Mohon tunggu...
Hendri Teja
Hendri Teja Mohon Tunggu... Novelis - pengarang

Pengarang, pengemar narasi sejarah. Telah menerbitkan sejumlah buku diantaranya: Suara Rakyat, Suara Tuhan (2020), Tan: Gerilya Bawah Tanah (2017), Tan: Sebuah Novel (2016) dan lain-lain. Untuk narasi sejarah bisa salin tempel tautan ini: Youtube: https://www.youtube.com/@hendriteja45

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Berjumpa dengan Para "Kartini"

21 April 2016   04:43 Diperbarui: 21 April 2016   09:40 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="sumber: koleksi pribadi"]

[/caption]Tamu berikutnya, di bawah kepemimpinan Dahlia, adalah rombongan perempuan yang berasal dari dusun Lubuk Beringin, salah satu kampung di pinggir Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). 

Mereka berlompat-lompatan ke dalam ruang imaji kekaguman saya  lewat halaman demi halaman “Namaku Dahlia”. Bang Syafrizaldi mengoyak-moyak stigma kaum perempuan di desa-desa nun jauh di pinggir hutan, di kaki gunung - budaya patriarki, polos, sederhana, dan lugu.

Stigma perempuan Melayu kampung dibinasakan dengan cara yang paling santun – belajar sembari beraktivitas. Ketika perempuan-perempuan dusun pergi ke kota untuk bekerja sebagai pekerja rumah tangga, atau menjadi TKW, mereka  justru memilih bertahan dan membangun harapan. Dahlia meyakinkan tidak harus ke kota untuk menjadi “jutawan”.

Dan Dahlia benar.  Dari “yasinan” berkala, mereka berkreasi membentuk kelompok arisan yang kemudian berkembang menjadi Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Bersama-sama mereka  membendung  aliran modal keluar desa, yang lantas digunakan untuk kepentingan bersama.

Tanpa perlu mendengar ceramah berlarat-larat perihal konsep gender equality atau capital flight, lambat laun mereka menemukan jawaban atas keadilan akses dan kontrol terhadap sumber daya. 

Perempuan dusun Lubuk Beringin berhasil membuktikan bahwa desa bukan sekadar lapangan kehampaan sehingga harus berangkat ke kota. Mereka menjadi bukti bahwa membangun Indonesia dari pinggiran bukan khayalan.

[caption caption="Sumber : koleksi pribadi"]

[/caption]Rombongan perempuan ketiga yang menyinggahi saya adalah para 66 gadis selatan. Lewat novel “Pinangan Dari Selatan”, Bang Indra J. Piliang mewariskan dendam berabad-abad kepada 66 gadis keturunan kelima Yang Mulia Dombu. 

Dendam Iklima, puteri Adam yang melemparkan tubuhnya untuk memadamkan birahi Qabil –saudara tua yang mencabut nyawa Habil, lelaki yang dicintainya. Di bawah komando Cecillia, mereka mendapat darma untuk memulihkan keseimbangan semesta dengan cara membunuh 666 lelaki keparat dalam jangka 66 purnama.

Gadis-gadis yang benderang dalam kehidupan malam.  Berkeliaran dalam embusan  asap rokok, alkohol, ekstasi, judi dan seks bebas. Hilir mudik di tengah impitan beragam intrik kekuasaan, kekayaan haram dan perjuangan agama dengan panji-panji gemerincing uang. Tiada hidung aparat yang mampu mengendus operasi mereka.  

Satu-satunya penanda adalah bunga sedap malam, itu pun setelah setiap kobar nyawa dipadamkan.  Pertarungan di dunia Lingga-Yoni ini direkam dalam kesaksian Tentra - mahasiswa Universitas Depok yang kemudian meniti karir sebagai analis di perusahaan minyak. 

Demikian perkenalan singkat saya dengan perempuan-perempuan luar biasa ini. Para Kartini dengan corak mereka masing-masing. Selubung misteri mereka membuat otak saya terus mencandu penasaran. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun