Saya pikir tren tentang politik Dinasti sudah merebak dari jaman dulu. Dari jaman kerajaan sampai sekarang. Mungkin sekarang ini baru gencar-gencarnya karena Gibran bin Jokowi diusung oleh PDIP sebagai calon wali kota Solo. Tapi sebelum itu bukankah sudah ada AHY dan Dinasti Ratu Atut?
Saat pertama kali mendengar kata Dinasti, pikiran melayang ke arah beberapa abad silam. Dimana kata Dinasti biasa digunakan oleh para raja dalam sistem pemerintahan monarkhi absolut. Dalam kamus besar Bahasa indonesia (KBBI) kata Dinasti berarti sekumpulan raja-raja yang memerintah yang berasal dari satu keturunan. Kita bisa melihat dalam kekuasaan Islam, ada Dinasti Bani Umayah, Dinasti bani Abbasiyah, Dinasti Idrisiyyah dan sebagainya. Kemudian di Cina, ada juga Dinasti Shang, Dinasti Zou, Dinasti Han dan sebagainya.
Sebelum saya lanjutkan tulisan saya, ada beberapa pertanyaan yang ingin saya lontarkan. Apakah salah jika seorang politisi anaknya juga jadi politisi? Apakah salah jika seorang mantan walikota ingin agar anaknya juga jadi walikota?
Pertanyaan-pertanyaan ini mari kita cari jawabannya dalam diri kita sendiri. Saya punya banyak cerita tentang hal yang serupa meski tak sama. Tetapi bukan berarti pengalaman hidup saya dapat menjawab tentang persoalan politik dinasti yang tiba-tiba booming.
Sewaktu kuliah, di fakultas Tarbiyah saya punya teman seangkatan yang suka sekali dengan dunia belajar-mengajar. Sebut saja namanya Intan. Namanya juga fakultas Tarbiyah, ya wajar jika mahasiswanya orang-orang yang suka dunia belajar-mengajar. Usut punya usut, saat saya berbicara dari hati ke hati, ada beberapa kesimpulan yang bisa saya ambil.
Pertama, Intan bercerita bahwa menjadi guru adalah cita-citanya sedari kecil. Mungkin faktor ia dibesarkan dari keluarga guru, dimana bapak dan ibunya berprovesi sebagai seorang guru menjadikan dia termotivasi untuk menjadi seorang guru. Ditambah lagi saat hendak memilih jurusan perkuliahan, orangtuanya menyarankan agar dia mengambil jurusan pendidikan atau keguruan.
Dari cerita yang pertama, silahkan anda bayangkan. Menjadi anak guru, bapaknya guru, ibunya juga guru. Hampir bisa dipastikan omongan ketika sedang santai, ketika sedang makan bersama, pasti banyak bertaburan cerita-cerita tentang dunia perguruan.Â
Mulai dari anak yang bandel, bagaimana menangani anak yang selalu gagal paham, bagaimana mengatasi anak yang minder dan sebagainya. Hal ini bisa memicu keingin tahuan anak tentang hal tersebut. Akhirnya masuklah dia ke dunia perkuliahan tentang pendidikan dengan satu cita-cita: menjadi guru plus PNS.
Meski hal tersebut tidak selalu terjadi. Bisa jadi, akibat seringnya dicekokin dengan masalah-masalah seputar pendidikan anak jadi bosan dan akhirnya memilih berkuliah di jurusan non pendidikan dan membuang jauh-jauh keinginan menjadi seorang guru.
Kedua, kita bisa mengamati masyarakat di daerah Tegal, Brebes dan sekitarnya. Kalau pun nggak bisa dibilang mayoritas, tapi banyak sekali orang-orang Tegal yang mencari untung, berkelana hingga ibukota untuk mencari nafkah. Dengan cara apa? Yang jelas pasti jualan.
Anda bisa temukan, di daerah Jakarta, Bogor Depok, tangerang dan Bekasi banyak sekali orang Tegal yang berjualan. Mulai dari warteg, nasgor, gorengan, nasi uduk dan sebagainya. Apakah mereka berpendidikan strata satu jurusan perdagangan? Tentu tidak!
Cerita ini saya ambil dari kampung saya sendiri. Aktor-aktor yang terlibat ada juga keluarga, tetangga dan cerita yang sampai dari mulut ke mulut.
Sekitar tahun 90-an, anak-anak di di kampung saya, Brebes, hanya dianjurkan sekolah oleh orangtuanya sampai jenjang SMP. Setelah itu mereka dikirim untuk bekerja membantu kerabat atau tetangga dekat ke Jakarta. Untuk apa? Yang jelas untuk jualan. Proses ini memungkinkan mereka bertemu dengan orang yang nantinya mereka pilih jadi pasangan hidup.
Khusus bagi kaum lelaki, setelah sekian tahun ikut kerabat, mereka jadi termotivasi untuk membuka usaha sendiri. Jadi, proses mereka bekerja seringkali juga sebagai sarana untuk belajar berbisnis. Meskipun tergolong usaha mikro tapi nyatanya budaya ini sudah mengakar sampai jaman now.Â
Mungkin bedanya hanya dari sisi pendidikan. Jika 20-an tahun yang lalu lulusan SMP sudah road to Jabodetabek, mungkin di zaman milenial ini lulus SMA baru road to ibu kota dan sekitarnya.Saya pribadi memandang dua hal ini sebagai hal yang mirip dengan politik dinasti. Renungkan saja, bapak mantan walikota, anaknya nyalon walikota. Bapaknya jadi politisi anaknya juga jadi politisi. Bahkan ada yang harus mundur dari TNI hanya untuk melanggengkan politik dinasti. Sama kan dengan cerita dari teman-teman saya?
Bapaknya jadi guru, anaknya juga jadi guru. Bapaknya jadi bos warteg, anaknya bos nasi goreng. Ya Cuma beda embel-embelnya saja. Mungkin ada juga yang bapaknya jadi walikota Serang, anaknya jadi bupati Lebak. Bapaknya jadi gubernur ponakannya jadi DPR-nya.
Asal jangan sampai terjadi: bapaknya Presiden Indonesia, anaknya Jadi presiden Malaysia. Gubrak! Bisa runyam urusan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H