Kontestasi Pemilihan Umum (pemilu) 2024 serentak telah selesai di 14 Februari 2024 yang lalu. Namun kewajiban perpajakan terkait pemilu masih harus diselesaikan. Ada seorang pegawai Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebuah kabupaten yang bertanya kepada Penulis, apakah atas Jasa distribusi logistik dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 dan Pajak Pertambangan Nilai (PPN), mengingat biaya distribusi dibayar oleh KPU Kabupaten. Kemudian terkait jenis PPN yang terutang, apakah dipungut oleh KPU kabupaten atau oleh penyedia jasa distribusi?
Sebagaimana diketahui bersama, bahwa PT Pos Indonesia (Persero) merupakan mitra resmi KPU untuk menyalurkan distribusi logistik keperluan pemilu, seperti kotak suara, surat suara, tinta dan sebagainya. PT Pos memiliki jaringan di lebih dari 4.800 kantor dan lebih dari 50.000 agen di seluruh Indonesia, dan memiliki keyakinan akan kemampuan distribusi logistik pemilu dapat terselenggara dengan baik.
Ketika penyelesaian distribusi selesai, maka PT Pos meminta tagihan atas jasa distribusinya kepada KPU Kabupaten. Namun di lapangan terjadi kebingungan oleh petugas KPU, mengingat tidak semua petugas KPU memahami tentang bagaimana teknis kewajiban perpajakan yang harus dilakukan atas tagihan tersebut.
Tulisan ini dimaksudkan sebagai sarana informasi bagi petugas KPU seluruh Indonesia yang pasti mengalami permasalahan sama.
Terkait pajak penghasilan, telah diatur berdasarkan Pasal 23 UU Pajak Penghasilan (PPh), atas jasa yang diberikan penyedia jasa, maka dipotong pajak oleh penerima jasa. Sehingga PT Pos sebagai pemberi jasa, akan dipotong oleh KPU Kabupaten atas fee jasa distribusinya sebesar 2%. Hal ini sudah dipahami para pihak.
Namun terkait PPN, petugas PT Pos menyodorkan sebuah regulasi ke petugas KPU Kabupaten yaitu Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 71 Tahun 2022 yang intinya PPN atas jasa distribusi/freight forwarding terutang PPN atas jasa dengan besaran tertentu sebesar 1,1% dari tagihan dan wajib dipungut oleh PT Pos.
Namun petugas KPU yang pernah mendapat pelatihan keuangan, menjelaskan bahwa sebagai bendaharawan pemerintah, maka segala kewajiban perpajakan pemotongan dan pemungutan dilakukan oleh bendaharawan sesuai ketentuan PMK No. 59 Tahun 2022. Karena tidak menemukan titik terang, maka permasalah tersebut ditanyakan kepada Penulis sebagai petugas pajak.
Sepintas, kedua PMK tersebut bertentangan dan saling tarik menarik siapa pemungut PPN. Namun dalam Lampiran B Peraturan Dirjen Pajak No. 03/PJ/2022 sudah diatur mengenai prioritas penggunaan kode faktur pajak. Kode faktur pajak akan berbeda ketika pemberi jasa berhadapan dengan lawan transaksi yang memiliki kekhususan perlakuan perpajakan.
Urutan prioritas kode faktur yang paling tinggi adalah penyerahan barang/jasa dengan kode 07 (tidak dipungut) atau 08 (dibebaskan). Bila bukan kriteria tersebut, prioritas selanjutnya yaitu kode 02 (penyerahan ke bendaharawan) atau 03 (penyerahan ke pemungut selain bendaharawan). Kemudian urutan prioritas selanjutnya yaitu kode 06 (penyerahan ke turis asing). Lalu selanjutnya yaitu kode 04 (DPP nilai lain) atau 05 (besaran tertentu) Â atau 09 (aktiva bekas). Urutan terakhir yaitu kode 01 (penyerahan ke pihak selain yang sudah disebutkan).
Sehingga atas kasus tersebut, dapat dijelaskan pihak pemungut PPN berdasarkan regulasi yang tepat adalah:
Apabila PT Pos memberikan jasa distribusi kepada pihak swasta/bukan pemungut maka kode faktur yang dibuat oleh PT Pos adalah 05, sehingga pemungut PPN adalah PT Pos.