Mohon tunggu...
hendro prayogo
hendro prayogo Mohon Tunggu... -

Petani bunga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kebijakan "Full Day School" Rasanya Sangat Cocok Diterapkan di Desa Kami

10 Agustus 2016   13:37 Diperbarui: 11 Agustus 2016   08:41 804
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Dokumen Pribadi

Beberapa hari yang lalu, saya dapat pesan Whatsapp bernada guyon dari seorang dari seorang teman, “bapakmu dadi mentri :p”. Awalnya saya tidak ngeh dengan maksud teman saya tersebut, tetapi setelah membuka Facebook, saya kemudian jadi senyum – senyum sendiri. Hehehe.. 

Di beranda penuh dengan ucapan selamat dari teman – teman mahasiswa dan dosen kepada mantan rektor kami, Bapak Muhajir Effendi atas terpilihnya beliau sebagai mentri pendidikan dan kebudayaan pemerintahan Jokowi – JK pada resuffle kabinet ke – 2 menggantikan Bapak Anies Baswedan. Tentu ada rasa kebanggaan tersendiri memiliki mantan rektor yang menjadi menteri. Bahkan, ketua prodi saya mengunggah foto lama beliau dengan Pak Muhajir sewaktu menjabat menjadi rektor, dan diberi caption, “foto bareng pak mentri”. Hahahaha.. :D

Akan tetapi, saya memilih untuk tidak memberikan selamat kepada Pak Muhajir seperti yang teman – teman saya lakukan di media sosial. Ngapunten nggih Pak. Alih – alih memberikan ucapan selamat, saya malah bersimpati. Tak terbayang bagaimana rasanya mengemban amanah yang begitu berat. Kalau dulu beliau punya anak asuh (mahasiswa) ribuan, sekarang harus ngemong jutaan pelajar di seluruh penjuru negeri. 

Apalagi, yang beliau gantikan adalah Pak Anies Baswedan, sosok yang menurut saya sudah jadi icon pendidikan di Indonesia, dengan salah satu karya yang cukup revolusioner, yakni Indonesia Mengajar, yang kemudian diadopsi oleh pemerintah menjadi program Sarjana Mendidik di Daerah Terpencil, Terluar, dan Tertinggal disingkat SM3T (mohon dikoreksi kalau salah). 

Dan benar saja, baru beberapa pekan menjabat, beliau sudah mendapat satu ucapan selamat datang dari para “kritikus” dan “pakar” multidisipliner di dunia sosmed terkait wacana beliau untuk menerapkan fullday school pada jenjang SD – SMP dan sederajat.

Selain di media sosial berbasis internet, media televisi juga tak kalah gencar menayangkan berita terkait wacana tersebut. Salah satunya adalah NET. TV dalam NET16 yang mewawancarai salah satu kepala sekolah di Jogja yang menyatakan ketidaksetujuannya, dengan alasan lingkungan masyarakat di Jogja tidak cocok dengan kebijakan fullday school karena selepas sekolah anak – anak biasanya bersosialisasi dengan keluarga dan masyarakat sekitar. 

Kepala Tersebut menghimbau kepada pemerintah untuk mengkaji lagi wacana kebijakan tersebut karena setiap daerah memiliki adat dan kebiasaan masing – masing. Hal senada juga disampaikan oleh seorang wali murid yang keberatan karena anaknya harus mengikuti pelajaran mengaji di madrasah diniyah pada sore hari. 

Pada segmen selanjutnya, reporter mewawancara Pak Muhajir terkait masyarakat yang mengkhawatirkan durasi sekolah yang panjang akan menjadi beban pada anak. Menanggapi pertanyaan tersebut, beliau mengatakan kalau jam tambahan tersebut bersifat co – kurikuler. Artinya, bukan tambahan mata pelajaran, tetapi lebih kepada kegiatan – kegiatan yang bermanfaat yang dapat membangun karakter positif anak.

Di daerah saya sendiri, pelajar SMP – SMP, kecuali kelas 3 yang ada pelajaran tambahan, pulang sekolah jam 1 siang. Setelah itu kebanyakan dari mereka melakukan kegiatan yang, menurut saya kurang mendidik, seperti berikut ini:

  • Cari ikan hias yang lepas dari kolam peternak, padahal gak punya aquaruim. Ujung – ujungnya ikan tersebut mati tragis di dalam toples beberapa hari kemudian.
  • Memasang jebakan burung, lalu ditempatkan di dalam kurungan. Bayangkan saja, burung yang biasanya terbang bebas di langit luas dikurung dalam kotak yang luasnya gak ada satu meter persegi.
  • Maen sepakbola di lapangan. Gak ada wasit. Gak pakek sepatu. Tak jarang ada yang cedera bahkan sampek tawuran.

Mirisnya lagi, saya pernah mendapati beberapa anak yang merokok di tempat – tempat sepi.

Saya kemudian berangan – angan, bagaimana jika anak – anak tersebut pulang sekolah jam 11 siang, lalu makan dan mandi di sekolah. Setelah itu, tetap bermain seperti sebelumnya, tapi dibimbing dan diawasi oleh seorang guru atau pendamping. Tak perlu lah kegiatan – kegiatan ekstra kurikuler yang serius, menguras kinerja otot dan otak. Tetapi, kegiatan refreshing yang sifatnya mendidik. 

Kalau ke sungai, ya kita berikan informasi terkait manfaat sungai untuk kehidupan mereka sehari – hari, apa saja makhluk hidup yang ada dalam ekosistem sungai, dan bagaimana cara menjaga sungai agar tidak tercemar. Kalau bermain bola, ya kita bimbing mereka untuk melakukan pemanasan, mengenakan peralatan yang safety, dan mengajarkan bermain secara fairplay. Setelah asyik bermain, mereka mandi lagi, dan dilanjutkan dengan kegiatan mengaji di sekolah sampai maghrib.

Menyenangkan bukan? :)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun