Mohon tunggu...
hendri setiawan
hendri setiawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Insan Perikanan yang berkreasi di bidang periklanan

Hidup adalah anugerah, nikmati dan syukuri hidup ini dengan gembira menjadi hambaNya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Desa, Korban Lintas Kebijakan

5 Januari 2021   07:13 Diperbarui: 6 Januari 2021   05:41 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir 2020 kemarin, Desa menjadi alasan sebuah program pembangunan dari beberapa Menteri yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Desa PDTT. Permen Desa PDTT no 13 tahun 2020 menjadi acuan bagi Desa (dalam hal ini Pemerintah Desa yang bergerak) untuk membuat skala Prioritas Penggunaan Dana Desa di tahun 2021 ini. 

Tentu ini bertujuan baik bagi rakyat umumnya ketika dampak pandemi belum juga membaik. Dana desa yang bersumber dari APBN ini menjadi buah simalakama bagi Pemerintah Desa yang pada prakteknya, Kepala Desa dipilih oleh rakyat, dan memiliki lembaga permusyawaratan bernama BPD. 

Mengapa simalakama? Ya, karena bila penggunaan Dana Desa tidak sesuai aturan main yang dibuat oleh Kemendagri, maka tidak bisa dilaksanakan. Peruntukan Dana Desa untuk program sudah diatur dalam sitem yang bernama SISKEUDES (Sistem Informasi Keuangan Desa). 

Oke dari sini sebenarnya sudah mulai blunder, Dana Desa dari Kementerian Keuangan, Aturan Menteri nya dari KEMENDESA PDTT, tapi kok Sistem Informasinya yang membuat BPKP dan Kemendagri?

Ya, begitulah ini baru satu kasus, sistem ini membuat bingung masyarakat desa, apalagi perangkat desa. Sebelum kita kaji lebih jauh, perlu pembaca ketahui bahwa penulis bukanlah perangkat desa apalagi pejabat kementerian. Penulis hanyalah rakyat jelata yang tinggal di desa yang kebetulan transparan dan membuka informasi publik sehingga warga desa bisa melihat kegaduhan aturan main yang dilimpahkan ke Desa. 

Digitalisasi adalah sebuah keniscayaan di segala lini. Kampanye tentang revolusi industri 4.0 telah digaungkan sejak industri internet berkembang pesat di dekade ini. 

Desa juga tak luput dari gertakan teknologi tersebut. Melalui sistem informasi (software/web app/android apk) masing-masing kementerian melimpahkan segala pekerjaan mereka kepada Desa. Analisis penulis adalah Dana Desa dirasa sangat besar, sehingga Kementerian pun merasa yang bekerja untuk pelaporan, dan sejenisnya harus dari Desa. Kementerian hanya melakukan pengawasan, pun dengan melihat laporan sistem. 

Masih dalam kasus yang sama tentang Dana Desa. Kegiatan pembangungan di Desa direncanakan, dirubah, dan dilaporkan dengan bantuan SISKEUDES, tetapi laporan penggunaan dana nya juga diminta oleh Kementerian Keuangan, melalui aplikasi web yang bernama OM-SPAN. 

Laporan SISKEUDES selain harus dicetak dan ditandatangani untuk menjadi laporan ke Kecamatan dan Kabupaten, juga harus diupload ke SI Pede, Sistem Informasi Pembangunan Desa, milik Kemendesa, ini link-nya sipede.ppmd.kemendesa.go.id/ , (jangan ketawa kalo nama menteri sama fotonya beda jauh ) :-D) 

Singkat cerita daripada makin banyak ghibahnya :-) , Dana Desa baik adanya untuk pembangunan. Tetapi pelaporan yang tidak terintegrasi seperti ilustrasi di atas hanya akan membuat bingung perangkat desa, apalagi warga desa. Warga desa (yang NB kelas pengetahuan dan nalar birokrasinya di bawah perangkat desa) ingin bertanya tentang detail pembangunan desa beserta aturan mainnya bagaimana kepada perangkat desa, sementara perangkat desanya juga bingung mau menjelaskan dari mana, karena mereka sendiri sejatinya juga bingung tentang tumpang tindih aplikasinya. :-D

Saran saya kepada KEMENKEU selaku penyalur Dana Desa, dan Gus Menteri Desa PDTT, koordinasikan baik-baik aturan main games sektor riil bernama Dana Desa ini, agar pelaksana di Desa tidak bingung dan kerja dua kali (eh, berkali-kali) hanya untuk satu laporan yang sama. Kemudahan tidak selalu berarti mudah dimainkan. Karena saya yakin reformasi birokrasi Pak Jokowi dilakukan dengan pemangkasan regulasi yang berbelit. Di tingkat kementerian yang kreatif sudah baik adanya, ada OSS NIB, Paspor Online, dst. Tapi di bawah, di tingkat desa malah jadi ribet Bu dan Gus. _/\_.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun