Dewasa ini keputusan untuk tidak memiliki seorang anak (childfree) kian berkembang ditengah-tengah masyarakat tidak hanya diluar negri tapi juga di Indonesia.Â
Fenomena ini sungguh menarik dan layak untuk diperdebatkan karena disatu sisi Selain tidak ada larangan untuk tidak ingin memiliki anak mereka juga tetap merasa bahagia bahkan awet muda. Namun, disisi lain ada yang berpendapat bahwa childfree merupakan generasi pendek akal (feminisme) dan menyalahi makna filosofis pernikahan.
Sebagai manusi yang merdeka pasti mempunyai pilihan hidupnya masing- masing dan kita sebagai manusia harus memahami setiap keputusan tersebut, bisa jadi keputusan yang di ambil karena faktor lingkungan, keadaan, dan sebagainya.
Dalam Al-Qur’an sendiri tidak ada larangan yang jelas begitu juga dengan Sunnah hanya saja di sana dijelaskan bahwa memiliki keturunan dalam Islam adalah sebuah anjuran bukanlah sebuah kewajiban, sehingga Childfree bukan merupakan suatu pilihan yang dilarang.
Akan tetapi, Kehadiran anak sebagai salah satu tujuan dari pernikahan dan bentuk kasih sayang dari Allah pada umat manusia, karena dengan hadirnya anak dalam sebuah pernikahan bisa menambahkan keharmonisan dalam berkeluarga yang tentunya dengan kesiapan orang tua secara jasmani dan rohani.
Meskipun agama tidak melarang keputusan tersebut begitu juga dengan Undang-Undang, bagi saya itu adalah keputusan yang tidak seharusnya diterapkan ketika sudah menikah terlebih kepada umat islam, mengapa demikian ya karena Nabi Muhammad menganjurkan bagi umat muslim untuk menikah dengan wanita yang subur dan memperbanyak keturunan. Selain itu, ada sabda Nabi Muhammad yang menerangkan tentang anak saleh merupakan investasi yang tak terputus meski orang tuanya meninggal. Tentu keutamaan ini tidak didapatkan oleh orang berkonsep childfree.
Kemudian upaya untuk memiliki keturunan juga menjadi sebuah ibadah. Dalam kitab ihya Ulumuddin bukunya imam Al-Ghazali disebutkan ada empat sisi. Pertama, mencari ridha Allah dengan menghasilkan keturunan. Kedua, mencari cinta Nabi saw dengan memperbanyak populasi manusia yang dibanggakan. Ketiga, berharap berkah dari do'a anak saleh setelah dirinya meninggal. Keempat, mengharap syafa'at sebab meninggalnya anak kecil yang mendahuluinya.
Oleh karena itu, bagi yang belum menikah dan sudah menikah, memutuskan untuk tidak ingin punya anak sebaiknya difikirkan dengan matang dan penuh kesadaran jangan sampai dikemudian hari menjadi penyesalan sebab sesal kemudian tak berguna. Dan saran saya sebaiknya keputusan ingin punya anak atau tidak diambil sebelum menikah jangan sampai memaksakan pilihan atau kehendak setelah menikah, sebab dapat menimbulkan pertikaian yang berujung pada perceraian.
Fenomena ini juga menarik perhatian publik  terutama akademisi seperti Rektor Universitas Darussalam Gontor, Prof Dr KH Hamid Fahmi Zarkasyi yang mengatakan "wacana childfree akhir-akhir ini merupakan produk feminisme. Ini adalah fenomena perempuan di barat yang tidak mau punya anak. Hal itu pun mereka anggap sebagai hal biasa."
Setelah ditelusuri lebih lanjut, para feminis ini menyimpang dari prinsip kedaulatan genital. Artinya, seorang perempuan berhak memutuskan apakah akan memiliki anak atau tidak, bukan suami atau keluarganya. Dalam konsepnya, pria dan wanita sejajar. Beginilah feminisme, atau masyarakat Barat pada umumnya, gagal menjelaskan konsep keluarga yang ideal.
Secara umum alasan untuk tidak memiliki anak adalah masalah Ekonomi atau finansial. Tentu saja, dalam sistem kapitalis, bahkan saat membesarkan anak, semuanya dihitung menurut kriteria material-untung dan rugi. Fenomena ini terjadi secara alami seperti halnya korupsi akibat sistem kapitalis, tidak memuaskan hati manusia, tidak selaras dengan alam, tidak menenangkan jiwa, maka cukup jelas bahwa salah satu yang melatar belakangi munculnya gerakan childfree adalah sistem kapitalisme.