Saya terbilang beruntung bisa menyaksikan pidato Agus Harimurti Yudhono (AHY) saat peluncuran The Yudhoyono Institute di Djakarta Theater pada Agustus 2017. Waktu itu AHY naik ke panggung dan menggugah mimpi khalayak tentang seabad Indonesia, Indonesia yang jauh lebih baik, Indonesia Emas 2045.
Untuk mengapai mimpi itu, AHY berpendapat ada tiga prasyarat utama yang harus dipenuhi: Indonesia harus aman dan damai; adil dan sejahtera; serta maju dan mendunia. Ketiganya berjalan seiring, saling terkait, dan tak terpisahkan.
Pemikiran ini terbilang bernas tatkala Indonesia kekinian tengah setback. Kian keras suara-suara dan kebijakan yang mempertentangkan hal-hal yang sejatinya bisa saling memperkuat. Demokrasi vs pertumbuhan ekonomi, pembangunan vs kesejahteraan, kestabilan vs kebebasan berbicara, dan lain sebagainya. Hubungan seiring dan saling memperkuat yang lumayan terjaga pada pemerintahan sebelumnya, kini malah digontok-gontokan.
Waktu itu, saya bertanya-tanya: bagaimana cara mewujudkan tiga prasyarat Indonesia Emas tersebut? Sayangnya, pidato AHY kali itu agaknya masih berada pada tahap menggugah harapan khalayak terkait mimpi Indonesia Emas. Belum pada tahap mem-break-down secara lebih teknis. Saya masih harus bersabar.
Jawabannya baru saya dapati dalam pidato AHY minggu lalu, di Sentul, pada ajang Rapimnas Partai Demokrat. Meski AHY mengenakan baju Komandan Kogasma Partai Demokrat, saya menemukan benang merah atas pertanyaan yang terapungkan sejak pidato di Djakarta Theater itu.
Dalam pidato di Sentul, AHY membentangkan empat agenda utama: keamanan dan perdamaian, kesejahteraan, demokrasi, dan keadilan. Ah, betapa sepadannya empat agenda ini dengan tiga prasyarat Indonesia Emas yang dipaparkannya tempo waktu.
Agenda keamanan dan perdamaian merujuk pada prasyarat Negara aman dan damai. Agenda kesejahteraan, demokrasi, dan keadilan sepadan dengan prasyarat adil dan sejahtera. Dan apabila Indonesia aman, damai, sejahtera, demokratis dan berkeadilan; secara otomatis bergerak memenuhi prasyarat ketiga: Indonesia yang  maju dan mendunia.
Di sini kita bisa melihat AHY bukan sebatas seorang cendikiawan, tetapi ia adalah cendikiawan yang konsisten dengan buah pikirnya.
Ternyata pidato AHY di Sentul itu tidak kepalang tanggung. AHY mem-breakdown 4 tujuan dalam 5 sasaran besar, yaitu: 1) Lapangan pekerjaan tersedia lebih banyak; 2) Pendapatan dan daya beli masyarakat lebih tinggi; 3) Â Kemiskinan makin berkurang; 4) Hubungan antara negara dan rakyat, serta kerukunan sosial lebih baik; dan 5) Keadilan, kebebasan dan keamanan lebih baik.
Sekilas biasa bukan? Banyak program-program begini? Benar, kecuali jika dikaitkan dengan kebiasaan pemimpin kita: "lain yang disasar, lain yang dilakukan".
Saya bersua korespondensi jelas antara agenda dan sasaran ini. Tegasnya kesejahteraan: sasaran 1, 2, 3; keadilan: sasaran 3, 5; demokrasi: sasaran 4, 5; dan keamanan dan perdamaian: sasaran 4, 5. Untuk menjawab kelima sasaran ini disusun 9 strategi, di mana setiap strategi itu punya arah sasaran yang juga jelas.
Di sini menariknya. Pada saat pemerintah bicara perekonomian Indonesia sudah tangguh; AHY malah berfokus pada kesejahteraan. Bukankah pemerintah kerap bicara bahwa perekonomian berkembang pesat, pendapatan perkapita meningkat hampir empat kali lipat, daya beli masyarakat cuma shiftingbukan menurun, dan pesatnya pertumbuhan kelas menengah, dan lain sebagainya?
Kesimpulan saya: gerilya AHY ke seantero tanah air itu, berdiskusi dengan banyak kalangan itu, bukan buat tebar pesona semata. AHY menangkap aspirasi masyarakat. Indonesia yang seperti apa yang dibutuhkan dan bisa menjawab aspirasi masyarakat hari ini.
Terkait aspirasi masyarakat terkait pentingnya isu kesejahteraan ini saya pikir usah diperdebatkan. Sudah banyak pakar yang bicara. Survei-survei persepsi publik menjelang pilpres pun kompak menyebut bahwa kelemahan utama pemerintah saat ini adalah perekonomian yang kurang berkorespondensi dengan kesejahteraan rakyat.
Agaknya, AHY sudah memiliki jawabannya. Pidato AHY pada Rapimnas Partai Demokrat bisa disebut tahap 1 menuju mimpi Indonesia Emas 2045 yang perdana dicuatkannya di Djakarta Theater.
Sekonyong-konyong saya pun teringat survei alumni UI terkait Pilpres 2019--pemeringkatan yang dirilis Quacquarelli Symonds (QS) Graduate Employability Rankings 2018 menyebut lulusan UI terbilang paling kompeten, inovatif dan efektif di dunia kerja; agaknya ini sesuai karakter kelas menengah zaman now. Â
Jadi survei alumni kampus yang memproduksi kelas menengah ini meletakan AHY di urutan kedua setelah Jokowi sebagai capres 2019. Selisih nol koma sekian,--33,98 persen Jokowi dan 33,25 persen AHY. Meski tak dipublikasikan alasannya, saya yakin salah satunya terkait sosok AHY yang dinilai cendikia, yang smart.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H