpustakaan dapat didefinisikan sebagai tempat yang menyediakan banyak koleksi buku/ bacaan (informasi).
Bagi mahasiswa rantau yang perekonomiannya pas-pas’an, membeli buku merupakan pilihan yang tidak menyenangkan. Membeli buku sebagai tugas dari dosen di toko sekitar kampus saja sudah terasa bagai kutukan, apalagi bila harus membeli buku di toko online (bukunya nggak ada yang jual di kota) yang harga pengiriman bukunya saja sudah mencapai setengah harga buku (apalagi kalau harus beli 3-4 buku?). Belum lagi harus berhadapan dengan penyakit kanker (kantong kering) menjelang pertengahan hingga akhir bulan. Mahasiswa pun mengalami krisis kepercayaan diri, tubuh kekurangan gizi akibat pilihan makanan yang seadanya. Kapan-kapan penulis akan menulis tentang bagaimana caranya mahasiswa berhemat…
Selain suasana di atas, perpustakaan juga dipilih karena suasananya yang tenang, tidak ribut/ berisik, sehingga kegiatan membaca atau mengerjakan tugas yang memerlukan konsentrasi tinggi pun dapat berjalan dengan menyenangkan. Dengan kondisi demikian, makin jadilah mahasiswa tersebut datang ke perpustakaan. Karena di kos juga nggak ada buat, mending ke perpustakaan baca buku, wi-fi’an gratis, kerjain tugas akhir, dsb, nyaman.
***
Suasana nyaman seperti di atas kadang tidak terjadi di semua perpustakaan. Kurangnya literatur, tidak bekerjanya sistem pendingin udara (padahal sudah ada AC, mungkin AC hanya jadi pajangan), udara yang pengap dikarenakan tidak ada fentilasi, bau cat dinding yang menyengat, penerangan yang buruk, ditambah dengan ketidakcerdasan para pengunjungnya dalam bersikap di tempat umum, menjadikan perpustakaan tertentu hanya menjadi hujatan dan dibanding-bandingkan dengan perpustakaan lainnya.
Umumnya kita akan memaklumi semua kekurangan yang ada dari perpustakaan itu, mungkin saja perpustakaan itu memang mengalami keterbatasan biaya untuk menambah/ memperbaiki fasilitas di dalamnya, merawat gedung dan menambah koleksi. Hal itu lumrah saja karena memang biaya untuk mewujudkan perpustakaan yang baik tidaklah murah, toh para pengunjung juga bisa pergi ke perpustakaan yang lain yang lebih lengkap koleksinya dan lebih nyaman suasananya.
Satu masalah pun terselesaikan, literatur yang dicari akhirnya berhasil didapatkan. Akan tetapi, percaya atau tidak percaya, ke mana pun para pengunjung perpustakaan pergi, di situ pasti ditemukan sekelompok alien. Pengunjung liar ini kasarnya “tidak tahu diri,” tidak tahu membedakan mana tempat umum dan mana pasar/ warung kopi/ tempat sejenis.
Penulis menggunakan istilah “orang pasar” karena istilah itu memang paling cocok diperuntukkan bagi orang jenis ini (bukan berarti orang yang tinggal di pasar itu buruk, pembaca jangan salah sangka). Keributan yang ditimbulkan oleh orang pasar ini sangat tidak menyenangkan, menghilangkan/ membuyarkan konsentrasi pengunjung lainnya yang sedang membaca atau mengerjakan tugas.
Sejujurnya aktivitas yang dilakukan juga sangat menggangu dengan seringnya jalan-jalan ke sana ke mari, teriak, ngobrol tentang apapun yang mereka suka, ada yang curhat-curhatan sampai nangis (jadi melow ketika mendengar tarikan ingusnya), ada yang berdagang MLM, ada yang lagi prospek asuransi, ada yang lagi rapat, bahkan stand’up comedy di satu sudut ruangan! Ha ho ha ho
Secara sederhana, pasar dapat didefinisikan sebagai tempat bertemunya penjual dan pembeli, di mana proses transaksi jual-beli dilakukan. Ketika berbicara tentang pasar, secara otomatis kita akan berpikir sebuah tempat dimana kebutuhan bahan pokok dijual, bau macam-macam, becek, rame, berdesak-desakan, suara teriak-teriak, dsb, ini adalah kesan sebagian besar orang termasuk penulis terhadap pasar tradisional. Pasar aja begitu, bagaimana dengan orang-orangnya? Kebetulan penulis tinggal di dekat pasar.
Bukan penulis iri melihat bakat-bakat orang pasar ini, namun penulis sangat miris ketika aturan sudah terpampang rapi di dinding “DI LARANG RIBUT!” masih saja orang-orang pasar ini membawa budaya ributnya ke dalam perpustakaan.