Seorang sahabat mengirimkan link berita via WA perihal seorang Walikota yang menyerukan boikot produk Israel dan AS. Seruan yang mirip dan agak ektrem dilakukan kawan-kawan OKP di beberapa tempat. Ya, boikot produk Israel dan AS sudah menjadi isu nasional. Satu dari berkian cara yang dilakukan sebagai protes atas pernyataan Donald Trump yang menentapkan Yerusalem sebagai ibukota Israel.
Secara pribadi saya sepakat dengan aksi ini. Trump berkarakter keras kepala, degil. Ia pemimpin bertipikal bulldozer yang menggilas segala penghalang di depannya. Plus posisinya sebagai presiden negara adidaya membuat ke- koppig-an itu bukan kepalang. Trump tidak akan tunduk oleh satu gelombang penolakan dan perlawanan ala kadarnya. Buktinya resolusi OKI tempo hari tidak membuat Trump berpaling. Hujatan dari negara-negara di Eropa, ia anggap angin lalu.
Karena itu, untuk mengubah pendirian Trump kita perlu menghidupkan bulldozer yang jauh lebih besar dari dirinya. Bulldozeritu adalah rakyat AS sendiri. Saya yakin banyak rakyat AS yang menolak kebijakan Trump, tapi jumlahnya belum bisa diharapkan. Ini adalah bukti bahwa keegoisan dalam menyikapi lingkungan kerapkali menginjak-injak rasa kemanusiaan, menerbitkan sikap abai. Tetapi, bisakah kita berkilah dari naluri purba untuk cari selamat: saat kepentingan kita terganggu?
Boikot produk-produk Israel dan AS yang dilakukan secara massif dan berkepanjangan akan membuat konglomerat-konglomerat Paman Sam bereaksi. Aksi boikot yang berkepanjangan akan berimbas pada mewujudnya citra buruk Perusahaan multinasional (PMN) yang mereka miliki, termasuk penurunan pendapatan perusahaan. Â Jikalau para pemodal Trump ini sudah turun tangan, plus gugatan rakyat AS dan seantero dunia akan kesalahan fatal Trump---besar kemungkinan pendirian Trump akan bergeser.
Tentu saja menjaga nafas ini amat sulit. Indonesia adalah bangsa konsumtif. Keseharian kita terpenjara oleh produk-produk yang terafiliasi dengan PMN milik AS dan Israel. Mulai dari bangun tidur, mandi, pergi ke kantor, mengudap makanan, hingga kembali tidur; kita mengonsumsi produk-produk itu.
Bahkan saya mengetik tulisan ini di gawai produk AS, ditemani sebatang rokok bermerk AS. Kelak, saat memosting tulisan ini saya harus membuka Google, dan barangkali memanfaatkan Facebook dan Twitter untuk menyebarluaskannya.
Betapa sulitnya! Jika membincang ini bersama-sama kawan-kawan, biasanya mereka akan menarik kesimpulan: hampir-hampir mustahil. Apalagi, kalau sudah hadir kawan yang berkacamata hitam-putih: boikot atau terima tanpa syarat.
Tapi di sinilah letak amnesia sejarah bangsa. Kita lupa apa yang diajarkan para pendiri bangsa: memanfaatkan senjata lawan untuk menyerang balik tidak pernah diharamkan. Telisiklah baik-baik! Politik etis yang dahulu digunakan kolonial Belanda untuk mendidik pribumi sebagai sekrup industri atau pegawai gubermen, nyata-nyata sukses dimanfaatkan untuk meningkatkan kapasitas diri, menemukan kesadaran akan nasib bangsa dan menginspirasi perjuangan menuju kemerdekaan.
Telisiklah kecerdasan Teuku Umar yang berlagak tunduk pada Belanda, lalu hengkang dengan membawa banyak senapan dan barisan prajurit terlatih. Ada pula Agus Salim yang sukses berkali-kali mengadali Gubermen: memanfaatkan fasilitas penjajah untuk membangun gerakan perjuangan.
Termasuk BPUPKI dan PPKI itu. Tugas BPUPKI hanyalah melakukan usaha-usaha penyelidikan kemerdekaan, sementara penyusunan rancangan dan penetapan UUD menjadi kewenangan PPKI. Tapi toh Sukarno dan para pendiri bangsa menelikung skenario Jepang ini. Sidang BPUPKI malah membahas habis-habisan perihal dasar negara dan pokok-pokok konstitusi. Sehingga, sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, UUD 1945 dan dasar negara bisa ditetapkan.
Memukul balik dengan perkakas lawan adalah satu keniscayaan. Kita sudah melakukannya! Lewat produk-produk teknologi informasi---yang semuanya masih dikuasi asing---gerakan rakyat bergulir tak henti-henti. Kampanye pemilu sudah jadi cerita keseharian. Aksi-aksi massa yang jutaan itu pun digagas lewat WA Group, lalu dikampanyekan via jejaring sosial, termasuk aksi bela Palestina besok.
Artinya, kita bisa memilih. Dari seribu perangkap yang diangsurkan, kita bisa memilih 10, 50 atau 100 perangkap yang memang tidak bisa kita elakan. Tetapi kita memilih dengan kesadaran bahwa kelak perangkap-perangkap ini mesti kita tinggalkan.
Ini bukan omong-kosong. Silakan amati sekeliling kita. Kedai-kedai kopi lokal yang ditata modern berdiri tegak, tidak kalah dari Starbuck yang sudah mendunia itu. Bukalapak muncul melawan dominasi Amazon dan Ebay, Gojek hadir sebagai pesaing Uber.
Setiap tahun, anak-anak bangsa mampu memproduksi prototype ponsel, mesin produksi sampai kendaraan bermotor, termasuk jejaring sosial alternatif. Memang belum sepenuh produk lokal, dan barangkali kualitas masih jauh dari produk asing, tetapi semangat ini jelas menggembirakan.
Pasti muncul pertanyaan. Bagaimana bila PMN hengkang dari Indonesia akibat aksi boikot ini? Bagaimana nasib para buruh Indonesia yang bekerja di sana? Ini adalah salah satu risiko, tapi percayalah kondisinya awalnya tidak akan buruk-buruk amat. Mustahil akan terjadi eksodus besar-besaran secara serentak, paling banter segelintir setiap tahun. Saya yakin dan percaya pemerintah pasti memiliki cara untuk membantu para buruh yang terdampak ini.
Mengapa? Karena Indonesia adalah negara kaya. Sumber daya alam Indonesia melimpah ruah. Jumlah penduduk Indonesia saat ini mencapai 262 juta jiwa, dari sisi ekonomi Indonesia adalah pasar terbesar ke-4 di dunia bagi PMN.
Ingat saat ini PMN sudah semakin buas. Mereka tidak hanya mengejar konsumen orang-orang berduit. Orang miskin memang tidak bisa membeli mobil berharga milyaran atau ratusan juta, tetapi mereka sudah kadung terjebak---misalnya---mesti mandi pakai sabun, harus menggunakan odol untuk sikat gigi. Pulsa pun kini hampir-hampir jadi kebutuhan primer. Dan siapakah yang menikmati ceruk pasar orang miskin itu kalau bukan---lagi-lagi---perusahan multinasional itu?
Artinya, jika kita mau masa itu pasti datang. Masa di mana rakyat Indonesia tidak lagi terpenjara oleh  produk-produk PMN. Masa di mana produk-produk lokal menjadi raja di negeri sendiri. Saya percaya akan hal ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H