"Setiap warga negara berhak mendapat Pendidikan".
"Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak".
Itulah penggalan Pasal 31 ayat (1) dan Pasal 34 ayat (4) Undang-Undang Dasar NRI 1945 (UUD 1945). Para founding father pencetus konstitusi telah memahami bahwa pendidikan dan kesehatan merupakan hak setiap warga.
Suatu Hak yang muncul tentu akan memiliki konsekuensi Kewajiban bagi pihak lain. Hak dan Kewajiban diatur secara seimbang melalui amanah konstitusi. Sudah menjadi kewajiban bagi setiap pemimpin bangsa, untuk menyediakan dua fasilitas vital tersebut kepada seluruh masyarakat.
Bagaimana bila negara tidak mampu menghadirkan fasilitas pendidikan dan kesehatan yang layak? Maka negara (dalam hal ini diwakili pemerintah) dianggap telah lalai dan abai terhadap konstitusi yang menjadi dasar hukum tertinggi di negara Indonesia.
Jatuhnya bom Hiroshima dan Nagasaki menjadi tanda kalah dan hancurnya Jepang dalam perang dunia ke-2. Jumlah guru tersisalah yang pertama kali ditanyakan oleh Kaisar Hirohito. Dalam waktu 20 tahun sejak kekalahan perang, Jepang kembali bangkit menjadi negara maju setelah memprioritaskan pendidikan di negaranya.
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri, dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia." (Q.S Ar-Rad: 11)
Suatu kaum yang bertekad untuk mengubah nasib, tentu Allah akan mengabulkan tekad tersebut.
Belajar dari Jepang, rakyat Indonesia juga harus membulatkan tekad untuk memperbaiki nasib bangsa. Tidak lain dan tidak bukan adalah melalui pendidikan.
Sebuah keluarga yang miskin akan tetap miskin dari generasi ke generasi bila tidak ada yang memutus mata rantai kemiskinan tersebut. Kemiskinan sistemik diawali dari kualitas sumber daya manusia (SDM) yang rendah akibat minimnya akses pendidikan.