Mohon tunggu...
Hendri Teja
Hendri Teja Mohon Tunggu... Novelis - pengarang

Pengarang, pengemar narasi sejarah. Telah menerbitkan sejumlah buku diantaranya: Suara Rakyat, Suara Tuhan (2020), Tan: Gerilya Bawah Tanah (2017), Tan: Sebuah Novel (2016) dan lain-lain. Untuk narasi sejarah bisa salin tempel tautan ini: Youtube: https://www.youtube.com/@hendriteja45

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dianiaya DPR, Pekerja Rumah Tangga Melawan

5 Oktober 2015   09:47 Diperbarui: 5 Oktober 2015   16:38 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagai buruh, PRT sejatinya memiliki hak-hak normatif  diantaranya standarisasi upah, pengaturan jam kerja dan waktu istirahat, cuti mingguan, dan tahunan, hak untuk berkomunikasi dan berserikat serta perjanjian kerja tertulis, bukan sekedar lisan.  Tetapi karena tidak ada rujukan payung hukumnya, polisi sulit menindak pelanggaran hak-hak tersebut.

Pasalnya, UU Perlindungan PRT belum ada, sementara UU No. 13 Tahun 2003 tidak memasukan PRT sebagai buruh atau tenaga kerja. Sehingga yang bisa ditindaklanjuti biasanya ketika PRT telah mendapat kekerasan secara fisik. Majikan pelakunya kemudian dikenakan pasal kekerasan dalam rumah tangga. Jadi tindak kekerasannya yang ditindak, bukan pelanggaran terhadap hak-hak PRT-nya.

Fenomena ini menjadi persoalan pelik karena kekerasan terhadap PRT tidak terjadi secara ujug-ujug. Kekerasan terhadap PRT biasanya terjadi setelah hak-hak normatif diatas dilanggar, dan PRT tidak berdaulat untuk melawan.

Jika sejak pelanggaran hak-hak normatif PRT, para majikan telah diberi sanksi, kekerasan terhadap PRT akan bisa diminimalisir. Sayangnya tidak ada payung hukum yang bisa mengantisipasi kejadian-kejadian ini. Maka tak heran jika publik baru meledak ketika PRT sudah melapor ke polisi dalam kondisi berdarah-darah.

UU Perlindungan PRT

Sejatinya, Kementerian Tenaga Kerja telah mencoba menjawab dengan menerbitkan Permenaker No. 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan PRT. Tetapi peraturan ini tidak bisa menjawab masalah secara komprehensif. Permenaker No. 2 Tahun 2015 sejatinya lebih berorientasi pada perlindungan PRT atas ‘kejahatan’ penyalur. Subjek hukum Permenaker bukan majikan, tetapi perusahaan penyalur. Sehingga sanksi yang diberikan adalah teguran dan pencabutan izin. Permenaker ini tidak berdaya untuk menjawab aksi-aksi kekerasan fisik dan non fisik yang dilakukan para majikan.

Satu-satunya cara adalah dengan menerbitkan UU Perlindungan PRT. Sejatinya UU PRT merupakan salah satu janji politik yang termaktub dalam visi dan misi Jokowi-Jusuf Kalla. Nyatanya para wakil rakyat yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat di DPR nyaris tak berbunyi. Bahkan Menaker Hanif Dhakiri secara resmi tidak merekomendasikan RUU PRT untuk masuk dalam prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015.

Padahal, draft UU Perlindungan PRT versi masyarakat sejatinya sudah diserahkan kepada DPR sejak sepuluh tahun silam. Tebar janji dari pimpinan DPR sampai pimpinan Komisi IX yang membidangi  Kenegarakerjaan juga sudah terjadi. Tetapi nasib RUU PRT tidak jelas ujung pangkalnya. Bahkan, RUU Perlindungan PRT ditolak masuk prioritas Prolegnas 2015 oleh DPR, yang didalamnya termasuk Ivan Haz, majikan yang dituduh telah menganiaya PRT-nya. Jadi, kepada siapa lagi PRT harus berharap?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun