Mohon tunggu...
Hendri Teja
Hendri Teja Mohon Tunggu... Novelis - pengarang

Pengarang, pengemar narasi sejarah. Telah menerbitkan sejumlah buku diantaranya: Suara Rakyat, Suara Tuhan (2020), Tan: Gerilya Bawah Tanah (2017), Tan: Sebuah Novel (2016) dan lain-lain. Untuk narasi sejarah bisa salin tempel tautan ini: Youtube: https://www.youtube.com/@hendriteja45

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Selamat Ulang Tahun, Cak Munir

8 Desember 2016   06:44 Diperbarui: 8 Desember 2016   13:52 489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Betapa Munir yang besar itu ternyata baru mengenal kebijakan pengiriman tentara ke Aceh sewaktu ia nyaris tamat kuliah di jurusan hukum Universitas Brawijaya. Melalui perkawanan dengan Bambang Sugianto, seorang aktivis jalanan di kampusnya. Perdebatan mereka yang membawa Munir membaca buku-buku di luar mainstream, sampai akhirnya menemukan buku Cile, Revolusi Buruh-nya Arief Budiman. karakternya kian terbentuk setelah menelisik Nilai Identitas Kader-nya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), yang menurutnya cerdas radikal dan militan. Dari proses inilah Munir kemudian menemukan kembali ideologi anti penindasan.

Bagi mereka yang semasa kuliah gandrung berunjukrasa pasti akan menyebut betapa tidak istimewanya. Faktanya, banyak di antara mereka yang mengalami proses ini pada akhirnya terjebak pada ideologi mainstream.Lantas apa yang membedakan?Abdurahman Wahid menjawab bahwa dalam berjuang diperlukan penyatuan antara prinsip perjuangan dan tekad pribadi. Agaknya, Munir memiliki penyatuan itu.

Penyatuan prinsip dan tekad ini yang membuat Gus Dur hanya bisa termangu ketika Munir berencana menulis disertasi di negeri Belanda yang akan memaparkan sejumlah orang yang diduganya menjadi otak pelanggaran HAM berat di Indonesia. Gus Dur paham tak ada gunanya melarang, bagaimanapun Munir tetap akan melaksanakan niatnya itu. Dan sebagaimana yang kita ketahui, pada 7 September 2004, Munir tewas diracun dalam penerbangannya ke Belanda.

Kendati sama-sama berurusan dengan arsenik, penanganan kasus Munir tidak secepat dan semeriah persidangan Jessica Wongso. Sampai sekarang, setelah 12 tahun lamanya, aktor intelektual kasus  Munir masih misterius. Konon ia masih melenggang bebas dan menikmati gelimang kekuasaan.

Kendatipun begitu, saya amat yakin sang aktor tetap hidup dalam kegelisahan. Karena kepergian Munir tidak lantas membuat nilai dan prinsip lantas mati. Salah satunya adalah Aksi Kamisan, di mana sejak 18 Januari 2007, setiap Kamis sore, sekelompok orang berpayung hitam tegak mematung berjarak sepelemparan batu dari Istana Negara. Selama satu jam mereka berteriak dalam diam untuk menolak lupa; untuk mengingatkan pada pemimpin puncak negeri ini bahwa ada pekerjaan rumah  yang diwariskan dari presiden ke presiden yang belum lagi tuntas sampai hari ini.

Hari ini adalah Kamis yang ke-470 kalinya, Aksi Kamisan akan digelar. Tanggal dan bulan yang sama dengan waktu Munir dilahirkan, 52 tahun silam. Saya sungguh berharap berharap hari ini Jokowi mau meluangkan waktu untuk menyambangi Aksi Kamisan. Lantas di bawah naungan payung hitam yang ia pegang sendiri, Jokowi berucap, “Selamat Ulang Tahun Cak Munir! Hari ini atas nama pemerintah saya berjanji kasus Saudara dan kasus-kasus pelanggaran HAM berat lainnya akan diusut tuntas. Dan mereka yang bersalah akan dihukum seadil-adilnya.” Lalu Presiden, minimal, memerintahkan jajarannya untuk berpuasa selfie sampai urusannya ini beres, dan memberi sanksi kepada mereka yang lelet apalagi sengaja menghambat. Dan publik akan mengawasi janji itu.

Tetapi, menurut saya mengenang Munir tidak cukup sebatas itu. Mengenang Munir bukan cuma urusan pemerintah dan aktivis Aksi Kamisan. Mengenang Munir juga harus dilakukan melalui gerakan internalisasi HAM dalam sendi-sendiri kehidupan, dan ini menjadi urusan kita bersama.

Bertekad menjadi Munir, kendati niscaya, tetapi amat ambisius. Maka, yang paling gampang adalah meneladani Munir sesuai dengan peran kita masing-masing. Seorang guru yang mengajarkan anak-anak didiknya tentang toleransi. Seorang tukang ojek yang tidak mengumpat-maki kepada mereka yang berbeda pandangan. Seorang buzzer pilkada yang tidak main fitnah. Seorang jurnalis yang menuliskan berita secara benar dan berimbang. Seorang atasan yang tidak bertindak diskriminatif kepada karyawannya karena soal SARA.

Tentu saja semakin tinggi posisi dan sumberdaya yang kita miliki akan semakin besar pula prinsip dan tekad Munir yang bisa kita teladani. Barangkali akan ada pengorbanan, tetapi setidaknya kita tidak perlu kuatir akan di-Munir-kan. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun