Cerita ini saya ambil dari kampung saya sendiri. Aktor-aktor yang terlibat ada juga keluarga, tetangga dan cerita yang sampai dari mulut ke mulut.
Sekitar tahun 90-an, anak-anak di di kampung saya, Brebes, hanya dianjurkan sekolah oleh orangtuanya sampai jenjang SMP. Setelah itu mereka dikirim untuk bekerja membantu kerabat atau tetangga dekat ke Jakarta. Untuk apa? Yang jelas untuk jualan. Proses ini memungkinkan mereka bertemu dengan orang yang nantinya mereka pilih jadi pasangan hidup.
Khusus bagi kaum lelaki, setelah sekian tahun ikut kerabat, mereka jadi termotivasi untuk membuka usaha sendiri. Jadi, proses mereka bekerja seringkali juga sebagai sarana untuk belajar berbisnis. Meskipun tergolong usaha mikro tapi nyatanya budaya ini sudah mengakar sampai jaman now.Â
Mungkin bedanya hanya dari sisi pendidikan. Jika 20-an tahun yang lalu lulusan SMP sudah road to Jabodetabek, mungkin di zaman milenial ini lulus SMA baru road to ibu kota dan sekitarnya.Saya pribadi memandang dua hal ini sebagai hal yang mirip dengan politik dinasti. Renungkan saja, bapak mantan walikota, anaknya nyalon walikota. Bapaknya jadi politisi anaknya juga jadi politisi. Bahkan ada yang harus mundur dari TNI hanya untuk melanggengkan politik dinasti. Sama kan dengan cerita dari teman-teman saya?
Bapaknya jadi guru, anaknya juga jadi guru. Bapaknya jadi bos warteg, anaknya bos nasi goreng. Ya Cuma beda embel-embelnya saja. Mungkin ada juga yang bapaknya jadi walikota Serang, anaknya jadi bupati Lebak. Bapaknya jadi gubernur ponakannya jadi DPR-nya.
Asal jangan sampai terjadi: bapaknya Presiden Indonesia, anaknya Jadi presiden Malaysia. Gubrak! Bisa runyam urusan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H