Praktik agribisnis semacam ini pernah terjadi di Afrika. Produksi komoditas ekspor dilakukan secara besar-besaran di 1970-an. Hal ini mengakibatkan, pada 1984, 140 juta dari 531 juta masyarakat Afrika terpaksa mengonsumsi makanan yang diimpor. Keterbatasan sumber daya makanan yang justru dikonversi menjadi komoditas ekspor tidak hanya menganggu budidaya makanan, tetapi juga menyebabkan sejumlah instabilitas ekologis. Sementara itu, di Indonesia, praktik keliru agribisnis pernah terjadi pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pada saat itu, revolusi biologis dilakukan melalui pemanfaatan pohon atau benih "super", khususnya untuk komoditas padi, yang kemudian disebut "Padi Supertoy HL2". Inovasi ini sejatinya hanya bentuk kreasi bioteknologi yang berorientasi pada keuntungan. Pada akhirnya, praktik ini hanya membentuk reduksionisme alam yang berimplikasi nyata pada kerusakan biodiversitas dan keberlanjutan alam.
Dampak Mengerikan pada Perempuan
Selain krisis air yang berkorelasi dengan kegagalan pemenuhan kebutuhan utama, perspektif keliru agribisnis melalui pemakaian pestisida berlebih memberi risiko tersendiri bagi kaum perempuan. Ketimbang laki-laki, perempuan lebih rentan terkena risiko ini, terlebih perempuan yang relatif muda dan/atau perempuan yang sering beraktivitas dalam ruangan. Ada indikasi bahwa orang-orang yang sering berhubungan langsung dengan zat toksik pestisida bersangkutan akan memiliki kekebalan terhadap pestisida tersebut, seperti yang dibuktikan pada beberapa laki-laki. Prinsip ini mirip dengan penanganan pasien alergi dengan penyuntikan alergen.
Dampak yang dihasilkan dari penggunaan pestisida tidak bertanggung jawab sangat kompleks dan mengerikan. Sebagai contoh, di 1920-an, sejumlah perempuan yang sedang melukis pada jam tangan terpapar radium dari suatu jenis pestisida karena sentuhan kuas dengan bibir mereka. Beberapa dari perempuan tersebut menderita kanker tulang setelah 15 tahun. Suatu riset bahkan membuktikan ada keterkaitan paparan pestisida dengan kejadian menopause dini pada petani perempuan.
Subjugasi Perempuan dan Budaya Patriarki
Berbagai dampak mengerikan yang terjadi pada perempuan menunjukkan signifikannya subjugasi terhadap kaum perempuan. Perempuan diperlakukan sebagai objek yang lemah dan tidak berdaya dalam entitas alam yang luas ini. Pola pikir ini telah membudaya dalam perspektif masyarakat, sehingga telah membentuk struktur sosial yang kuat. Berbagai praktik perusakan lingkungan dijadikan metafora penindasan terhadap perempuan. Alam adalah entitas bebas, bebas untuk dieksploitasi, seperti layaknya tubuh perempuan. Sementara, laki-laki adalah yang unggul dan kuat, sebagai penguasa alam yang tunggal. Inilah dasar pemikiran budaya patriarki. Logika "phallus" yang berarti alat kelamin laki-laki menguraikan antroposentrisme dengan pendekatan laki-laki sebagai penguasa. Logika ini menjelaskan dominasi laki-laki dalam proses kerja persetubuhan yang ditandai dengan penetrasi alat kelamin. Dominasi ini adalah penyebab esensial kerusakan alam.
Secara praktis, kerja alam dan perempuan dalam konservasi air tidak diterima dalam paradigma maskulinisme. Dalam paradigma ini, manajemen sumber daya air telah berganti menjadi kontrol melalui privatisasi dan eksploitasi dengan tanaman bernilai jual tinggi. Model kecacatan pembangunan menyampingkan peran perempuan sebagai pusat dalam rantai produksi makanan yang berkelanjutan. Contoh yang paling nyata adalah perubahan pola ekploitasi air tanah. Sekitar 20% air tanah dunia faktanya telah dieksploitasi berlebihan. Perempuan sebagai penyedia air dari bendungan atau tank diganti oleh laki-laki dengan pompa listrik untuk keperluan irigasi yang kemudian diganti oleh pemerintah dengan mesin-mesin trasnportasi seperti kereta dan tanker.
Ekofeminisme sebagai Penegasan Kekuatan Perempuan
Ekofeminisme hadir menjawab perselisihan terkait subjugasi perempuan dan budaya patriarki. Secara esensial, perempuan sesungguhnya lebih "kuat" ketimbang laki-laki. Kontribusi perempuan dalam mengandung, melahirkan, dan membesarkan anak tentu menjadi tanggung jawab paling besar dari tugas atau pekerjaan lainnya di dunia. Sensibilitas perempuan dianggap sebagai kekuatan sejati manusia sekaligus modal berharga dalam konteks perawatan alam. Sensibilitas menjadi cara pandang perempuan terhadap alam dan dirinya sendiri.Â
Gerakan "Chipko" menjadi contoh yang menarik terkait kepedulian perempuan pada alam sebagai bagian dari entitas dirinya. Gerakan ini diinisiasi pada September 1986 untuk menolak operasi pertambahan di Nahi-Barkot (India). Shiva menegaskan bahwa sebuah investasi tidak layak disebut investasi ketika merusak lingkungan. Dalam gerakan ini, beberapa perempuan mengelilingi pohon yang akan ditebang. Mereka melihat pohon sebagai bagian dari dirinya, sehingga ada percikan Tuhan yang sakral dalam entitas pohon. Rasa takut dan hormat pada pohon ini menjadi contoh pemikiran mitis yang sebenarnya memiliki dampak pragmatis yang positif.
Ekofeminisme menghadirkan perempuan sebagai kesetaraan dengan laki-laki. Dengan kata lain, perempuan hadir bukan untuk mematahkan dominasi laki-laki, tetapi menyeimbangkannya. Ibarat pepatah "di balik laki-laki hebat ada perempuan tangguh", perempuan berperan sebagai penyeimbang.Â