sumber gambar: gusdurian.net
Presiden V. Megawati S.P. menulis buku yang berjudul "Pikiran-pikiran Pokok Megawati Soekarnoputri"
sumber gambar: bukubukubekas.wordpress.com
Presiden VI. Susilo Bambang Yudhoyono menulis buku "Selalu Ada Pilihan"
sumber gambar: kompas.com
Ini mengindikasikan bahwa setiap presiden R.I memiliki perhatian khusus pada buku sampai-sampai mereka berhasrat menerbitkan buku yang ditulis oleh mereka. Sehingga jelas, bahwa penulis yang tertera di buku tersebut buka orang lain melainkan nama para presiden di masing-masing bukunya. Hanya saja yang patut dicermati, apakah memang benar buku-buku yang mereka tulis, merupakan hasil kerja kerasa jemari mereka sendiri, ataukah menggunakan orang lain sebagai medium untuk menuliskan buku para presiden ini? ---------------------------------------------------------- Rasa-rasanya jika seseorang sudah menulis dan berhasil membandulnya dalam wujud buku, maka ada kehormatan yang tertancap dan pengakuan yang muncul baik dari diri si penulis maupun dari masyarakat. Apalagi yang ditulis dapat menciptakan situasi kotemplatif, reflektif dan solutif, akan mengundang banyak simpatik bagi penulis. Rasa inilah yang biasanya menjadi tujuan akhir aktualisasi diri dari proses menulis. Banyak tokoh-tokoh nasional yang notabene telah memiliki jabatan, tahta dan harta, juga memiliki hasrat aktualisasi diri dengan menerbitkan buku memoar mereka. Berbeda dengan penulis profesional pada umumnya yang menjadikan dunia kepenulisan menjadi ladang komersil, orang-orang yang berstatus popular ini, ingin melegitimasi sifat 'keakuan' dalam manifestasi buku. Hal ini sejalan dengan teori kebutuhan (needs) Maslow yang menyatakan bahwa aktualisasi diri adalah kebutuhan puncak dan akhir dari proses kehidupan. Ketika kebutuhan fisiologi, rasa aman, rasa cinta dan penghhormatan sudah tercapai, maka aktualisasi diri menjadi kebutuhan puncak seseorang. Salah satu bentuk aktualisasi seseorang ialah membuat buku memoar. Ini yang dilakukan oleh semua presiden Republik Indonesia. Mereka mengaktualisasikan diri melalui proses menulis. Jika melihat status tokoh-tokoh ini, profit oriented bukan menjadi tujuan utama. Kebutuhan aktualisasi diri mengalahkan tujuan-tujuan yang lainnya. Di sisi lain, dengan kebesaran dan popularitas tokoh-tokoh ini, sudah barang tentu, buku ini akan dikonsumsi banyak orang. Hanya saja yang perlu dianalisis, benarkah buku yang mereka terbitkan adalah buah karya mereka sendiri atau mereka memakai jasa orang lain sebagai medium untuk menuliskan kisah dan pemikiran mereka menjadi buku? Istilah medium dalam hal ini sering disebut dengan penulis hantu (the ghost writer). Pada dasarnya orang-orang populis yang ingin menerbitkan buku sering menggunakan jasa penulis hantu sebagai penulis asli buku mereka. Dalam novel berjudul The Ghost Writer yang ditulis oleh Robert Harris menceritakan bagaimana Si-aku dalam novel menjadi tokoh yang berperan sebagai penulis buku memoar dari mantan perdana menteri Inggris, Adam Lang. Dalam buku tersebut dijelaskan tahapan-tahapan kerja seorang penulis hantu hingga buku yang ditulis selesai. Seperti namanya penulis hantu, identitas mereka biasanya off the record. Bahkan nama mereka tidak tercantum di lembaran-lembaran buku yang mereka tulis sendiri. Ini seperti telah menjadi budaya dan kode etik seorang penulis hantu. Mereka akan bekerja sesuai kontrak yang ditentukan dan akan menerima honor sesuai dengan kesepakatan. Penulis hantu dalam novel Robert Harris, selain aktif mendengarkan si tokoh mengutarakan kisah dan pemikiran yang akan ditulis. Penulis hantu juga perlu melakukan beberapa riset mendukung tulisannya agar lebih terlihat intelek dan merepresentasikan eksistensi si tokoh. Hanya saja, yang mesti ditinjau ulang dari upaya menggunakan jasa penulis hantu sebagai medium si tokoh, adalah filosofih dari proses menulis itu sendiri. Kita pastilah pernah melihat tulisan yang dibuat oleh seorang anak-anak yang sedang belajar menulis. Meskipun setiap huruf yang mereka buat menjadi kata, masih belum memuaskan, namun ada nilai-nilai kepolosan dari kata yang mereka tulis. Tulisan, bukan saja perwakilan ide dan pemikiran si penulis. Lebih dari itu, tulisan adalah perwakilan rasa dan psikis. Dengan membaca sebuah tulisan kita dapat mengetahui perasaan si penulis dan memahami psikis penulis saat itu. Dengan menggunakan jasa penulis hantu dalam proses penulisan, itu artinya buku tersebut tidak mewakili perasaan dan psikis si tokoh, meskipun tertulis di buku tersebut bahwa penulisnya adalah si tokoh itu. Justru perasaan dan psikis yang bisa dirasakan oleh pembaca adalah perasaan dan psikis penulis asli yaitu, penulis hantu. Seorang tokoh yang ingin membuat buku memoar ataupun rangkuman pemikirannya dalam untaian tulisan dengan menggunakan jasa penulis hantu akan menghilangkan sifat eksistensialisme si tokoh tersebut.Seberapapun kuat dan indahnya pemilihan kata-kata, toh tulisan itu bukan menjadi jiwa si tokoh melainkan si penulis hantu. Kondisi ini akan contradictio in terminis dengan teori kebutuhan Maslow tentang aktualisasi diri. Selain itu setiap kalimat yang tertuang di buku akan terikat dengan tendensi-tendensi, sehingga tulisan yang lahir tidak berdasarkan kebebasan (non-freedom text). Dengan demikian esensial dari sebuah karya sastra akan hilang. Dan semua penilaian itu, akan kembali ke pembaca, dengan beragam metode tafsir yang ada. Soekarno, Soeharto, B.J. Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati S.P., dan Susilo Bambang Yudhoyono, pernah menerbitkan buku mereka sendiri. Hanya saja perlu dipertanyakan, apakah buku yang mencantumkan nama penulisnya adalah mereka, benar-benar ditulis sendiri dengan tangan yang dulu pernah digunakan oleh mereka ketika belajar menulis sewaktu sekolah dulu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H